Kumpulan kisah misteri menceritakan tentang cerita legenda misteri dan horor yang terjadi di seluruh negeri berdasarkan cerita rakyat. Dalam kisah ini akan di ceritakan kejadian-kejadian mistis yang pernah terjadi di berbagai wilayah yang konon mwnjadi legenda di seluruh negeri bahkan banyak yang meyakini kisah ini benar-benar terjadi dan sebagian kisah masih menyimpan kutukan sampai sekarang, Di rangkai dalam kisah yang menyeramkan membuat para pembaca seperti merasakan petualangan horor yang menegangkan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqbal nasution, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5c. Kubu Aneuk Manyak
Setelah selesai berbelanja di pekan, Maisarah pulang ke rumahnya bersama temannya. Sepanjang jalan, langkahnya terasa ringan, namun hatinya justru berdebar-debar. Senyum Murhaban, kata-katanya yang lembut, dan sorot mata teduhnya terus terbayang dalam benaknya.
Malam itu, di beranda rumah panggungnya, Maisarah duduk sendirian sambil menatap langit berbintang. Angin malam bertiup lembut, membawa aroma padi dari sawah. Namun hatinya justru gelisah.
"Kenapa aku merasa berbeda saat berbicara dengan bang Murhaban? Tatapannya… seakan menembus sampai ke hatiku. Padahal bang Ramli sudah lama ada di sisiku. Dia selalu baik, selalu menjaga. Tapi mengapa hatiku justru bergetar pada Murhaban?"
Maisarah memejamkan mata, mencoba menepis perasaan itu. Tapi semakin ia mencoba melupakan, bayangan Murhaban semakin jelas.
"Ramli hanya menganggapku adik, dan aku pun sudah berkata demikian. Tapi… apakah aku berdosa jika hatiku kini mulai goyah pada sahabatnya sendiri?"
Di sudut hatinya, Maisarah merasakan ketakutan. Ia tahu Ramli menaruh perasaan padanya, meski sudah ia tolak dengan halus. Dan kini, hadir Murhaban yang membuat hatinya bimbang. Jika ia mengikuti kata hati, bisa saja persahabatan antara dua lelaki itu hancur.
Di kejauhan, terdengar suara burung malam. Maisarah menggenggam kain selendangnya erat, mencoba menenangkan diri. Air matanya menitik perlahan.
"Ya Allah… mengapa jalan ini begitu sulit? Aku hanya seorang perempuan biasa, tapi dua lelaki baik telah Kau hadirkan di sekelilingku. Satu telah lama menjaga, satunya baru kutemui namun membuat hati bergetar. Tunjukkanlah aku jalan yang benar, sebelum semuanya menjadi luka."
Malam itu Maisarah duduk lama di beranda, larut dalam kegelisahan antara akal, hati, dan takdir yang belum ia mengerti.
*****
Waktu bergulir tanpa terasa. Sejak pertemuan di pekan itu, Murhaban semakin sering berkunjung ke rumah Maisarah. Dengan berbagai alasan—mengantarkan kain, membawa buah tangan, atau sekadar menanyakan kabar ayah Maisarah yang sudah tua—ia hadir dengan wajah tulus dan tutur kata yang menyejukkan.
Gayung bersambut, keluarga Maisarah justru menyambutnya dengan hangat. Ayahnya kagum pada ketekunan Murhaban berdagang, ibunya senang melihat kesopanannya, dan Maisarah sendiri… tanpa sadar hatinya semakin condong pada sosok pedagang dari Meulaboh itu.
Beberapa bulan kemudian, kabar pun tersiar: Murhaban dan Maisarah akan menikah. Desa menyambutnya dengan sukacita, sebab Murhaban dianggap lelaki terhormat dan pantas menjadi pendamping Maisarah.
Namun di balik kebahagiaan itu, ada hati yang terkoyak. Ramli—sahabat setia, kawan seperjalanan, orang yang paling percaya pada Murhaban—hanya bisa menahan luka dalam diam. Saat ia mendengar kabar itu, ia berusaha tersenyum, bahkan mengucapkan selamat.
“Selamat, Murhaban,” katanya dengan suara yang dipaksa tegar. “Kau pantas mendapat kebahagiaan ini. Maisarah beruntung menjadi istrimu.”
Murhaban menatapnya penuh haru. Ia tahu kalimat itu keluar dari mulut Ramli, tapi ia juga bisa membaca luka dalam mata sahabatnya.
“Ramli… aku tidak ingin ini melukai persahabatan kita. Kau saudaraku. Aku berharap kau bisa merestui.”
Ramli hanya mengangguk, tersenyum tipis. Namun di dalam dadanya, hatinya seolah terbakar. Malam-malamnya menjadi panjang, matanya sulit terpejam. Ia tak bisa menerima kenyataan bahwa gadis yang ia cintai sejak kecil, yang selalu ia jaga, kini justru dipersunting oleh sahabat yang paling ia percaya.
Di hadapan orang banyak, Ramli tetap tersenyum dan menampakkan wajah sahabat yang setia. Namun di dalam hati, ia memendam cemburu dan sakit hati yang dalam, luka yang tak seorang pun tahu seberapa perihnya.
*****
Hari pernikahan itu tiba. Desa penuh dengan keramaian: tenda-tenda berdiri di halaman rumah keluarga Maisarah, suara tabuhan rapa’i dan lantunan doa menyatu dengan tawa anak-anak yang berlarian. Bau kari kambing, gulai kerbau, dan nasi minyak memenuhi udara—hidangan pesta yang melimpah bagi para tamu undangan.
Di pelaminan sederhana yang dihias janur kuning dan bunga kampung, Murhaban duduk gagah di samping Maisarah, keduanya mengenakan pakaian adat Aceh. Senyum tak pernah lepas dari wajah mereka, menyambut setiap ucapan selamat.
Ramli hadir di tengah kerumunan. Pakaian terbaiknya ia kenakan, senyum ia paksakan, dan tangannya berulang kali ia angkat untuk menyalami tamu lain, seakan dirinya sama bahagianya dengan semua orang. Namun jauh di dalam hati, ia merasakan pisau yang terus mengiris.
Ketika tiba gilirannya memberi selamat di pelaminan, Ramli menggenggam tangan Murhaban erat.
“Selamat, sahabatku,” katanya dengan suara berat namun tetap terdengar tegar.
Murhaban menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu menjawab lirih, “Doakan kami, Ramli. Kau bagian dari keluarga ini juga.”
Ramli mengangguk. Ia menoleh pada Maisarah, yang tersenyum lembut sambil menunduk penuh hormat. Senyum itu menusuk jantungnya, mengingatkan pada malam-malam ketika ia dulu sering duduk di beranda rumahnya bersama Maisarah.
Setelah memberi salam, Ramli berjalan menjauh dari pelaminan. Langkahnya mantap, tapi hatinya hancur berantakan. Di sudut halaman pesta, ia duduk sendirian, menatap gelas kopi yang mulai dingin. Suara rapa’i dan sorak gembira terasa jauh, seperti dunia yang bukan lagi miliknya.
Malam itu, ketika pesta selesai dan desa kembali sepi, Ramli berjalan pulang dengan langkah berat. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia sadar, ia telah kehilangan Maisarah untuk selamanya—dan ironisnya, kepada sahabatnya sendiri.
Sejak hari itu, senyum Ramli di hadapan Murhaban hanyalah topeng. Di baliknya, tersembunyi luka dan cemburu yang kian dalam, perlahan menggerogoti hatinya.
*****
Waktu berlalu, satu tahun sejak pernikahan itu. Di rumah sederhana milik Murhaban, kebahagiaan semakin lengkap ketika Maisarah melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan dan sehat. Mereka memberinya nama Rizky—sebuah doa agar anak itu kelak tumbuh menjadi rezeki dan keberkahan bagi keluarga.
Tangis pertama Rizky membawa suka cita bagi keluarga besar. Maisarah tersenyum meski tubuhnya masih lemah, sementara Murhaban menggenggam tangan istrinya dengan penuh rasa syukur. “Alhamdulillah, Maisarah,” ucapnya lirih, “Allah telah memberikan kita amanah terindah.”
Sejak itu, rumah mereka selalu ramai dengan tawa kecil Rizky. Setiap pagi, Murhaban berangkat berdagang dengan semangat baru, dan setiap malam ia kembali disambut senyum istri dan anaknya. Kehidupan mereka menjadi semakin utuh, semakin bahagia.
Namun di balik itu semua, Ramli semakin dilanda api cemburu. Ia sering melihat Maisarah menggendong bayi Rizky di halaman rumah, atau melihat Murhaban dengan bangga mengayunkan anaknya di pangkuan. Pemandangan itu bagai bara yang membakar dadanya.
"Seandainya dulu Maisarah memilihku… akulah yang kini duduk di sampingnya, akulah yang menggendong anak ini," batinnya berkecamuk.
Ramli berusaha menutupi perasaannya. Di depan Murhaban ia tetap tersenyum, pura-pura ikut berbahagia. Namun semakin lama ia merasa tak sanggup lagi. Cemburu itu menumpuk, mengeras, dan berubah menjadi luka batin yang kian dalam.
Malam-malam Ramli kini dipenuhi gelisah. Ia terjaga lama, menatap gelap dengan mata kosong. Di dalam dirinya tumbuh bisikan-bisikan halus—antara rasa cinta yang tak kesampaian, dendam, dan kekecewaan pada takdir.
Dan tanpa ia sadari, bisikan gelap itu perlahan menuntunnya pada jalan yang kelak bersentuhan dengan iblis, sebuah jalan yang akan mengguncang persahabatannya dengan Murhaban dan merenggut ketenangan hidup mereka semua.
*****
bukan nya itu sudah kau rencanakan