Bijaklah dalam memilih tulisan!!
Kisah seorang penulis online yang 'terkenal lugu' dan baik di sekitar teman-teman dan para pembaca setianya, namun punya sisi gelap dan tersembunyi—menguntit keluarga pebisnis besar di negaranya.
Apa yang akan di lakukan selanjutnya? Akankah dia berhasil, atau justru kalah oleh orang yang ia kendalikan?
Ikuti kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembalasan Penulis Licik 23
...****************...
Aresya masih di atas tubuh Arion, posisi mereka begitu dekat, terlalu dekat. Napas keduanya saling menyentuh wajah masing-masing, hangat dan terburu.
Arion menatap mata Aresya yang besar dan jernih, ada kilatan sesuatu di sana—entah kepolosan atau jebakan yang terencana.
Namun sebelum Aresya sempat bangkit, tiba-tiba lengan Arion bergerak, melingkar di pinggang Aresya. Dekapan itu terasa mendadak, kuat, dan hangat. Ia menarik tubuh Aresya lebih dekat, terlalu dekat hingga dada mereka saling menekan, napas mereka beradu.
“A-Arion?” suara Aresya nyaris tercekat.
Tapi Arion tidak menjawab. Pandangannya terfokus penuh pada bibir Aresya yang menggoda, merah ranum dan tampak sedikit terbuka karena keterkejutan.
Tanpa pikir panjang—atau mungkin pikirannya memang sudah dikuasai sesuatu yang lain—Arion mengangkat satu tangannya, menelusup ke belakang leher Aresya, lalu perlahan menariknya mendekat.
Dan sebelum jarak itu habis, sebelum bibir mereka benar-benar bersatu...
Aresya menahan dada Arion dengan kedua telapak tangannya, mendorong tubuhnya perlahan tapi tegas. Ia memundurkan wajahnya beberapa senti, membuat tatapan mereka kembali sejajar.
“Arion...” suaranya lembut, tapi tegas. “Ingat perjanjian kontrak kita.”
Arion terdiam, nafasnya masih terengah.
“Kamu,” lanjut Aresya sambil menyunggingkan senyum kecil, “nggak boleh terangsang padaku, kan?”
Ia bangkit perlahan, membetulkan letak gaun tipisnya yang sempat tersingkap saat jatuh.
Sementara Arion masih di lantai, termangu, wajahnya menyiratkan kebingungan, mungkin juga kekesalan pada dirinya sendiri.
Aresya melangkah pelan menuju dapur, memungut gelas jus yang tadi terjatuh tapi untungnya tak pecah. Sebelum masuk ke ruang tengah, ia menoleh sebentar dan berkata dengan suara tenang yang nyaris terdengar manja,
“Nanti jangan lupa salep untuk kakiku, ya.”
Lalu pergi, meninggalkan Arion dengan segunung perasaan yang tak ia pahami.
Dan Aresya? Ia tersenyum dalam hati.
Satu langkah lagi, Arion. Kamu semakin masuk ke dalam permainan ini.
Baru saja Aresya melangkah menjauh, tiba-tiba sebuah tangan kuat menarik pergelangan tangannya dengan paksa.
Tubuhnya terdorong mundur, dan dalam sekejap ia telah berada dalam pelukan Arion, dadanya membentur dada pria itu. Wajah mereka hanya terpaut sejengkal, napas Arion memburu dan matanya tampak gelap penuh gejolak yang tak biasa.
“Hei! Apa-apaan sih—” seru Aresya sambil sedikit memberontak, tapi genggaman Arion di pinggang dan lengannya terlalu kuat.
“Aku yang memutuskan bagaimana pernikahan kontrak ini berjalan, Aresya,” desis Arion pelan namun penuh tekanan, suaranya rendah seperti menahan sesuatu yang meledak di dalam.
Aresya menatap mata Arion, tajam namun tetap tersenyum samar.
“Dan kamu juga yang menyetujui semua syarat yang kubuat. Kamu tanda tangan juga, Rion.”
Arion terdiam sesaat, rahangnya mengeras, napasnya terdengar berat.
Ia mengumpat lirih, “Brengsek... sialan.”
Aresya menatap wajah Arion, mengamati perubahan ekspresinya, gerakan alisnya yang menegang, dan mata yang tampak kehilangan arah. Lalu, dengan suara lembut namun menusuk, ia bertanya sambil menatap tepat ke mata pria itu,
“Kamu jatuh cinta padaku, Rion?”
Hening.
Pertanyaan itu menggantung di udara seperti bayangan yang tak bisa diusir. Dan untuk sesaat, tak ada yang berkata-kata. Hanya detak jantung yang kian menggila.
Aresya menahan senyumnya. Tidak karena malu. Tapi karena... semua berjalan sesuai rencana.
Arion terdiam. Matanya menatap Aresya tanpa kedipan, seperti mencoba menembus kabut yang mulai menyelimuti pikirannya sendiri.
Tubuhnya menegang, rahangnya menggembung karena menahan sesuatu—entah amarah, hasrat, atau kebingungan yang menghancurkan logika.
Lalu, Aresya mendekat lagi, sangat dekat, hingga napas hangatnya menyapu kulit wajah Arion.
“Aku bisa memuaskanmu, Rion,” bisiknya menggoda, suaranya lembut namun tajam seperti pisau sutra.
“Tapi aku yang pegang kendali. Kalau kamu membalasku… permainan berhenti.”
Arion menggeram pelan, seperti binatang yang terpojok, tak tahu apakah harus kabur atau menerkam.
“Ternyata kamu seorang jalang,” desisnya kasar, suaranya dalam dan penuh emosi yang bertabrakan di dalam dada.
Namun Aresya hanya tersenyum—senyum manis yang tak pernah tampak sebegitu berbahaya. Ia mengangkat tangannya, membelai dada Arion perlahan, seolah tak tersentuh oleh hinaan itu.
“Sepertinya kamu butuh sesuatu untuk melepaskan itu…” ucapnya lembut, jemarinya meluncur pelan ke arah pinggul pria itu, lalu mundur, menggoda.
“Aku hanya ingin membantumu, Arion,” katanya, hampir seperti bisikan manis di tengah badai.
Tatapan Arion membara. Ia tahu ini bukan sekadar permainan biasa. Ini medan perang, dan Aresya—wanita yang selama ini tampak lembut dan penuh senyum manis—ternyata adalah lawan yang paling mematikan yang pernah ia temui.
Dan yang paling gila… ia tak yakin ingin menang.
...****************...
Arion mencengkeram lengan Aresya, bukan dengan kekerasan, tapi dengan dorongan yang tertahan—seolah seluruh tubuhnya berteriak ingin bergerak, tapi otaknya masih menahan kendali terakhir yang rapuh.
"Aresya…" gumamnya nyaris tak terdengar. Suaranya serak, seakan terbakar dari dalam.
Aresya menatap ke dalam mata Arion, mata yang berisi hasrat, kemarahan, dan keraguan yang menyatu dalam satu ledakan sunyi. Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, bibirnya hanya sejarak napas dari bibir Arion.
"Kalau kamu mau," bisiknya pelan, "tinggal katakan."
Arion menahan napas, dadanya naik-turun cepat. Jemarinya kini menyentuh pinggang Aresya, lalu naik ke punggungnya, menyusuri kulit lembut di balik satin tipis itu.
Namun saat wajah mereka hanya berjarak milimeter, saat napas mereka berpadu dan dunia terasa runtuh, Aresya menyeringai kecil—senyum menggoda penuh kemenangan.
"Sayangnya… kamu belum cukup putus asa," katanya sambil mundur perlahan.
Arion terdiam, matanya membara menatap punggung Aresya yang menjauh, langkahnya tenang namun menggoda, seperti mengundang untuk dikejar.
Sebelum membuka pintu kamarnya, Aresya menoleh sebentar, dengan mata tajam penuh misteri.
"Selamat malam, suamiku," ucapnya manis.
Dan pintu tertutup pelan… meninggalkan Arion berdiri sendirian, dengan napas tercekat dan dada bergemuruh, di antara batas kendali dan kehancuran.
.
.
.
Next 👉🏻