kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman baru...
Axel melihat tingkah ketakutan Rico dan Mark dengan geli. Ia tahu, 'Lion' dan 'Tiger' ini bukan sekadar hewan,mereka adalah perpanjangan dirinya, cerdas dan protektif terhadap pemiliknya.
Dengan langkah tenang, Axel mendekat ke 'Lion'. Ia mengusap-usap , seolah menenangkan seekor hewan peliharaan yang marah.
"Tenang, Boy," bisik Axel, suaranya rendah dan menenangkan. "Mereka cuma mau mandiin kamu, kok. Jangan nakal."
Ajaibnya, 'Lion' yang tadi mengaum dan memelototi Rico dan Mark, kini mendengkur pelan, lampu depannya meredup, seolah patuh. Axel menoleh ke arah Rico dan Mark, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. "Dia sudah nurut. Sekarang kalian lanjutkan tugas kalian," perintahnya.
Axel kemudian berbalik dan meninggalkan mereka, memberi isyarat kepada yang lain untuk kembali ke kegiatan masing-masing.
"Gila, ini binatang tunduk banget sama si kulkas," bisik Mark.
tak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. Ia tidak tahu bahwa 'Lion' memiliki sensor suara yang sangat sensitif, terutama terhadap suara yang tidak dikenalnya atau yang bernada mencemooh.
Mungkin 'Lion' memang tahu majikannya dijulidin, atau mungkin ia memang memiliki 'perasaan' layaknya hewan sungguhan.
Tiba-tiba, 'Lion' mengaung lagi, suara klaksonnya memekakkan telinga, dan lampu depannya kembali menyala terang dengan tatapan tajam nan mematikan, kali ini mengarah langsung ke Mark.
Rico sontak mundur selangkah, wajahnya pucat pasi. "Kamu sih, ngomongin tuannya! Jadi marah kan!" ucap Rico, suaranya bergetar. Ia perlahan mundur.
sementara 'Lion' terus mendekat dengan ancaman, seolah ingin menerkam.
Mark yang sudah diliputi ketakutan sejak awal, kini benar-benar pingsan. Tubuhnya limbung, dan ia terjatuh tak sadarkan diri di rerumputan hijau halaman mansion.
Axel yang melihat itu dari jauh hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tahu Rico dan Mark sering menjulukinya 'kulkas' karena sikapnya yang dingin dan tegas, tapi ia tak menyangka 'Lion' akan merespons se-protektif itu.
"No, Lion!" perintah Axel, suaranya tegas namun penuh otoritas. Seketika, 'Lion' patuh. Ia mematikan klaksonnya dan meredupkan lampu, lalu dengan tenang, naik ke atas tempat tidurnya – sebuah platform khusus yang memang disediakan untuk dua mobil kesayangannya itu.
Axel kemudian memanggil beberapa penjaga. "Angkat Mark, bawa dia masuk ke mansion," perintahnya.
Di teras depan, Rara dan si kembar, Vany dan Vanya, serta Maya yang baru saja bergabung, sedang asyik mengobrol sambil menikmati segelas jus. Mereka kaget melihat pengawal menggotong tubuh Mark yang tak sadarkan diri.
"Kenapa Kak Mark, Om?" tanya Rara, khawatir, segera menghampiri para pengawal.
"Pingsan, Nyonya..." jawab salah seorang pengawal, berusaha menahan senyum tipis di bibirnya. Pasti lucu sekali melihat sangar-sangar Mark bisa pingsan karena seekor binatang.
"Terima kasih, Om," kata Rara. Ia menoleh ke Maya. "Kak May, tolong ambilin minyak kayu putih."
Maya mengangguk cepat dan bergegas ke dapur. Tak lama kemudian, ia kembali membawa sebotol minyak kayu putih. "Ini, Ra," katanya sambil menyerahkan botol itu.
"Makasih, Kak. Kak Vanya, tolong olesin, ya," perintah Rara, meminta bantuan kakaky.
"Oke, Rara," jawab Vanya, segera mengambil minyak kayu putih dan mulai mengoleskannya dengan hati-hati di pelipis Mark, sementara Vany ikut mengipasi Mark dengan tangannya.
Apakah Mark akan segera sadar? Dan bagaimana kelanjutan hukuman untuk Rico setelah insiden ini?
Mereka berkumpul di ruang tamu mansion yang luas, suasana yang tadinya tegang kini sedikit mencair dengan kehadiran Rara dan si kembar.
Mark, yang baru sadar dari pingsannya, masih terlihat linglung. Wajahnya pucat pasi dan ada sedikit trauma di matanya.
Rico pun masih kelihatan syok, duduk di sofa dengan pandangan kosong, membayangkan bagaimana 'Lion' bisa sebegitu menakutkannya. Maya membawakan secangkir teh hangat untuk Rico.
"Ini Kak, diminum dulu biar tenang sedikit," kata Vanya lembut, menyodorkan segelas air putih kepada Mark yang masih terlihat gemetar.
Mark menerima gelas itu dengan tangan sedikit bergetar. "Terima kasih, Vanya," ucapnya tulus, senyum tipis terukir di bibirnya saat menatap gadis itu. Sebuah senyum yang jarang terlihat di wajahnya yang biasanya kaku.
Melihat interaksi itu, Rico, yang sudah mulai pulih dari syoknya, langsung meraih bantal sofa terdekat dan melemparkannya ke arah Mark.
"Kesempatan dalam kesempitan!" teriak Rico, nada suaranya kembali ke mode usilnya yang biasa.
Axel yang sedari tadi hanya mengamati, berdehem pelan. Suara dehemannya cukup untuk membuat Rico dan Mark terdiam seketika.
Tatapan Axel yang dingin dan tajam beralih ke mereka berdua. "Mau ditambah hukumannya?" tanyanya, suaranya rendah namun mengandung ancaman yang menakutkan, membuat bulu kuduk merinding.
"No...!" jawab Rico dan Mark serempak, pucat pasi. Mereka tahu Axel tidak pernah main-main dengan ucapannya.
"Bagus," Axel bangkit dari sofa, berjalan menuju pintu ruang kerjanya. "Kalian ikut gue ke ruang kerja." Ini bukan permintaan, melainkan perintah mutlak.
Sebelum masuk, Axel menoleh pada Rara. "Sayang, Mas tinggal sebentar, ya," ucapnya lembut, kontras dengan nada suaranya kepada Rico dan Mark.
"Iya, Mas," jawab Rara, mengangguk dengan senyum manis.
Kelompok cewek,Rara, Maya, Vany, dan Vanya,masih setia mengobrol di ruang tamu. Mereka saling bertukar cerita ringan, tawa sesekali pecah mengisi ruangan. Namun, setelah beberapa waktu, kebosanan mulai melanda.
"Kakak-kakak, Ra bosan nih," keluh Rara. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke taman dekat rumah? Hirup udara segar."
Tanpa pikir panjang, dan tanpa sempat pamit kepada Axel yang mungkin masih sibuk dengan 'hukuman' Rico dan Mark, mereka berempat bangkit dan melangkah keluar mansion.
Mereka berjalan kaki menuju taman yang jaraknya tidak terlalu jauh, menikmati angin sepoi-sepoi dan hangatnya mentari siang.
Mereka tiba di taman yang asri, duduk di bangku yang terletak di bawah rindangnya pohon beringin tua. Suara kicauan burung dan desiran angin mengisi pendengaran mereka.
Namun, keheningan itu tiba-tiba pecah. Dari kejauhan, Rara mendengar suara samar yang kemudian menjadi lebih jelas. Sebuah teriakan minta tolong.
"Kak, kalian dengar suara minta tolong tidak?" tanya Rara, mengerutkan kening, mencoba memastikan apa yang didengarnya.
Maya, Vany, dan Vanya saling pandang. Mereka juga mendengar. "Itu dia, Kak! Kak, tolong cewek itu!" seru Vany, menunjuk ke arah semak-semak lebat di pinggir taman, tempat suara itu berasal.
Tanpa menunggu lebih lama, duo comel,julukan untuk Vany dan Vanya yang lincah dan gesit—langsung berlari ke arah sumber suara. Mereka melihat seorang gadis muda sedang berontak, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman empat pria berpakaian serba hitam yang terlihat mencurigakan. Ini bukan adegan perampokan biasa, lebih seperti penculikan.
Dengan sigap dan tanpa ragu, Vany dan Vanya melancarkan serangan. Duo comel menendang dari arah belakang, tendangan yang terarah dan kuat, membuat dua orang pria di barisan belakang tersungkur ke depan dengan ringisan kesakitan.
Akankah dua pria sisanya berhasil melarikan diri, ataukah duo comel akan mampu mengatasi mereka berempat?
Dua pria bertubuh kekar, yang tadinya mengira akan mudah menyingkirkan dua gadis remaja, tersungkur dengan keras, meringis kesakitan. Serangan mendadak dari Vany dan Vanya, si duo comel dengan tendangan terarah mereka, membuat mereka terkejut dan kewalahan.
"Brengsek! Apa kalian berani sekali melawan kami?!" geram salah satu penculik, wajahnya memerah menahan marah dan nyeri. Ia bangkit, berusaha menyingkirkan rasa sakit di kakinya.
sementara temannya yang lain juga mulai bangkit dengan susah payah.
"Lepasin cewek itu!" perintah Vanya, suaranya tajam dan tidak mengenal takut. Meskipun tubuhnya mungil, ada aura kuat yang terpancar darinya.
"Cih, cemen berani sama cewek lemah!" ejek Vany, dengan seringai di bibirnya.
Ia tahu betul bagaimana memprovokasi lawan. Ia dan Vanya sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini berkat pelatihan ketat yang mereka terima di bawah pengawasan steven.
Pertikaian tak terelakkan. Empat melawan dua, namun dua gadis itu bergerak cepat dan lincah, menghindar dan menyerang dengan koordinasi yang luar biasa.
Setiap tendangan, setiap pukulan, tepat sasaran dan penuh perhitungan. Para penculik, meskipun lebih besar dan kuat, terlihat canggung dan tidak terkoordinasi.
Mereka tidak menyangka akan menghadapi perlawanan sehebat ini dari dua gadis.
Dalam waktu singkat, kemenangan berada di pihak tim si kembar. Salah satu penculik mencoba mengeluarkan pisau, namun Vany dengan sigap menendang tangannya hingga pisau itu terlempar jauh. Akhirnya, menyadari bahwa mereka bukan tandingan duo comel, para penculik itu memilih kabur.
Mereka berlari tunggang langgang, meninggalkan gadis yang mereka coba culik dalam keadaan terengah-engah dan ketakutan.
Vany dan Vanya segera mendekati gadis itu, yang kini terduduk di tanah, tubuhnya gemetar.
"Kamu gak apa-apa kan?" tanya Vany, suaranya kini melunak penuh kepedulian. Ia membantu gadis itu berdiri.
Gadis itu menatap mereka dengan mata berair, masih syok. "Terima kasih, Kak, sudah menolong saya," ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Mereka membawa gadis yang diselamatkan itu menghadap Rara dan Maya yang sudah menunggu dengan cemas.
Rara segera memeluk gadis itu, menenangkannya dengan lembut.
"Misi selesai," ucap Vanya dengan nada riang, sembari menoleh hidung Rara dengan jail, sebuah kebiasaan barunya.
Rara membalas cubitan kecil di pipi Vanya. "Kebiasaan deh, Kak Vanya, noel-noel terus. Oh, ya, kembalikan namaku!" Rara merajuk dengan nada bercanda. Mereka berdua sering bermain julukan.
Vanya hanya tertawa. "Nama apa, Ra? Kamu kan Rara, imut-imut gitu."
Apakah gadis yang diselamatkan itu akan tinggal bersama mereka? Apa yang akan dikatakan Axel ketika tahu Rara dan si kembar terlibat dalam insiden berbahaya ini?
Gadis yang baru saja diselamatkan itu masih sedikit gemetar, namun senyum tulus Rara perlahan meredakan ketakutannya.
"Nama saya Aurora, biasa dipanggil Rara," ucap Rara, mengulurkan tangan dengan lembut. "Ini Vany, Vanya, dan Maya." Ia memperkenalkan teman-temannya satu per satu.
Gadis itu menerima uluran tangan Rara, genggamannya masih sedikit dingin. "Saya Letta," jawabnya, suaranya kini sedikit lebih jelas.
Mereka saling berkenalan, suasana perlahan berubah menjadi lebih santai setelah insiden menegangkan tadi.
Rara dengan kehangatannya, dan Vany serta Vanya dengan keberanian mereka, berhasil membuat Letta merasa sedikit lebih aman.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Dering ponsel Vanya tiba-tiba memecah keheningan, menampilkan nama Axel di layarnya.
Wajah Vanya sedikit tegang, ia tahu Axel pasti khawatir.
"Hallo, Tuan?" sapa Vanya, suaranya sedikit ragu.
"Kalian di mana?!" tanya Axel dengan tegas, nada suaranya mengandung kekhawatiran yang bercampur amarah. Ia pasti sudah menyadari bahwa Rara dan si kembar tidak ada di mansion.
Rara, yang menyadari nada suara Axel dan tahu bahwa ia lupa membawa ponselnya sendiri, langsung merebut ponsel Vanya. Ia tahu ia harus menjelaskan semuanya.
"Maz, maaf ya," Rara memulai, suaranya berusaha selembut mungkin, "Rara bosan, terus jalan ke taman dekat mansion. Eh, tadi ada kejadian..." Ia menceritakan singkat tentang penculikan dan bagaimana Vany dan Vanya menolong Letta.
Ia mencoba terdengar tenang, meskipun jantungnya berdebar kencang.
Di seberang telepon, Axel mendengarkan dengan napas tertahan. Sebuah gelombang kekhawatiran melandanya saat mendengar cerita itu. Rara keluar tanpa izin, dan bahkan terlibat dalam bahaya.
Namun, mendengar suara Rara yang baik-baik saja dan insiden penyelamatan yang berhasil, kemarahannya mereda menjadi lega.
"Hmmmm, ya sudah, balik sekarang ya, Sayang," pinta Axel, nada suaranya kini lebih lembut, namun masih ada kekhawatiran yang terselip. "Hari sudah panas, kamu harus istirahat." Itu adalah caranya menyembunyikan kekhawatirannya. "Nanti ceritakan detailnya."
"Iya, Maz. Ini kita sudah mau balik, kok," jawab Rara, lega mendengar nada suara Axel yang tidak marah lagi.
Setelah selesai berbincang, Rara mengembalikan ponsel Vanya. Ia menoleh ke arah Letta, melihat gadis itu masih terlihat rapuh.
Apakah Letta akan diajak kembali ke mansion Axel? Bagaimana Axel akan bereaksi saat melihat Letta dan mendengar cerita lengkapnya?
Setelah mengakhiri panggilan telepon dengan Axel, Rara menatap Letta dengan tatapan penuh kepedulian.
Gadis itu masih terlihat ringkih, bahunya sedikit bergetar, dan ada kesedihan mendalam terpancar dari matanya.
Rara bisa merasakan ada beban berat yang dipikul Letta.
"Letta, rumah kamu di mana?" tanya Rara lembut, suaranya berusaha menenangkan, seolah ingin menawarkan sebuah tempat kembali yang aman.
Mendengar pertanyaan itu, mata Letta langsung berkaca-kaca. Ia menundukkan kepala, menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi yang bergejolak di dadanya.
Sebuah napas tersengal keluar dari bibirnya yang pucat.
"Saya... saya tidak punya rumah, Ra," ucap Letta, suaranya serak dan gemetar, hampir tidak sanggup menahan tangis yang sudah di ujung mata. Ia mengangkat kepala, menatap Rara dengan pandangan pilu.
"Rumah peninggalan orang tua saya diambil oleh om saya."
Kisah singkat itu, diucapkan dengan nada yang begitu rapuh, cukup untuk membuat hati Rara mencelos.
Rasa kasihan yang mendalam membanjiri dirinya. Ia bisa membayangkan betapa beratnya hidup tanpa tempat bernaung, apalagi jika itu adalah warisan dari orang tua yang seharusnya menjadi haknya.
Emosinya terguncang. Ia melihat ke arah Maya, Vany, dan Vanya yang juga menunjukkan ekspresi simpati.
Tanpa berpikir panjang, dorongan empati Rara mengambil alih. Ia tidak bisa membiarkan Letta sendirian dalam keadaan seperti ini, setelah apa yang baru saja ia alami.
"Kalau begitu, kamu ikut kami saja ke rumah," kata Rara, suaranya mantap, meski ada sedikit kekhawatiran di benaknya tentang reaksi Axel.
Namun, ia yakin Axel akan memahami. "Setidaknya sampai kamu punya tempat yang aman untuk tinggal."
Mata Letta membesar, antara tidak percaya dan terharu. Sebuah air mata akhirnya lolos dari pelupuk matanya, mengalir membasahi pipi.
Ia mengangguk, terlalu terharu untuk berkata-kata.
Rara tersenyum lembut, menggandeng tangan Letta. "Ayo, kita pulang."
Dan demikianlah, Rara membawa Letta pulang, seorang gadis asing yang baru saja mereka selamatkan dari bahaya, kini menemukan secercah harapan di tengah keputusasaannya.
Bagaimana reaksi Axel ketika Rara membawa Letta pulang? Apakah ia akan menyetujui keputusan Rara, atau ada keberatan?
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu