Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23
Amina mengatur napas, mencoba menenangkan denyut di pelipisnya. Ruangan ini berbau logam dan debu, seperti gudang tua yang sudah lama tak terpakai. Tangan dan kakinya masih terikat, tetapi itu bukan masalah terbesar saat ini. Yang lebih mengkhawatirkan adalah pria yang berdiri di depannya.
Dia tinggi, berpakaian rapih dengan setelan abu-abu yang terlihat mahal. Rambutnya tertata sempurna, tetapi sorot matanya dingin, penuh perhitungan. Amina mengenali wajah itu, seorang pejabat yang namanya sering muncul di laporan investigasinya.
"Detektif Amina," pria itu akhirnya berbicara, suaranya dalam dan terukur. "Senang akhirnya bisa bertemu langsung denganmu."
Amina hanya mengangkat alis, mencoba menutupi ketegangan yang mulai merayapi dadanya. "Senang? Biasanya orang yang bertemu denganku berakhir di penjara," jawabnya dengan nada santai, meskipun dalam pikirannya, dia sudah menyusun rencana pelarian.
Pria itu tersenyum tipis, seolah menikmati keberanian Amina. "Oh, aku yakin kau juga tahu bahwa dunia tidak sesederhana itu," katanya, lalu melemparkan setumpuk berkas ke meja di depan Amina. "Aku ingin tahu... seberapa banyak yang sudah kau ketahui?"
Amina melirik berkas-berkas itu sekilas. Nama-nama yang familiar, transaksi yang mencurigakan, ini bukan sekadar permainan mafia biasa. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa mengguncang fondasi kekuasaan di kota ini.
"Jadi," lanjut pria itu, "kau bisa bekerja sama... atau tetap keras kepala dan menyesali keputusanmu nanti."
Amina menelan ludah. Opsi pertama jelas bukan pilihan. Opsi kedua? Dia harus mencari jalan keluar sebelum semuanya terlambat.
Amina berpura-pura berpikir, membiarkan keheningan menggantung di udara. Dalam hati, dia menghitung waktu dan jarak. Pria itu berdiri satu meter di depannya. Di sudut ruangan, ada seorang penjaga bersenjata. Tidak ada jendela, hanya satu pintu keluar.
"Sulit dipercaya kau repot-repot menculikku hanya untuk ini," katanya akhirnya, mencoba mengulur waktu.
Pria itu tertawa kecil. "Jangan meremehkan peranmu dalam permainan ini, Amina."
Amina tidak menjawab. Dia menunduk sedikit, lalu—
Crack!
Dalam satu gerakan cepat, dia membalikkan kursinya dan menghantamkan kakinya ke meja, membuat berkas-berkas berhamburan. Sang pejabat tersentak mundur, dan sebelum penjaga bisa bereaksi, Amina sudah mengayunkan kursinya ke belakang, membuatnya jatuh ke lantai.
"Brengsek!" pria itu mengumpat.
Amina menggunakan kesempatan itu untuk memutar tubuhnya, menekan simpul tali yang mengikat tangannya ke sudut tajam kursi. Tali itu bergesekan keras, menciptakan luka di kulitnya, tetapi dia terus berusaha.
Penjaga mengangkat senjatanya—terlambat. Dengan satu tarikan terakhir, Amina membebaskan tangannya dan langsung menghantam wajah pria itu dengan siku.
"Ugh!"
Senjatanya jatuh ke lantai. Amina tidak membuang waktu. Dia menendangnya ke sudut ruangan, lalu berlari menuju pintu keluar.
Amina akhirnya tiba di sebuah gedung tersembunyi di pinggiran kota, markas mafia yang selama ini dia incar. Napasnya masih berat, pikirannya masih berpacu dengan kejadian sebelumnya.
Di dalam, Alexander menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pria itu bersandar di sofa, mengenakan kemeja hitam yang digulung di lengan. Rambutnya sedikit berantakan, matanya tajam dan penuh perhitungan.
"Jadi... kau akhirnya datang," katanya.
Amina berjalan mendekat, mencoba menenangkan pikirannya. "Aku tidak punya pilihan lain," jawabnya, duduk di kursi di depannya. "Aku tahu sesuatu yang besar sedang terjadi. Sesuatu yang melibatkan lebih dari sekadar mafia jalanan."
Alexander menatapnya sejenak, lalu melemparkan kunci mobil ke meja. "Kau tahu, biasanya aku tidak mempercayai orang luar," katanya dengan nada santai. "Tapi jika mereka cukup pintar untuk melarikan diri dari tangan politisi kotor, mungkin aku bisa membuat pengecualian."
Amina menyipitkan matanya. "Jangan terlalu senang. Aku masih mempertimbangkan apakah kau musuh atau sekutu."
Alexander terkekeh. "Sentimen yang sama, detektif."
Dari sudut ruangan, beberapa anak buahnya masih menatap Amina dengan curiga. Salah satunya, pria besar dengan tato di lehernya, berdecak kesal.
"Kita tidak bisa mempercayai polisi, apalagi detektif," katanya. "Bagaimana kalau ini jebakan?"
Amina menoleh padanya, mengangkat bahu. "Kau pikir aku akan membiarkan diri diculik hanya untuk memasang jebakan? Itu terlalu merepotkan, bahkan untukku."
Alexander tertawa kecil. "Dia punya poin."
Pria bertato mendecak lagi, tetapi tidak membantah.
Amina menghela napas. "Dengar, aku tidak akan datang ke sini jika tidak mendesak. Aku butuh informasi tentang jaringan ini. Dan aku tahu kalian juga menginginkan hal yang sama. Jadi, mau bekerja sama atau tidak?"
Hening. Alexander mengetuk jari-jarinya ke meja, berpikir. Lalu, dia berdiri.
"Ada seseorang yang harus kau temui," katanya, berjalan ke pintu belakang. "Dan aku harap kau cukup pintar untuk menangkap semua detailnya, detektif."
Amina menatapnya, lalu bangkit dari kursinya. "Jangan khawatir. Itu keahlianku."
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.