Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34_Jerat yang Memikat
Gedung Kejaksaan Tinggi berdiri megah, menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk kota. Langit hari itu tidak terlalu cerah, seakan semesta pun menahan napas menanti kejutan selanjutnya. Di dalam salah satu ruang pemeriksaan yang bercahaya dingin dan beraroma disinfektan, Bima duduk sendiri. Wajahnya keras, tapi matanya penuh kegelisahan.
Ia mengenakan setelan jas abu-abu tua. Tapi tak peduli seberapa mahal pakaian yang ia kenakan, tak ada yang bisa menyembunyikan kecemasan yang mulai merayapi setiap gerak tubuhnya.
Pintu terbuka. Seorang penyidik masuk membawa berkas.
“Kami sudah memeriksa sebagian besar laporan. Rekaman CCTV yang diserahkan, pengakuan saksi, serta jejak transaksi rekening dari yayasan amal milik Anda. Banyak yang perlu Anda jelaskan, Pak Bima.”
Bima tidak langsung menjawab. Ia menghela napas.
“Semua ini... hanya permainan opini. Aku dijebak.”
Penyidik itu menatapnya tanpa ekspresi.
“Kalau Anda dijebak, Anda pasti punya bukti untuk membuktikannya. Tapi sejauh ini, bukti yang ada semua menunjukkan hal yang sebaliknya.”
***
Di sisi lain kota, Namira duduk di balkon rumah sakit, masih dalam masa pemulihan. Tubuhnya sudah jauh lebih baik, namun pikirannya tetap sibuk memproses semua yang terjadi. Ia menggenggam secangkir teh hangat bukan kopi favoritnya lagi, menatap langit biru pucat.
“Aku tidak pernah membayangkan akhirnya sampai ke titik ini,” ucapnya perlahan.
Sean duduk di sebelahnya. Ia menatap langit yang sama.
“Kebenaran selalu punya caranya sendiri untuk ditemukan, Namira. Kadang caranya keras. Tapi hasilnya selalu adil.”
Namira menoleh.
“Kamu tidak lelah berjuang sejauh ini?”
Sean menggeleng.
“Aku lebih lelah saat kamu masih menanggung semuanya sendirian.”
Diam sejenak. Hanya desiran angin yang menemani mereka.
“Aku belajar satu hal dari semua ini,” ujar Namira.
“Kadang, orang terkuat bukan yang bersuara lantang atau yang berdiri di depan kamera. Tapi orang yang tetap bertahan, meski dihujat, difitnah, dan ditinggalkan.”
Sean menatapnya dalam, “dan kamu adalah orang itu.”
Namira tersenyum, tidak dengan bangga, tapi dengan kelegaan.
“Terimakasih karena kamu memilih untuk melihatku, bukan hanya percaya pada apa yang dunia katakan tentangku.”
***
Sementara itu, Anton dan Nina sibuk menyusun laporan tambahan. Mereka duduk di kos kecil Anton yang sekarang seperti markas darurat untuk misi mereka.
“Beberapa pihak sudah mulai menghubungi,” kata Nina.
“Ada produser dokumenter yang tertarik mengangkat kisah ini ke layar lebar. Tapi kita harus pastikan semua bukti benar-benar terkunci.”
Anton menyimpan flashdisk ke dalam brankas kecil.
“Kita tidak hanya melindungi Namira sekarang. Kita melindungi banyak perempuan lain yang tidak pernah bisa bersuara.”
Nina mengangguk.
“Kadang, perubahan dimulai dari satu keberanian yang akhirnya menular.”
***
Di ruang pemeriksaan, Bima semakin terdesak. Penyidik meletakkan foto-foto hasil tangkapan layar CCTV yang memperlihatkan ia memaksa masuk ke kamar hotel bersama Namira. Lalu bukti pengalihan dana dari yayasan sosial ke rekening pribadi.
“Masih menganggap semua ini permainan opini?” tanya penyidik.
Bima terdiam. Untuk pertama kalinya, ia kehilangan kata.
Lalu, sebuah ketukan di pintu. Asisten penyidik masuk, menyerahkan dokumen tambahan.
“Ini dari tim siber. Mereka berhasil menemukan arsip lama yang diunggah ke server cadangan. Data pembicaraan internal antara Bima dan redaksi media yang pertama kali menyebarkan skandal palsu.”
Penyidik membuka dokumen itu. Lalu menatap Bima dengan sorot tajam.
“Anda menggunakan media untuk menghancurkan seseorang demi ambisi Anda. Sekarang, waktunya Anda mempertanggungjawabkan semuanya.”
Bima mendongak, matanya merah.
“Kalian pikir kebenaran itu bisa menghancurkanku? Aku bisa beli semua ini.”
“Tapi uang tidak bisa membeli waktu yang sudah hilang dan tidak bisa membeli harga diri seseorang yang telah Anda injak.”
***
Di rumah sakit, Namira menerima kiriman dari Nina: video yang kini sudah ditonton lebih dari lima juta kali di berbagai platform. Di dalam video itu, wajah Sean tampak tegas saat ia berdiri di depan kamera, menyatakan kebenaran tentang Namira dan skandal yang direkayasa. Ia tidak membela secara berlebihan, tapi kata-katanya penuh ketegasan.
“Namira adalah seorang perempuan yang memilih diam demi menyelamatkan banyak orang. Tapi diam bukan berarti salah. Kini, saatnya kita semua belajar satu hal jangan pernah percaya pada satu sisi cerita dan jangan biarkan kekuasaan membungkam kebenaran.”
Namira menangis menontonnya. Ia tahu, ini bukan hanya perjuangannya lagi. Ini sudah menjadi perjuangan bersama.
Hari berikutnya, suasana di depan kantor kejaksaan dipenuhi wartawan. Isu tentang Bima sudah merebak. Ia ditahan untuk penyelidikan lebih lanjut. Perusahaannya mulai mengalami tekanan besar dari pemegang saham dan masyarakat.
Pada sore itu, ketika matahari mulai tenggelam, Sean, Nina, Anton, dan Namira duduk bersama di taman rumah sakit. Mereka diam. Tapi dalam diam itu ada ketenangan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
“Aku merasa ini seperti kemenangan,” ujar Anton.
Sean mengangguk.
“Tapi bukan kemenangan untuk membalas. Ini kemenangan untuk berdiri kembali setelah dijatuhkan.”
Nina menambahkan, “dan kemenangan untuk mereka yang selama ini tidak pernah punya suara.”
Namira memandang mereka satu per satu.
“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Tapi aku tahu satu hal. Aku tidak sendiri lagi.”
Sean menggenggam tangan Namira, “dan kamu tidak akan pernah sendiri lagi.”
“Kebenaran tidak selalu menang di awal. Tapi jika diperjuangkan dengan hati yang tulus, pada akhirnya ia akan menemukan jalannya sendiri. Tidak ada kekuasaan yang lebih kuat dari keberanian untuk menyuarakan yang benar.”
...****************...
Di apartemennya, Bima duduk diam. Ia menatap dinding kosong. Tak ada lagi sorotan kamera, tak ada lagi pujian dan di tempat lain, seorang perempuan yang dulu dihina kini menjadi simbol keberanian baru. Wajahnya muncul di sampul majalah, dengan satu kalimat:
“Namira: Perempuan yang Tidak Diam Lagi.”
YA TUHANNN. GA KEBAYANG GIMANA HANCURNYA SEAN /Sob//Sob/