NovelToon NovelToon
Kapten Merlin Sang Penakluk

Kapten Merlin Sang Penakluk

Status: sedang berlangsung
Genre:Action
Popularitas:328
Nilai: 5
Nama Author: aldi malin

seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

menyamar dalam gelap

Laras menyeka meja dengan gerakan cepat. Musik jazz mengalun pelan di sudut bar yang temaram. Sesekali, lampu neon dari jalan raya memantul di kaca jendela, memberi warna samar pada wajah para pelanggan.

Tapi malam ini, fokus Laras hanya pada satu orang—seseorang yang duduk di pojok ruangan. Pria itu sendiri, tidak memesan banyak, hanya segelas whisky dan sebungkus rokok yang belum dibuka. Topi hitam menutupi sebagian wajahnya. Tatapannya tajam, tak pernah melihat ke arah mana pun, seolah menunggu sesuatu... atau seseorang.

Laras terdiam beberapa detik, tak berkedip menatapnya. Jantungnya seperti mengenal siluet itu. Bukan pelanggan biasa.

Tiba-tiba—

“Hei, manis…”

Sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya. Seorang pelanggan mabuk menatapnya dengan senyum miring. “Temani aku minum, ya? Aku bayar mahal.”

Laras menarik tangannya cepat, memasang senyum profesional. “Maaf, saya sedang bekerja.”

“Tapi kamu kerja di sini buat itu kan? Buat hibur kami!”

Tangan si pria mencoba menarik Laras lebih dekat.

Laras mulai gelisah. Tapi di pojok ruangan, pria misterius itu tetap tak bergerak. Masih duduk. Masih mengamati.

Pelanggan mabuk itu semakin menjadi-jadi. Tangannya kini meraih kerah atasan Laras dan menariknya paksa. Suara robekan kain terdengar jelas. Laras terkejut dan berusaha menutup dadanya yang terbuka dengan tangan gemetar. Suasana bar mendadak hening. Beberapa pelanggan lain hanya menonton tanpa niat membantu.

Namun tiba-tiba—

Brak!

Sebuah kursi terlempar menghantam tubuh si pemabuk. Tubuhnya terjungkal ke lantai, mulutnya berlumur darah. Semua mata langsung menoleh ke sumber kekacauan.

Seorang pria berdiri di sana, napasnya berat, wajahnya dingin. Ia menghampiri Laras, tanpa berkata sepatah kata pun, dan langsung membuka jaket hitamnya, menyelimutkannya ke tubuh Laras dengan penuh kehati-hatian.

“Maafkan aku telat.”

Suaranya dalam, tenang, namun mengandung emosi yang tak bisa dijelaskan.

Laras menatapnya, masih terkejut dan malu. “K-Kamu siapa…?”

Pria itu tersenyum tipis. “Aku Frenki. Nama kamu siapa? Bolehkan aku antar kamu pulang?”

Laras mengangguk pelan

Malam itu hujan rintik turun di jalanan sempit menuju gang kos-kosan. Frenki melangkah pelan, jaketnya sudah dipakaikan ke tubuh Laras yang menggigil, entah karena cuaca atau karena cerita yang perlahan mengalir dari bibirnya.

"Aku cuma ibu tunggal, Frenk," suara Laras pelan, nyaris tenggelam oleh deru motor yang melintas. "Orang lihat aku wanita murahan. Tapi mereka nggak tahu... aku cuma ingin anakku bisa makan, bisa sekolah."

Frenki menoleh, memperhatikan matanya yang sembab tapi masih menyala oleh keteguhan. "Orang bisa menilai dari luar, Laras... tapi aku nggak."

Laras menahan napas sejenak. "Kau beda ya, Frenki? Kau nggak seperti pelanggan lain."

Frenki hanya tersenyum samar, menatap dalam. Dalam hatinya mulai muncul keraguan—siapa sebenarnya wanita ini?

Suasana bar malam itu lebih riuh dari biasanya. Musik berdentum, lampu redup berkilauan, dan suara tawa mabuk memenuhi ruangan. Frenki duduk di pojokan, gelasnya masih penuh. Tatapannya terpaku pada Laras yang sedang berdiri dekat meja bar, melayani seorang pria paruh baya yang baru datang.

Pria itu mengenakan jas mahal, jelas bukan pelanggan biasa. Ia menyelipkan selembar uang besar ke bra Laras sambil membisikkan sesuatu di telinganya. Laras tertawa kecil, lalu mengikuti pria itu ke arah tangga menuju kamar di atas bar.

Frenki mengepalkan tangan. Matanya tak lepas dari Laras yang menghilang di balik pintu kamar bersama pria itu.

“Dia cuma kerja,” gumamnya sendiri. “Kenapa gue peduli?”

Tapi detak jantungnya tak mau bohong. Ada rasa panas yang menjalar. Cemburu? Atau… curiga?

Beberapa menit kemudian, dia bangkit dari kursinya, mendekati bartender dan berkata, “Dia sering dapet tamu kayak gitu?”

Bartender menoleh santai. “Laras? Ah, dia pilih-pilih. Tapi kalau yang bayar gede, ya… kamu tahu lah.”

Frenki diam, tapi pikirannya bekerja. Ada yang aneh dengan Laras. Bukan cuma tentang dia yang terlalu ramah... tapi seolah dia menyimpan sesuatu.

Frenki berjalan pelan di koridor sempit lantai atas bar. Langkahnya mantap, tapi hatinya penuh gejolak. Ia mendekati kamar tempat Laras masuk bersama pria itu. Suara dengusan kasar terdengar samar dari balik pintu, disusul rintihan pelan yang membuat dada Frenki sesak.

“Laras...” gumamnya. Ia ragu sejenak, tapi ketika terdengar suara Laras seperti menahan isak, tanpa pikir panjang, Frenki menghantam pintu itu dengan bahunya.

“BRAK!”

Pintu terbuka keras. Di dalam kamar yang remang-remang, terlihat seorang pria paruh baya berdiri terburu-buru, tubuh bagian atasnya telanjang. Laras berada di atas ranjang, hanya mengenakan pakaian dalam bagian bawah, tubuhnya setengah tertutup selimut, wajahnya terkejut dan ketakutan.

“KELUAR KAMU, BAJINGAN!” Frenki berteriak.

Pria itu membalikkan badan, marah. “Eh, kamu siapa?! Suaminya? Pacarnya? Ini bukan urusanmu! Saya sudah booking dia—dengan harga mahal!”

Tanpa bicara, Frenki merogoh saku jaketnya dan melempar segepok uang tunai ke lantai. “Tuh! Lebih dari yang kamu kasih! Seratus juta! Sekarang… PERGI!”

Pria itu melirik uang itu, lalu melirik Frenki yang berdiri tegap penuh kemarahan. Perlahan, ia memungut bajunya dan mendengus kesal. “Dasar bucin…” gumamnya sebelum melangkah keluar.

Setelah pintu tertutup kembali, Frenki berdiri diam. Nafasnya masih berat, matanya menatap Laras yang masih duduk di tempat tidur, menunduk, memeluk dirinya sendiri.

“Kenapa kamu lakuin ini… kalau kamu nggak mau?” tanya Frenki dengan suara pelan.

Laras menatapnya perlahan. Ada air mata di sudut matanya. Tapi ia tak menjawab. Masih misterius… masih menyimpan rahasia.

Laras memalingkan wajah, air matanya jatuh satu per satu membasahi pipinya. Suaranya serak, pelan, tapi penuh tekanan.

“Aku nggak butuh dikasihani, Frenki… Jangan ikutin aku lagi.”

Frenki terdiam. Tapi hatinya menolak pergi. Ia melangkah maju, mencoba menyentuh bahu Laras. Tapi Laras menepis tangannya dan membentak:

“KENAPA KAMU NGIKUTIN AKU?! INI HIDUPKU! Ini pekerjaanku, Frenki. Aku lakukan ini buat makan, buat hidup… Bukan karena aku mau!”

Nafas Laras tersengal. Emosinya meledak. Frenki hanya bisa memandangnya, terpaku.

“Kamu bukan siapa-siapaku, Frenki! Jangan datang-datang dan sok jadi penyelamat. Aku udah cukup menderita.”

Frenki mencengkeram tangan Laras, tak kuat lagi menahan rasa di dadanya.

“Aku… aku nggak bermaksud begitu. Maafkan aku, Laras…” katanya, terbata.

Wajah Frenki berubah sendu. Bayangan masa lalunya berkelebat cepat di benaknya. Ia teringat bagaimana ia menemukan istrinya dulu—perempuan yang ia cintai—sedang berselingkuh dengan pria lain. Rasa hancur, kecewa, dan kehilangan itu kembali menggerogoti hatinya.

Tapi yang lebih mengejutkan: perasaan yang muncul saat ini lebih dalam. Sejak pertama bertemu Laras, sejak pertama kali melihat tatapan matanya yang sendu di balik meja bar, Frenki tahu… dia jatuh cinta.

“Aku cuma nggak mau kamu… bernasib sama seperti aku. Hancur. Dipermainkan. Ditinggalkan.”

Laras menatap Frenki dalam diam. Ada konflik di matanya—antara amarah dan rasa iba. Antara ketegaran dan luka yang belum sembuh.

“Aku tahu aku bukan siapa-siapa buat kamu. Tapi kalau kamu izinkan… Aku pengin jadi seseorang yang bisa kamu andalkan, walau cuma sebentar.”

Suasana kamar hening. Hanya terdengar detak jantung dan isakan pelan. Untuk pertama kalinya, Laras tidak membalas kata-kata Frenki dengan bentakan.

Dia hanya memejamkan mata… dan menangis lebih dalam.

Frenki terdiam. Tubuh Laras yang masih tak sepenuhnya tertutup kini memeluknya erat. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena kedekatan fisik, tapi karena dilema yang mengguncang batinnya.

Laras membisik pelan di telinganya, suaranya lembut namun penuh jebakan:

> “Apa kau mau aku keluar dari semua ini, Frenki? Dari dunia yang kotor ini…?”

Frenki tak langsung menjawab. Tapi aroma tubuh Laras, kehangatan pelukannya, dan suara napasnya yang dekat di lehernya membuat pikirannya kacau. Tubuhnya tegang, adrenalinnya memuncak.

Dia menatap wajah Laras… wajah campuran Asia dan bule itu benar-benar memikat. Kulitnya putih tanpa cela, rambut hitam panjang menjuntai ke bahunya, mata birunya menusuk hati siapa pun yang menatapnya.

Frenki tahu: Laras bukan perempuan biasa.

Bayaran mahal untuk perempuan ini bukan hanya soal tubuh. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam. Sesuatu yang disembunyikan di balik kelembutan dan senyumannya.

> “Laras…” suara Frenki parau, bergetar. “Kau tahu, aku bukan lelaki yang baik. Tapi kalau kau benar-benar ingin keluar… aku bisa bantu.”

Laras menarik tubuhnya perlahan. Masih dengan tatapan tajam namun dalam. Bibirnya nyaris menyentuh bibir Frenki.

> “Tapi kalau aku keluar… aku akan bawa banyak rahasia bersamaku.”

Frenki menelan ludah. Ia mulai ragu. Apakah ia yang menjebak Laras? Atau justru sebaliknya—ia yang kini terjebak dalam permainan Laras?

Laras tersenyum samar, misterius. Senyum yang tak memberi jawaban.

Kekhawatiran Frenki lenyap seketika. Bibir Laras menyentuh bibirnya perlahan, lembut namun penuh keyakinan. Kecupan itu singkat—namun cukup untuk meruntuhkan benteng curiga dalam hati Frenki.

Ia membalas kecupan itu, ragu-ragu pada awalnya, lalu larut dalam dekapan dan kehangatan yang membuatnya lupa segala logika.

Laras menatapnya, bibirnya masih begitu dekat.

> “Aku tidak ingin jadi wanita malam selamanya, Frenki,” bisiknya lirih. “Tapi aku butuh alasan. Butuh seseorang yang percaya padaku…”

Frenki mengangguk pelan, hatinya telah digenggam tanpa sadar.

Namun Laras—atau tepatnya, Tania—tersenyum dalam hati. Penyamaran ini adalah salah satu yang tersulit dalam kariernya, tetapi juga salah satu yang paling sempurna. Ia tahu Frenki tidak mudah ditaklukkan. Ia juga tahu Frenki menyimpan celah penting untuk mengungkap jaringan si Bayangan.

Dan sekarang… celah itu telah terbuka.

Di dalam dirinya, Tania menyimpan rasa bersalah. Karena Frenki… benar-benar jatuh cinta. Tapi tugas tetap tugas.

> “Maafkan aku, Frenki… suatu saat nanti kau akan mengerti,” batinnya lirih.

Di bawah temaram lampu kamar yang redup, Laras membiarkan dirinya larut dalam permainan yang ia ciptakan sendiri. Setiap sentuhan, setiap desahan adalah bagian dari aktingnya yang begitu meyakinkan—terlalu nyata bahkan untuk dirinya sendiri.

Frenki memeluknya erat, tubuhnya bergetar di antara napas yang memburu. Dalam genggaman Laras, ia menyerah, hancur, dan menemukan rasa yang selama ini hilang dari hidupnya.

> “Aku mencintaimu, Laras…” ucap Frenki dengan suara serak penuh luka dan kejujuran.

Laras tak menjawab. Ia hanya memandang mata Frenki, lalu membelai pipinya pelan. Dalam diam, ia tahu kalimat itu bisa menjadi kunci. Tapi dalam hatinya, ada perasaan aneh yang tak ia duga—sesuatu yang tak pernah ia rencanakan muncul dalam penyamaran ini: simpati.

Namun, ia harus kuat. Karena Laras bukan hanya seorang wanita malam… ia adalah Tania. Komandan sektor yang sedang menjalankan misi terbesarnya: membongkar jaringan si Bayangan lewat satu-satunya celah yang tersedia—Frenki.

Sejak hari itu, Laras tak lagi terlihat di klub malam. Ia memilih tinggal bersama Frenki, menjalani hari-hari dalam ketenangan semu. Frenki berubah—lebih lembut, lebih terbuka, dan tampak ingin melepaskan diri dari masa lalunya.

Ia bercerita sedikit demi sedikit, tentang Chen, tentang jalur penyelundupan, hingga tentang sosok misterius yang selama ini mereka sebut sebagai Si Bayangan. Laras mendengarkan semuanya dengan penuh perhatian, sambil diam-diam merekam dan mencatat di benaknya.

> “Aku ingin hidup baru, Laras. Dengan kamu. Aku mau menikahimu,” ucap Frenki suatu malam sambil menggenggam tangan Laras erat.

Laras menunduk, senyum samar menghiasi wajahnya yang tenang. Namun hatinya bergejolak—semua ini nyata, atau hanya perangkap lain dari dunia kelam yang selama ini ia buru?

Suatu sore, telepon Frenki berdering. Nama dan nomor tak dikenal muncul. Ia ragu untuk mengangkatnya, tapi suara berat di seberang langsung membuat bulu kuduknya meremang.

> “Hotel Grand Lotus. Kamar 305. Malam ini. Jangan bawa siapa-siapa.”

Frenki diam, wajahnya pucat.

> “Siapa itu?” tanya Laras lembut.

> “Bayangan,” jawab Frenki pelan.

Laras memeluknya, “Aku ikut. Aku nggak bisa kehilangan kamu, Frenk. Aku cinta kamu…”

Frenki menatap mata Laras. Ia tak tahu, pelukan yang hangat itu datang dari seorang wanita yang sebenarnya menyimpan rahasia lebih besar dari siapapun.

1
aldi malin
terima kasih semoga ikutin episode berikutnya
Lalula09
Dahsyat, author kita hebat banget bikin cerita yang fresh!
うacacia╰︶
Aku sangat penasaran! Kapan Thor akan update lagi?
aldi malin: oke ...dintunggu ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!