"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat
Rania terdiam lama setelah Laras menyelesaikan ceritanya.
Tanpa sadar, pipinya sudah basah oleh air mata. Dadanya terasa sesak. Ia tak pernah membayangkan perjalanan hidup Laras sedemikian sunyi dan menyakitkan—pernikahan tanpa restu, pengkhianatan yang menghancurkan kepercayaan, kehilangan ibu dan rumah dalam waktu yang hampir bersamaan.
“Mbak…” Rania menggenggam erat tangan Laras, lalu menariknya ke dalam pelukan. “Mbak kuat banget. Mungkin… kalau aku jadi Mbak, aku nggak akan sanggup setegar ini.”
Laras tersenyum tipis, senyum yang lebih banyak menyimpan luka daripada bahagia. “Aku gak kuat, Ran. Aku cuma berusaha kelihatan utuh di depan Ameera dan bapak. Kalau bukan karena mereka… aku gak tau masih bisa berdiri atau engak.”
Rania tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Meski mereka sepupu, sejak lama ia tak pernah menganggap Laras sebagai orang lain. Laras sudah seperti saudara kandungnya sendiri.
“Terus…” Rania mengusap hidungnya pelan. “Setelah Mbak pergi, mantan suami Mbak masih nyariin Mbak?”
“Iya,” jawab Laras lirih. “Aku tau dari sahabatku, Tari. Waktu itu dia ke rumah bapak, masih mencari aku. Tari yang cerita semuanya.”
Rania menghela napas lega. “Syukurlah gak ketemu.”
“Pernah hampir,” lanjut Laras. “Waktu di Jogja. Kayaknya dia lagi dinas luar kota. Untung aku sempat kabur. Setelah itu gak pernah lagi bertemu."
Laras menunduk. “Bapak meninggal karena sakit, Ran. Setelah itu aku mutusin ke Jakarta. Kupikir… Jakarta terlalu luas buat dia nyari aku. Lagipula dari dulu aku paling gak suka kota. Jadi dia gak akan nyariin aku di tempatnya sendiri."
Rania terkejut. “Terus kenapa bisa sampai tinggal susah di sini?”
“Begitu sampai Jakarta, aku kecopetan. Semua uang habis. Benar-benar nol.”
Rania menggeleng pelan, kagum sekaligus perih. “Mbak hebat. Aku beneran kagum sama kesabaran dan keteguhan hati Mbak.”
Laras tersenyum lemah. “Alhamdulillah. Aku cuma belajar ikhlas, Ran.”
“Ameera pernah nanya soal ayah kandungnya?”
“Pernah,” jawab Laras lirih. “Aku bilang… ayahnya sudah meninggal.”
Percakapan mereka terhenti ketika langkah kaki terdengar mendekat. “Seru banget kayaknya,” ujar Bani sambil tersenyum.
“Eh, Mas…” Rania tersentak kecil. “Maaf, aku sampai lupa waktu.”
“Gapapa,” jawab Bani lembut. “Kalian kelihatan butuh ngobrol.”
Tak lama, Ameera berlari menghampiri.
“Om!”
“Hei, Ameera!”
“Makasih ya, Om. Udah jajanin aku. Om baik banget.”
“Sama-sama, Ameera cantik.”
Rania menoleh ke Bani. “Mas abis jalan sama Ameera?”
“Iya,” jawab Bani. “Kalian lagi asyik ngobrol. Dia main sendiri. Aku ajak ke minimarket, beliin jajan.”
Bani lalu menoleh ke Laras. “Nggak apa-apa kan?”
“Iya. Gapapa,” jawab Laras cepat. “Saya malah minta maaf, keasikan ngobrol sampai Ameera sendirian.”
“Sesekali nggak apa-apa,” ujar Bani tenang. “Seorang ibu juga butuh teman untuk bercerita.”
Rania memperhatikan interaksi itu.
Biasa saja. Singkat. Tidak ada yang melanggar batas.
Ia tidak cemburu. Tidak merasa terancam.
Namun entah mengapa, dadanya terasa gelisah.
Ada perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan—seperti dorongan samar agar Laras suatu hari hidup bersama Bani, agar Laras tidak lagi sendirian.
Dan bersamaan dengan itu, muncul perasaan lain yang lebih sunyi. Seperti firasat akan pergi jauh. Dan tak kembali lagi.
***
Malam itu, Rania berdiri sendiri di depan jendela kamarnya.
Lampu-lampu kota terlihat buram oleh kaca yang berembun—atau mungkin oleh matanya sendiri. Tangannya refleks mengusap perutnya yang mulai membesar.
Entah sejak kapan, ada rasa aneh yang bersarang di dadanya.
Bukan takut. Bukan sedih.
Lebih seperti… pamitan yang belum diucapkan.
"Kenapa dada mama terasa sempit ya, Nak…Padahal semua baik-baik saja."
Rania memejamkan mata.
Bayangan Laras muncul begitu jelas di benaknya. Cara Laras tersenyum meski menyimpan luka. Cara Ameera memeluknya dengan polos. Cara Bani memperlakukannya dengan penuh tanggung jawab—terlalu sempurna, seolah hidupnya sedang disusun rapi sebelum sesuatu diambil darinya.
"Kalau suatu hari aku pergi… Siapa yang akan menjaga anak aku nanti?"
Rania menggeleng cepat, menepis pikiran itu.
Astaghfirullah…
"Kenapa aku berpikir sejauh ini?"
Namun firasat tidak pernah datang tanpa alasan.
Ia duduk di tepi ranjang, membuka laci kecil di sampingnya. Mengeluarkan buku catatan berwarna krem—buku yang biasanya ia gunakan untuk menulis rencana butik. Kali ini, tangannya menulis hal yang berbeda. “Untuk Bani.”
“Untuk anakku.”
Air mata menetes satu per satu, membasahi kertas.
"Kalau aku tidak sempat mengajarkan semuanya…
Setidaknya mereka tahu aku mencintai mereka sepenuh hidupku."
Keesokan harinya, Rania sengaja mengajak Laras ke butik.
“Mbakk…” kata Rania sambil menata pakaian di rak, “kalau suatu hari aku gak ada, butik ini bisa mbak urus.”
Laras menoleh cepat. “Ran, kamu ngomong apa sih?”
Rania tersenyum kecil. “Aku cuma pengen semuanya tertata rapi.”
Ia lalu menggenggam tangan Laras. “Mbak itu sabar, kuat, dan penuh kasih. Aku tenang kalau anak aku nanti, mbak yang rawat dan jaga."
Laras langsung menarik tangannya. “Rania. Jangan bercanda.”
“Aku gak bercanda,” jawab Rania lembut. “Aku cuma ingin memastikan… kalau suatu hari aku lelah, ada perempuan yang bisa melanjutkan.”
Laras menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Kamu akan ada. Jangan bicara seolah-olah kamu mau pergi.”
Rania tersenyum—senyum yang terlalu tenang untuk perempuan seusianya. “Mbak Laras,” katanya lirih, “kalau aku benar-benar pergi nanti… tolong cintai mereka seolah-olah aku masih hidup.”
Air mata Laras jatuh. Ia memeluk Rania erat. “Kamu gak akan pergi,” bisiknya berulang kali.
Namun Rania tahu. Hatinya tahu.
Dan malam itu, saat ia kembali memeluk Bani sebelum tidur, Rania berdoa dalam diam:
"Ya Allah… Kalau aku harus pergi lebih dulu, jangan biarkan mereka sendirian. Ia mengusap perutnya perlahan. Nak… hiduplah dengan baik. Apa pun yang terjadi pada Mama."
Di luar, angin malam berdesir pelan—seperti alam yang ikut mendengar doa seorang perempuanyang sedang bersiap pergi, tanpa pernah benar-benar ingin meninggalkan.
***
Malam itu kamar mereka temaram.
Lampu tidur menyala redup, angin dari jendela membawa bau tanah basah sisa hujan sore tadi.
Rania bersandar di kepala ranjang, selimut menutup kakinya. Bani duduk di sampingnya, punggung bersandar pada dinding, satu tangannya mengelus perut Rania yang semakin membesar. “Mas…” suara Rania pelan.
Bani menoleh. “Kenapa, sayang?”
“Aku mau cerita… tentang Mbak Laras.”
Bani terdiam sejenak. Bukan karena enggan, tapi karena sejak beberapa hari ini, setiap Rania membicarakan Laras, nada suaranya selalu berbeda—lebih dalam, lebih berat.
“Cerita,” kata Bani akhirnya.
Rania menarik napas panjang. “Mbak Laras itu… hidupnya jauh lebih berat dari yang kita lihat.”
Bani mendengarkan tanpa menyela.
“Pernikahannya tidak direstui. Suaminya mengkhianatinya. Dia kehilangan ibunya hampir bersamaan dengan rumah tangganya hancur.”
Suara Rania bergetar. “Dan dia tetap bertahan… demi Ameera dan bapaknya.”
Bani berhenti mengelus. Tangannya tertahan di perut istrinya. “Dia tidak pernah mengeluh,” lanjut Rania lirih. “Mas tau gak… dia bahkan menyembunyikan rasa takutnya supaya Ameera tidak melihat ibunya rapuh.”
Rania menoleh menatap Bani. “Mas… aku kagum sama dia.”
Bani mengangguk pelan. “Dia perempuan yang kuat.”
“Bukan cuma kuat,” Rania menelan ludah. “Dia tulus. Cara dia menyayangi Ameera… seperti menyembuhkan luka tanpa suara.”
Ada jeda panjang.
“Kenapa kamu cerita ini ke aku sekarang?” tanya Bani akhirnya.
Rania menggenggam tangan suaminya. “Karena aku sering kepikiran…” suaranya melemah, “kalau suatu hari aku gak ada…”
“Ran.” Bani langsung memotong, suaranya tegas. “Jangan mulai.”
“Tolong, Mas,” Rania menatapnya penuh permohonan. “Dengerin aku sampai selesai.”
Bani terdiam, dadanya terasa sesak.
“Aku punya firasat,” lanjut Rania pelan. “Entah kenapa… aku sering ngerasa waktuku gak lama.”
“Itu cuma pikiran kamu karena capek,” bantah Bani cepat.
“Mas,” Rania tersenyum kecil, “aku kenal diriku sendiri.”
Bani menggeleng keras. “Aku gak mau dengar ini.”
Rania mengusap pipi Bani dengan lembut. “Kalau suatu hari aku benar-benar pergi,” katanya lirih, “aku nggak mau anak kita tumbuh tanpa pelukan ibu. Aku mau kamu pilih anak kita ini." Ucapnya sambil mengelus perutnya.
Bani menarik tangannya. “Kamu masih ada. Kamu akan ada.”
“Kalau aku tidak?” suara Rania hampir berbisik.
Bani menunduk, rahangnya mengeras.
“Mas,” Rania melanjutkan dengan hati-hati, “kalau saat itu tiba… tolong jangan biarkan Mas sendirian. Dan jangan biarkan anak kita kehilangan kasih sayang.”
Bani mengangkat wajahnya. “Apa maksud kamu?”
Rania menahan napas. Kata-kata itu berat, tapi ia mengucapkannya juga. “Mbak Laras… adalah perempuan yang paling aku percaya untuk itu.”
Hening.
Sangat lama.
“Apa kamu sedang meminta aku…” suara Bani tercekat, “…menikah lagi?”
Air mata Rania jatuh. “Bukan karena aku ingin digantikan,” katanya cepat. “Tapi karena aku ingin anak kita dicintai sepenuh hati.”
Bani berdiri mendadak. “Tidak,” katanya tegas. “Aku tidak akan membicarakan ini.”
“Mas—”
“Aku tidak akan menikahi siapa pun selain kamu,” suara Bani bergetar. “Dan aku tidak akan kehilangan kamu.”
Rania menangis diam-diam.
“Aku tidak takut mati, Mas,” katanya lirih. “Aku takut meninggalkan kalian tanpa perlindungan.”
Bani kembali duduk, memeluk Rania erat, seakan takut tubuh itu akan menghilang. “Kamu tidak akan pergi ke mana-mana,” katanya serak. “Dan kalau pun takdir sekejam itu… aku tidak akan melakukan apa yang kamu minta.”
Rania menutup mata dalam pelukan itu. Ia tahu. Bani menolak bukan karena keras kepala— melainkan karena cintanya terlalu besar untuk kehilangan.
Dan justru karena itu… Rania semakin yakin ia harus menyiapkan segalanya diam-diam.