Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 – Tangisan dari Lubang Tua, Riak di Danau Lamo
Hujan mengguyur Kampuang Binuang sejak petang hingga malam. Tanah menjadi becek, dan suara kodok bersahut-sahutan di pinggir sawah. Di balik rerimbunan bambu dekat surau tua, ada satu lubang lama yang telah ditutup batu dan kayu lapuk. Orang-orang kampung menyebutnya "lubang tangga tujuh", karena dulunya memiliki tujuh anak tangga turun ke dalam tanah.
Tak ada yang berani mendekat, apalagi membuka. Konon, lubang itu bekas sumur tua milik seorang penggali makam yang hilang entah ke mana setelah malam bulan gelap bertahun-tahun lalu.
Malam itu, suara tangis terdengar dari arah lubang.
Awalnya pelan.
Lalu makin jelas.
Tangisan anak kecil.
Ucup menutup telinga dengan bantal. “Kau denger gak, Ajo?”
“Dengar dari tadi. Suara anak kecil, tapi nadanya... kayak bukan minta tolong.”
Reno masuk ke rumah mereka. “Bahri minta kita kumpul. Dia bilang suara itu bukan baru sekali terdengar. Beberapa warga juga dengar. Bahkan Pak Lebai mimpi digandeng anak kecil berambut panjang.”
Mereka bertiga segera menyusul ke rumah Bahri. Di sana, Bahri sudah menyiapkan lilin, minyak kelapa, dan tali tua.
“Kita turun ke lubang itu malam ini,” kata Bahri pelan tapi mantap.
Ucup melotot. “Malam-malam begini? Yang bener aja, Ri! Besok aja pas terang!”
“Kalau kita tunggu besok, mungkin tangisan itu berubah jadi jeritan.”
Mereka berempat berjalan dalam senyap, hanya suara sandal beradu dengan tanah basah yang terdengar. Di bawah pohon bambu, lubang tua itu seperti menunggu. Kayu penutupnya sudah rapuh. Bahri mengetuk perlahan, lalu menggeser pelan.
Asap tipis keluar dari lubang. Seperti napas dari perut bumi.
Ajo menurunkan tali dan menggantungkan lampu minyak di ujungnya. Lalu satu per satu mereka turun. Anak tangga pertama licin, kedua mulai patah, dan seterusnya hingga ketujuh.
Dasar lubang itu adalah lorong batu sempit, seperti gua. Ucup menarik napas panjang. “Ini bukan sumur, ini lorong rahasia.”
Mereka berjalan perlahan. Di ujung lorong, suara tangis semakin jelas. Cahaya lampu menyorot dinding yang penuh goresan aneh. Seperti tulisan, tapi tak mereka kenal.
Reno menyentuh salah satu ukiran. Tangis itu berhenti.
Hening.
Lalu dari sudut gelap, muncul sosok kecil. Seorang anak perempuan. Rambut panjang, baju putih lusuh, mata kosong.
“Kalian datang telat...” katanya lirih.
Bahri maju. “Siapa namamu, Nak?”
Anak itu menunduk. “Aku... dijadikan tumbal. Dulu... oleh orang kampung ini. Katanya... agar tanah tetap subur.”
Ucup tertegun. “Gila... kampung ini punya banyak dosa.”
Tiba-tiba lorong berguncang. Dinding batu memunculkan wajah-wajah samar. Tangisan berubah jadi suara rintihan, lalu jeritan. Anak itu memeluk lutut, menggigil.
Bahri mengangkat botol kecil berisi air zamzam dan menyiramkan ke tanah.
“Jika kau anak yang dikorbankan, kami minta maaf atas nama kampung ini. Kami akan beri doa, nama, dan tempat. Kau tidak sendiri lagi.”
Reno mengeluarkan sapu tangan dan membungkus tangan anak itu.
“Apa kau ingin keluar dari sini?”
Anak itu mengangguk pelan.
Mereka kembali naik ke atas, membawa anak itu yang kini hanya berupa bayangan samar. Sampai di atas, Bahri mengubur satu kendi kecil berisi tanah dari dalam lubang dan meletakkan papan bertuliskan: Mariam, anak bumi yang disia-siakan.
Malam itu, tangisan berhenti.
Di surau, setelah doa bersama, Mak Tundun berkata, “Makin banyak arwah yang kita tolong... makin dekat kita ke asal muasal Palasik.”
Bahri memandang jauh ke arah gunung. “Karena setiap roh yang ditinggalkan... adalah jalan menuju Palasik. Dan ketika kita sudah terlalu dekat... kita tak lagi menolong. Kita akan diuji.”
Ajo berdiri dan berkata, “Ya udah, kalau gitu... sebelum diuji, aku minta izin dulu ke dapur. Laper!”
Ucup menimpali, “Kalau hantu kelaperan, kasih aja rendang, beres!”
Tawa mereka membaur dengan desir angin. Tapi di batas kampung, kembali muncul sosok tubuh tanpa kepala, melayang, mengintai dalam diam.
Danau Lamo terletak di utara Kampuang Binuang. Airnya tenang, tak pernah beriak meski angin berhembus kencang. Orang-orang kampung percaya danau itu ‘berisi’—tempat di mana suara tak boleh terlalu keras dan kata-kata tak boleh sembarangan. Bila melanggar, airnya akan mendidih, bahkan bisa menenggelamkan perahu meski tak ada ombak.
Pagi itu, seorang nelayan bernama Pak Dilan ditemukan tergeletak di perahunya. Wajahnya pucat, dan matanya terbuka lebar seperti melihat sesuatu yang membuat jiwanya lari lebih dulu.
“Dia masih hidup, tapi matanya... kosong,” kata istrinya, Mak Elin, dengan suara bergetar.
Reno, Bahri, Ajo, dan Ucup segera datang ke danau. Mereka ditemani Mak Tundun yang membawa bekal dari surau: tiga helai daun kelor, minyak cendana, dan gelang akar bahar.
Bahri menyentuh tangan Pak Dilan. Dingin. Tubuhnya kaku, tapi dadanya masih naik-turun pelan.
“Dia melihat sesuatu. Sesuatu yang tak bisa diterima pikirannya,” gumam Bahri.
Mak Tundun menunjuk ke tengah danau. “Dulu ada pulau kecil di sana. Tapi hilang sejak puluhan tahun lalu. Konon pulau itu bukan daratan, tapi tubuh raksasa yang ditidurkan oleh dukun tua zaman dahulu. Kalau tubuh itu bangkit, maka danau ini akan menjadi lautan duka.”
Mereka menyewa rakit kecil dan mulai menyeberang ke tengah danau. Suasana begitu senyap. Air danau tampak tak alami: tenang, tapi dalamnya tak terlihat. Langit mendung, dan udara lembab.
Ucup menatap ke bawah. “Gak kelihatan dasar sama sekali. Airnya hitam banget.”
Ajo mengangguk. “Kayak kaca. Tapi kaca yang bisa menelan.”
Tiba-tiba suara denting terdengar, seperti ada yang memukul mangkuk logam dari bawah air. Suara itu berulang... lalu terdengar seperti ratapan.
Reno menyipitkan mata. “Itu... suara tangisan.”
Rakit mereka berhenti tiba-tiba. Seakan terjepit sesuatu.
Bahri melemparkan garam ke sekeliling rakit. Perlahan, muncul gelembung-gelembung dari air, dan bayangan perempuan muncul di bawah permukaan. Rambutnya panjang menjuntai, dan matanya menatap ke atas.
“Jangan lihat matanya!” teriak Mak Tundun dari tepi danau.
Tapi Ucup sudah menatapnya lebih dulu. Seketika tubuhnya lemas. Ia terjatuh dan bergumam, “Dia... dia nunggu seseorang...”
Bahri segera menaburkan minyak cendana ke air dan merapalkan doa. Air bergetar hebat. Bayangan itu muncul ke permukaan dan perlahan naik ke rakit.
Perempuan itu mengenakan baju putih compang-camping. Tangannya membawa kain basah yang ia bentangkan di depan mereka.
“Aku ditinggal di sini... pengantin tanpa pesta... tubuhku tenggelam... tak seorang pun mencariku...”
Reno menatap kain itu. Di pojoknya tertera bordir: Nursiah – 1973.
“Dia... pengantin yang hilang?”
Mak Tundun mengangguk. “Zaman dulu, ada pesta nikah yang tak pernah selesai. Pengantinnya hilang saat perjalanan ke danau. Katanya jatuh dari rakit. Tapi tubuhnya tak pernah ditemukan.”
Bahri berbicara dengan pelan. “Kami di sini untukmu. Kami akan kembalikan namamu, dan doakanmu.”
Perempuan itu tersenyum, lalu perlahan menghilang, menyatu dengan kabut tipis. Rakit mulai bergerak kembali. Di permukaan air, muncul riak-riak kecil—pertanda danau menerima jiwa yang telah lama terpendam.
Sesampainya di darat, mereka mendirikan nisan di pinggir danau bertuliskan nama Nursiah, dan mengadakan doa bersama.
Ucup yang mulai siuman berkata lirih, “Aku lihat wajahnya... dia cantik. Tapi matanya penuh tanya.”
Ajo menambahkan, “Tanya yang mungkin gak pernah dijawab selama puluhan tahun.”
Bahri menatap langit yang mulai cerah. “Semakin dekat kita ke inti... semakin banyak jiwa yang perlu disapa. Palasik... mungkin bukan satu roh. Tapi lautan luka yang dibungkam.”
Mak Tundun menambahkan, “Dan kalau semua luka itu terbuka... kampung ini harus siap menghadapi arusnya.”
biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
semangat Thor... semoga sukse...