Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Saat mereka berjalan pulang dari bioskop, Grilyanto menggenggam tangan Sri sedikit lebih erat dan berkata dengan suara pelan tapi penuh makna:
“Kalau aku punya anak besok, aku akan memberinya nama Puja. Nama yang persis dengan wanita di film itu. Nama yang indah, penuh doa dan harapan.”
Sri menoleh, matanya berkilau.
“Puja... nama yang bagus. Aku senang sekali, Mas.”
Grilyanto tersenyum hangat.
“Karena kamu... Puja dalam hidupku.”
Malam itu, langkah mereka ringan dan hati mereka penuh dengan mimpi baru yang mulai tumbuh.
Sesampainya di depan rumah yang sederhana itu, Grilyanto membuka pintu dan mempersilakan Sri masuk.
Dengan nada lembut, ia berkata,
“Sri, kamu pasti capek setelah malam ini. Sebaiknya kamu istirahat dulu.”
Sri tersenyum dan mengangguk,
“Iya, Mas. Aku juga merasa lelah, tapi senang sekali malam ini.”
Grilyanto berpamitan dengan Sri dan memintanya untuk segera tidur.
Sri masuk ke dalam rumah dan ia duduk di ruang tamu yang hangat, Sri duduk di samping ibunya yang sedang menyiapkan teh sore. Wajah ibu terlihat lelah, tapi penuh kasih sayang.
Sri menarik nafas dalam-dalam, lalu memulai cerita.
“Bu, aku mau cerita tentang Mas Grilyanto. Dia yang aku kenal akhir-akhir ini.”
Ibu menatap Sri dengan mata penuh perhatian.
“Ceritakan, Nak. Apa yang membuat kamu begitu bahagia?”
Sri tersenyum lembut.
“Dia baik, Bu. Jujur dan perhatian. Beda dari yang aku bayangkan selama ini.”
Ibu mengangguk pelan.
“Kalau memang dia membuatmu bahagia, ibu restui. Tapi ingat, segala sesuatu harus dengan doa dan usaha.”
Sri menggenggam tangan ibunya.
“Aku tahu, Bu. Aku juga ingin semuanya berjalan dengan baik.”
Malam itu, cerita Sri kepada ibunya menjadi awal restu yang akan membuka jalan untuk masa depan bersama Grilyanto.
Sri menatap ibu dengan penuh kejujuran.
“Tapi, Bu… ibu tahu sendiri kan kalau aku seorang janda dan punya satu anak laki-laki.”
Ibu menghela napas panjang, kemudian mengangguk pelan.
“Iya, Nak. Ibu tahu itu. Tapi kasih ibu tidak pernah berkurang karena itu. Justru, ibu ingin kamu bahagia dan menemukan seseorang yang menerima kamu dan anakmu apa adanya.”
Sri menunduk sebentar, lalu tersenyum kecil.
“Aku takut, Bu. Takut Mas Grilyanto akan sulit menerima aku dan anakku.”
Ibu menggenggam tangan Sri dengan erat.
“Kalau dia memang tulus mencintaimu, dia akan mencintai semuanya, termasuk anakmu. Percayalah, Nak.”
Sri mengangguk, hatinya sedikit lebih ringan.
Sri melangkah pelan masuk ke kamar, menutup pintu dengan lembut di belakangnya.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke dinding yang sepi.
Pikirannya berkecamuk. Rasa sayang yang semakin dalam kepada Grilyanto bertarung dengan kekhawatiran tentang masa lalu dan anaknya.
“Aku tidak mau menyakiti hati Mas Grilyanto...” bisiknya pelan.
“Tapi bagaimana kalau dia tidak bisa menerima semuanya?”
Sri menutup mata, menarik napas dalam-dalam mencoba menenangkan hatinya.
Ia tahu, kejujuran adalah kunci, tapi ia takut kehilangan sosok yang mulai menjadi penopang hidupnya.
Malam itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari cara yang terbaik agar cinta mereka bisa tumbuh tanpa luka.
****
Keesokan paginya, udara segar menyambut langkah Sri dan ibunya yang berjalan menuju pasar tradisional.
Suara riuh pedagang dan aroma rempah-rempah memenuhi suasana.
Di tengah perjalanan, Sri berhenti sejenak dan berkata,
“Bu, aku pengen minum es dawet, nih.”
Ibu tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Ya sudah, nanti kita cari yang enak ya.”
Mereka melangkah ke sebuah lapak dawet yang sudah dikenal, di mana pedagangnya ramah dan dawetnya manis segar.
Sri duduk di bangku kecil, menyeruput dawetnya dengan nikmat, mengingat masa kecil Grilyanto yang dulu sering meminta dawet di pasar.
Sesekali Sri tersenyum mengenang cerita-cerita yang pernah diceritakan Grilyanto tentang masa kecilnya.
Sementara itu di kantor, saat suasana tengah sibuk, seorang staf menyerahkan surat ber amplop cokelat kepada Grilyanto. Ia membuka surat itu dengan cepat.
Tulisannya singkat tapi membuat dadanya sesak:
"Gril, pulang sebentar bisa? Ibu sakit."
Grilyanto terdiam sesaat, mata menatap jauh ke luar jendela. Rindu dan kekhawatiran bercampur menjadi satu.
Dengan sigap, ia mengemas barangnya dan bergegas pulang ke Magelang, bertekad menemani sang ibu yang sedang sakit.
Grilyanto berdiri di depan meja kerjanya, memandangi tumpukan dokumen yang harus ditinggalkan sementara.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai membereskan barang-barangnya dengan cepat.
Rekan-rekan kantor menghampirinya, memberikan dukungan dan doa.
“Semoga ibu cepat sembuh, Gril.”
“Jaga diri di perjalanan, ya.”
Grilyanto mengangguk dengan tegas, berusaha tetap kuat meski hatinya penuh cemas. Ia segera menghubungi Sri lewat telepon.
“Sri, aku harus pulang ke Magelang. Ibu sakit.”
Suara Sri terdengar lembut tapi tegas,
“Aku mengerti, Mas. Aku di sini selalu mendukungmu.”
Dengan hati berat namun penuh harap, Grilyanto bersiap meninggalkan kota untuk sementara, berharap sang ibu lekas pulih.
Grilyanto menggendong tas kecilnya, berjalan menuju terminal bis yang sudah mulai ramai oleh penumpang. Suara klakson kendaraan dan obrolan pedagang memenuhi udara pagi itu.
Ia membeli tiket menuju Magelang, duduk di bangku tunggu sambil menatap keramaian sekitar. Beberapa saat kemudian, bis tujuan Magelang tiba.
Dengan hati berat tapi penuh harapan, Grilyanto naik ke dalam bis, memilih tempat duduk dekat jendela.
Ia memandangi jalan yang mulai berganti pemandangan, gedung-gedung kota berubah menjadi sawah dan pegunungan hijau.
Dalam perjalanan panjang itu, pikirannya dipenuhi doa dan kenangan masa kecil bersama ibu.
Bis terus melaju, membawa Grilyanto pulang ke rumah dan ke pelukan keluarga yang ia rindukan.
Perjalanan tujuh jam akhirnya usai. Bis melambat memasuki desa kecil di Magelang, di mana udara segar dan aroma tanah basah menyambut kedatangan Grilyanto.
Ketika turun dari bis, Grilyanto menghela napas panjang, seakan melepaskan semua beban di pundaknya. Ia berjalan menapaki jalan setapak menuju rumah keluarga yang sudah lama dirindukannya.
Sesampainya di depan pintu rumah, suasana hangat langsung menyelimuti hati. Beberapa kerabat sudah menunggu, menyambut dengan senyum dan pelukan hangat.
Ketujuh saudara Grilyanto berdiri di ruang tamu, wajah mereka memancarkan campuran rasa cemas dan harap.
Ketika pintu rumah terbuka dan sosok Grilyanto muncul, napas mereka serentak lega.
“Gril, kamu sudah pulang!” seru salah satu saudara dengan suara penuh kelegaan.
Mereka satu per satu menghampiri, saling bertukar pelukan dan kata-kata hangat.
Ada rasa kekuatan yang kembali menyelimuti rumah itu sejak kehadiran Grilyanto.
“Ibu pasti senang sekali,” kata saudara lainnya sambil tersenyum.
Grilyanto tersenyum lelah tapi bahagia, berusaha menenangkan hati semua orang. Ia tahu perannya penting saat ini.
“Aku di sini sekarang. Kita akan lalui ini bersama,” ujarnya mantap.
Suasana penuh haru dan solidaritas keluarga itu menjadi kekuatan bagi mereka semua menghadapi masa sulit.
Namun, di ruang dalam, sosok ibunya yang sedang sakit menjadi pusat perhatian. Matanya yang sayu menyambut kedatangan anaknya dengan penuh haru.
Grilyanto merunduk dan menggenggam tangan ibunya lembut, berjanji dalam hati untuk selalu ada di sampingnya.