Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Raden Mas Soedarsono
Kata ‘memakai’ membuat Sumi semakin dirundung rasa bersalah.
"Saya tidak bermaksud demikian, Tuan. Tapi saya rasa … tidak tepat Anda menggunakan kata ‘memakai’ karena kita sama-sama … menikmatinya. Kata memakai seolah saya memaksakan kehendak pada Tuan.”
“Tapi kau yang memulai, kau yang menciumku lebih dulu, aku bahkan belum pernah berciuman sebelumnya, dan kau yang membimbingku, mengenalkan apa itu … bercinta.”
Wajah Sumi tertunduk, semakin bersemu mengingat semalam. “Saya sudah mengaku salah dan meminta maaf, Tuan. Tapi apakah Anda tidak bisa berpura seakan ini tidak pernah terjadi dan melanjutkan hidup Anda tanpa memperumit keadaan?”
"Dengan kata lain kau memintaku menipu perempuan tidak berdosa di luar sana?" potong Martin, suaranya meninggi. "Dan aku tidak senang berbohong. Aku jujur, dan tidak akan menipu seorang perawan tidak berdosa bahwa sebelum menikahinya, aku telah menghabiskan malam yang bergairah dengan perempuan lain."
Sumi mengerutkan alisnya yang cantik, mulai tersulut oleh argumen Martin yang semakin emosional.
"Jika memang Anda tampak seperti orang yang menjaga keperjakaan," balasnya tajam, "kenapa Anda semalam tidak pergi saat melihat saya mandi tanpa busana di sendang?"
Mulut Martin terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar. Setelah beberapa saat, ia berdeham, berusaha menutupi kenyataan bahwa ia menikmati tontonan itu.
"Kenapa aku yang pergi?” jawabnya akhirnya. "Itu tanahku. Kau yang memasuki tanahku tanpa izin. Tadinya … aku mengira kau tenggelam. Aku bermaksud menolong. Saat kau mengulurkan tangan, aku pikir kau meminta bantuan untuk naik. Tapi kau justru menarikku turun. Aku bingung, dan kau tiba-tiba mencumbu. Jadi ini semua salahmu, Nyonya."
"Tapi Anda laki-laki," Sumi tersenyum tipis, merasa mendapatkan celah dalam argumen Martin. "Seharusnya Anda bisa saja mendorongku, tapi kenapa Anda justru membalas ciuman itu? Jadi apa yang kita lakukan adalah suka sama suka, bukan? Anda tidak dipaksa. Saya tidak memaksa. Berbeda cerita jika saya memaksa Anda."
"Aku merasa ditipu," Martin bersikeras. "Kau membuatku percaya bahwa kau tertarik kepadaku—"
"Itu karena dalam bayangan saya, Tuan adalah suami saya," potong Sumi. "Dan ini semua terjadi karena ketidakmampuan Tuan untuk menjaga keperjakaan Tuan sendiri. Seandainya semalam Tuan menolak saya, ini semua tidak akan terjadi. Jadi … tolong berhenti menyalahkan saya.”
Martin tidak mau kalah. Dengan gerakan tiba-tiba, ia berdiri dari kursinya, membuat Sumi sedikit tersentak. Wajahnya yang tampan kini lebih mirip seperti anak laki-laki yang merajuk.
"Baiklah jika kau merasa benar," ucapnya dengan nada mengancam, "aku sendiri yang akan mengatakan ini pada suamimu. Aku akan meminta maaf telah meniduri istrinya."
Wajah Sumi langsung pucat pasi. Ia turut bangkit dari kursinya.
"Anda tidak akan berani melakukan itu," ucap Sumi dengan suara bergetar, campuran antara marah dan takut.
"Kenapa tidak?" tantang Martin. "Bukankah aku baru saja mengatakan bahwa aku orang yang jujur?"
Keduanya bertatapan dengan intensitas yang sama—Martin dengan kemarahan dan tekadnya, Sumi dengan ketakutan dan rasa frustasinya.
"Saya akan berjanji," ucap Sumi akhirnya, setelah jeda panjang yang terasa menyiksa. "Tadi itu yang Anda inginkan, bukan? Saya berjanji tidak akan ... membunuh janin dalam kandungan saya, jika memang ada. Sekarang, tolong kembalikan barang-barang saya."
Martin tersenyum puas. "Tidak sekarang. Itu akan menjadi jaminan. Dan barang bukti, jika diperlukan."
Bibir Sumi terkatup rapat, rasa-rasanya ia ingin menjerit memaki. ia benar-benar tidak habis pikir dengan pria muda ini, tapi sebelum ia sempat mengatakan apa pun, terdengar suara dari arah gerbang depan.
Suara roda kereta kuda berderak keras di jalanan masuk, diikuti dengan seruan Mbah Joyo menyambut kedatangan tuan rumah.
"Ndoro Mas rawuh!" (Tuan telah tiba!)
Wajah Sumi semakin pucat. Ia menatap Martin dengan pandangan panik.
Martin tidak terlihat terganggu oleh kedatangan kereta yang menandakan kepulangan suami Sumi.
Ia justru tersenyum tipis, seolah menikmati kepanikan yang tergambar jelas di wajah perempuan di hadapannya.
"Tepat waktu sekali," ucapnya dengan santai. "Mungkin aku bisa langsung meminta maaf karena telah meniduri istrinya."
"Anda tega sekali, Tuan!" Sumi mengepalkan tangan, rahangnya mengeras menahan amarah. Rasanya ingin sekali ia menjambak anak muda yang begitu menjengkelkan ini.
"Aku hanya mencoba jujur," Martin mengedikkan bahu dengan ekspresi polos yang dibuat-buat. "Apa salahnya?"
Senyumnya semakin lebar melihat wajah Sumi yang semakin memucat, keringat dingin mulai membasahi keningnya.
"Tapi saya tadi sudah berjanji," ucap Sumi, suaranya bergetar menahan campuran antara amarah dan ketakutan. "Apa lagi yang Tuan inginkan?"
"Aku ingin kau berjanji menuruti semua kata-kataku," ucapnya dengan nada rendah.
"Aku berjanji." Sumi berkata cepat tanpa berpikir dua kali, terlalu takut dengan ancaman yang tersirat dalam kata-kata Martin.
Ketakutan yang tulus dalam suara Sumi membuat Martin terdiam. Ia menatap perempuan itu—wajah cantiknya yang biasanya tenang dan anggun kini pucat dibasahi keringat dingin, matanya yang tadi penuh percaya diri kini penuh ketakutan.
"Baiklah," ucapnya akhirnya, suaranya sedikit melembut. "Aku pegang sumpahmu itu."
Tepat pada saat itu, kereta berhenti di depan kuncung—bagian paling depan pendopo yang lantainya lebih rendah dari lantai utama pendopo.
Raden Mas Soedarsono turun dari kereta, tatapannya langsung tertuju pada Martin. Jelas ia tak senang melihat pemuda Belanda itu berada di rumahnya, terlebih lagi berdua saja dengan istrinya, tapi ia menutupinya dengan senyum ramah.
Soedarsono turun dari kereta dengan gerakan perlahan namun penuh wibawa, dalam balutan beskap hitam resmi seorang patih.
Keris pusaka terselip di bagian belakang pinggang, menandakan statusnya yang tinggi. Wajahnya tampak lelah, namun tetap memancarkan kharisma seorang priyayi terpandang.
Sumi segera bergerak menyambut suaminya, sesuai tradisi Jawa yang mengharuskan seorang istri menyambut kedatangan suami.
Ia berjalan dengan langkah anggun namun cepat, lalu membungkuk hormat saat berada di hadapan Soedarsono.
"Sugeng rawuh (selamat datang), Kangmas," ucapnya lembut, suaranya sudah kembali tenang meski jantungnya masih berdebar kencang.
Martin berdiri di tempatnya, merasakan gelombang kecemburuan saat melihat bagaimana perempuan yang semalam menjadi miliknya kini menyambut suaminya dengan begitu patuh.
Dari sudut pandangnya, interaksi itu lebih mirip bawahan yang menyambut tuannya dibanding seorang istri menyambut suami.
Ia semakin tidak senang saat mengingat kenyataan bahwa Sumi begitu takut diceraikan oleh laki-laki semacam ini—laki-laki yang kabarnya akan menikah lagi padahal telah memiliki tiga istri.
Sungguh tidak masuk akal bagi Martin bahwa Sumi lebih memilih pria yang jauh lebih tua ini dibanding dirinya, putra pemilik pabrik gula terbesar di karesidenan.
Untuk sesaat, keinginan untuk mengatakan apa yang terjadi semalam dengan Sumi begitu menggoda, terutama saat melihat bagaimana Soedarsono menyentuh pundak istrinya dengan gerakan posesif.
Tapi sesuatu dalam dirinya—entah itu rasa kasihan atau mungkin pengertian—menahannya untuk tidak melakukan itu. Tidak sekarang, pikirnya.
"Selamat sore, Tuan Van der Spoel," sapa Soedarsono dalam bahasa Belanda yang fasih, berjalan menghampiri Martin dengan langkah tenang. "Suatu kehormatan menerima kunjungan Anda di rumah kami."
"Selamat sore, Raden," balas Martin, menjabat tangan yang diulurkan Soedarsono. "Maaf jika kedatangan saya mengganggu."
Soedarsono tersenyum tipis, matanya yang tajam memperhatikan pemuda Belanda itu dengan seksama. "Jika boleh tahu, ada keperluan apa yang membawa Anda ke rumah kami hari ini?"
puaaanaaaskan
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri