NovelToon NovelToon
Naura, Seharusnya Kamu

Naura, Seharusnya Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Menikah Karena Anak
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Fega Meilyana

"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"

***

"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."

***

Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Laras sakit

Enam bulan berlalu.

Rumah itu tidak lagi terasa asing, meski masih sunyi di beberapa sudutnya. Tangisan bayi yang dulu memecah malam kini berganti gumaman kecil dan tawa lirih.

Naura berusia enam bulan.

Pagi itu, Ameera berlari kecil dari ruang tengah sambil menggendong mainan. “Papa… Papa lihat Naura ketawa,” katanya ceria.

Bani yang sedang merapikan kemeja berhenti sejenak. “Iya, sebentar,” jawabnya refleks.

Kata Papa itu kini keluar begitu saja dari mulut Ameera—tanpa ragu, tanpa canggung. Dan anehnya, Bani tidak pernah mempermasalahkannya. Ia sudah terbiasa.

Bani mendekat ke box bayi. Naura menggeliat kecil, matanya bening menatap ke atas. Saat Bani mengulurkan jari, Naura menggenggamnya erat. “Ayahnya kamu ini galak, ya,” gumam Ameera sambil tersenyum lebar.

Bani meliriknya. “Papa galak ke siapa?”

“Ke dunia,” jawab Ameera polos.

Bani terkekeh pelan—hampir tak terdengar.

Di ambang pintu, Laras berdiri sambil memperhatikan. Ia tidak masuk, tidak juga pergi. Hanya menyaksikan pemandangan yang perlahan menjadi rutinitas: Bani dengan kedua anak itu.

Tanpa sadar, Bani menepuk kepala Ameera lembut. “Sudah sarapan?”

“Sudah. Bunda yang buatin.”

Bani menoleh ke arah Laras. Tatapan mereka bertemu sejenak. Tidak ada senyum lebar, tidak ada percakapan panjang. Hanya anggukan kecil—cukup.

Mereka hidup satu atap. Tapi tetap menjaga batas.

Malam hari, rumah kembali hening. Naura sudah tidur. Ameera sudah lebih dulu masuk kamar. Bani duduk di ruang kerja kecil, membaca dokumen. Laras lewat sambil membawa segelas air.

“Naura tadi rewel sore,” ucap Laras pelan. “Tapi habis digendong Ameera, dia tenang.”

“Dia memang lembut,” jawab Bani singkat.

Tidak dingin. Tidak hangat. Tapi tidak lagi berjarak.

Laras mengangguk. “Aku… mau tidur.”

“Iya,” jawab Bani.

Mereka berpisah arah.

Di kamar, Laras duduk di tepi ranjang. Ia menghela napas panjang. Hidupnya kini berjalan lurus—tenang, teratur, tapi penuh kesadaran. Ia adalah istri. Ia adalah ibu. Tapi ia tidak berharap lebih.

Sementara itu, di ruang kerjanya, Bani menatap foto kecil di meja—foto Rania. “Aku belum lupa,” gumamnya. “Aku hanya belajar hidup.”

Di rumah itu, tidak ada cinta yang meledak-ledak.

Yang ada adalah tumbuh. Pelan. Hati-hati. Dan dewasa.

***

Malam itu hujan turun pelan.

Laras menggigil di atas ranjang kecilnya. Keningnya panas, napasnya tidak teratur. Sejak sore tubuhnya sudah terasa lemah, tapi ia tetap memaksakan diri mengurus Naura dan Ameera—sampai akhirnya benar-benar tumbang.

Bani baru menyadari ketika Ameera mengetuk pintu kamarnya dengan mata cemas. “Papa…” suaranya kecil. “Bunda panas banget. Dari tadi gak bangun-bangun.”

Bani langsung berdiri.

Ia masuk ke kamar Laras. Ruangan itu redup, hanya lampu kecil di sudut yang menyala. Laras terbaring dengan wajah pucat, keringat membasahi pelipisnya.

Bani mendekat. Ragu sejenak. Lalu punggung tangannya menyentuh kening Laras.

Panas. “Demam,” gumamnya.

Laras membuka mata perlahan. “Maaf… aku ketiduran.”

“Kamu sakit,” kata Bani singkat.

“Aku gapapa." Laras berusaha bangun, tapi tubuhnya langsung lemas lagi.

“Jangan,” suara Bani sedikit meninggi. “Istirahat.”

Nada itu membuat Laras terdiam.

Bani mengambilkan obat dari lemari kecil, menuang air, lalu kembali ke sisi ranjang. “Minum.”

Laras menatapnya sejenak, lalu menerima gelas itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih.”

Bani hanya mengangguk.

Ia duduk di kursi, punggung tegak, menjaga jarak yang terasa aneh—terlalu dekat untuk orang asing, terlalu jauh untuk suami istri.

Naura menangis dari kamar sebelah. Bani refleks berdiri. “Aku ambil Naura.”

Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan Naura dalam gendongan. Bayi itu merengek, gelisah.

Bani mencoba menenangkannya seperti biasa—namun gagal. Tangisan Naura semakin keras.

Laras mengulurkan tangan lemah. “Sini… aku aja.”

“Kamu sakit.”

“Naura butuh aku.”

Bani ragu. Lalu menyerahkan Naura. Begitu Naura berada di dada Laras, tangisnya mereda. Nafasnya menjadi teratur. Tenang.

Bani terdiam melihat pemandangan itu. Ada sesuatu yang menyesak di dadanya. “Kamu selalu bisa bikin dia tenang,” kata Bani pelan, hampir tak terdengar.

Laras tersenyum tipis. “Dia anak yang baik. Mirip ibunya.”

Nama itu—Rania—tak terucap, tapi terasa.

Hening kembali turun.

“Ameera sudah tidur,” kata Bani setelah lama diam. “Aku yang jagain Naura malam ini.”

“Kamu capek.”

“Aku ayahnya.”

Kalimat itu keluar begitu saja. Tegas. Jujur.

Laras menunduk. “Terima kasih… sudah peduli.”

Bani berdiri. “Kamu istirahat. Kalau panasnya naik, bilang.”

Ia melangkah ke pintu, lalu berhenti.

“Laras.”

“Iya?”

“Kalau kamu kenapa-kenapa… rumah ini bakal kacau.”

Laras tersenyum kecil, matanya berkaca-kaca. “Berarti aku masih berguna.”

Bani tidak menjawab. Ia hanya menutup pintu pelan.

Di ruang tengah, Bani duduk dengan Naura yang akhirnya tertidur di dadanya.

Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa takut—

bukan kehilangan kenangan, melainkan kehilangan seseorang yang diam-diam sudah menjadi bagian dari kesehariannya.

Dan di kamar itu, Laras memejamkan mata, tidak sepenuhnya sendirian, tidak sepenuhnya ditemani, tapi untuk pertama kalinya… merasa dijaga.

Keesokan harinya.... pagi-pagi Bani sudah menyiapkan sarapan untuk Laras, Ameera dan tentunya Naura yang masih MPASI.

Meskipun ada asisten rumah tangga. Tapi urusan masak memasak, biasanya Bani dan Rania. Namun sekarang, Bani yang menyiapkan itu semua saat Laras sakit.

Laras selalu masak tapi Bani hanya terhitung jari masak makanan Laras. Bukan hanya karena ia teringat Rania, tapi memang masakan Laras tidak cocok di lidah Bani.

Laras yang telat bangun karena semalam ia masih menggigil langsung buru-buru ke dapur. Dan disana ternyata ada Bani yang baru saja selesai masak.

"Kamu masak semua ini?" Laras terpaku pada banyaknya makanan yang ada di meja.

"Iya... Untuk kamu dan Ameera. Naura sudah aku buatkan, tinggal menunggu Naura bangun."

"Maaf, aku-"

"Gapapa. Kamu sudah lelah dan sampai sakit mengurus semuanya. Setelah kamu makan, biar anak-anak aku yang jaga, kamu istirahat aja." Setelah mengatakan itu, Bani naik ke lantai atas menuju kamar Naura.

Laras tersenyum kecil, ada sedikit kepedulian Bani pada dirinya.

Hari ketiga, Laras masih merasakan sakit, tubuhnya lemah, wajahnya pucat, keningnya berkeringat. Rambutnya terurai tak rapi—pemandangan yang jarang sekali Bani lihat. “Kenapa gak bilang?” suara Bani rendah.

Laras membuka mata, terkejut. “Maaf… aku pikir cuma masuk angin.”

"Mau ke dokter?"

"Tidak perlu."

Bani meletakkan Naura di box bayi, lalu mengambil handuk kecil dan air hangat. Tangannya bekerja tanpa banyak bicara. Ia mengompres dahi Laras dengan gerakan kaku—tidak terbiasa, tapi sungguh-sungguh.

“Minum obat,” katanya singkat.

Laras menurut.

Untuk pertama kalinya sejak menikah, Bani duduk lama di sisi ranjang Laras. Tidak sebagai suami. Tapi sebagai seseorang yang… peduli.

Bani mengambil alih untuk mengurus Ameera, membuatkan susu Naura dan memasak. juga menyuapi Naura. Kemudian ia masuk ke kamar Laras.

“Kamu perlu apa?” tanyanya.

“Enggak… makasih.”

Laras masih menggigil, Bani mendekat, lalu tanpa pikir panjang menarik selimut, memastikan Laras hangat. Ia duduk di lantai, bersandar pada ranjang, berjaga hingga subuh.

Saat Laras terbangun, ia melihat Bani tertidur di lantai.

Dadanya terasa sesak.

Hari keempat, Laras sudah bisa bangun. Ia berdiri di dapur, melihat Bani sedang menggendong Naura sambil menyuapi Ameera.

“Pa, sendoknya kepedesan,” protes Ameera.

Bani mengernyit. “Ini cuma sedikit sambal.”

“Sedikit buat papa, banyak buat Ameera.”

Bani mendengus, lalu tertawa kecil—hal yang jarang.

Laras terdiam.

Ada sesuatu yang berubah. Bukan besar. Tapi nyata.

Bani menoleh. “Kamu harusnya masih istirahat.”

“Aku sudah baikan.”

Bani mengangguk. “Kalau pusing lagi, bilang.”

Tidak dingin. Tidak jauh.

Laras menunduk, menyembunyikan senyum kecilnya.

***

Malam itu, Bani terbangun. Bukan karena tangis Naura.

Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena perasaan asing di dadanya.

Ia duduk di tepi ranjang—ranjang yang dulu ia bagi dengan Rania. Bayangan Rania hadir begitu jelas.

"Maafin aku," batinnya.

"Aku cuma menjaga… aku gak menggantikan kamu."

Tapi ia ingat Laras yang menggigil. Ameera yang memanggilnya papa dengan tulus. Naura yang tertidur tenang di lengannya.

Bani menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ini salah, katanya pada diri sendiri. Tapi kenapa terasa… manusiawi?

Ia tidak mencintai Laras. Belum.

Namun dinding yang ia bangun—pelan-pelan retak. Dan itu membuatnya takut. Takut pada perasaan. Takut pada janji. Takut pada kemungkinan bahwa hidup… terus berjalan meski ia ingin berhenti di satu titik.

Bani menoleh ke kamar Laras. Lampunya mati.

Namun untuk pertama kalinya, ia tidak lagi merasa sendirian sepenuhnya. Dan itu justru yang paling menakutkan.

***

Malam itu Bani terlelap dengan tubuh yang lelah, tapi pikirannya tidak pernah benar-benar istirahat.

Dalam tidurnya, ia berdiri di sebuah tempat yang terasa sangat familiar.

Taman kecil dengan ayunan kayu. Langit senja berwarna keemasan.

Dan di sana—Rania.

Berdiri dengan gaun putih sederhana, senyum yang selalu ia kenal, senyum yang membuat dada Bani terasa sesak sekaligus hangat.

“Rania…” suara Bani bergetar.

Rania mendekat pelan. Tatapannya teduh. Tidak sedih. Tidak terluka.

“Kamu kelihatan capek, Mas,” ucapnya lembut.

Bani menelan napas. “Aku takut salah.”

Rania tersenyum. “Aku tahu.”

“Aku takut kalau aku hangat ke Laras, berarti aku mengkhianati kamu.”

Rania menggeleng pelan. “Cinta itu bukan benda, Mas. Tidak berkurang hanya karena dibagi dengan cara yang benar.”

Bani menunduk. “Aku masih merasa kamu ada di mana-mana.”

“Aku memang ada,” jawab Rania lirih. “Di Naura. Di doa-doa kamu.”

Rania menggenggam tangan Bani. Hangat. Nyata. “Mas,” katanya pelan tapi tegas, “jangan biarkan Laras merasa sendirian di rumah yang seharusnya jadi tempat pulang.”

Bani mengangkat wajahnya. “Aku belum bisa mencintainya.”

Rania tersenyum lagi. “Aku tidak pernah memintamu mencintainya seperti kamu mencintaiku.”

Ia menepuk dada Bani. “Aku hanya ingin kamu adil. Hangat. Hadir.”

Angin berembus. Sosok Rania perlahan memudar. “Mas,” suara itu terdengar semakin jauh, “aku tenang… kalau kamu juga belajar tenang.”

Bani terbangun.

Napasnya tersengal. Matanya basah. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia tidak hanya merindukan—ia merasa ditinggalkan dengan aman.

Pagi harinya, rumah itu kembali ramai.

Umi Fatimah menggendong Naura dengan penuh kasih. Baba Rasyid berdiri di dekat jendela, memperhatikan Laras yang sedang menyiapkan air hangat untuk susu.

“Laras,” ucap Umi lembut, “kamu sudah cukup lelah. Duduklah sebentar.”

“Iya, Umi,” jawab Laras patuh.

Bani memperhatikan dari jauh. Ia melihat caranya Laras bergerak—hati-hati, tidak pernah mengambil ruang lebih dari yang ia rasa pantas.

Umi mendekati Bani. “Kamu masih menjaga jarak,” kata Umi pelan, bukan menuduh.

Bani terdiam.

“Bani,” lanjut Baba, suaranya tenang dan berat, “Rania adalah amanah yang telah Allah ambil. Laras adalah amanah yang masih Allah titipkan.”

Bani mengepalkan tangannya.

“Kami tidak memintamu melupakan Rania,” kata Umi. “Tidak ada ibu yang ingin menyingkirkan kenangan istri anaknya.”

“Tapi Laras sekarang istrimu,” sambung Baba. “Dan istri bukan hanya diberi atap dan nafkah materi. Ia juga berhak atas kehangatan, perlindungan, dan kehadiran batin.”

Bani menunduk. “Aku takut… kalau aku salah.”

Umi tersenyum lembut. “Yang salah itu bukan mencoba. Yang salah itu membiarkan orang baik merasa sendirian.”

Bani mengangkat wajahnya.

Umi menepuk bahunya. “Pelan-pelan saja, Nak. Tapi jangan dingin.”

Malamnya, Bani duduk sendirian di kamar. Di sisi lain rumah, Laras menidurkan Naura.

Bani menatap ranjang kosong di sebelahnya—ranjang yang dulu milik Rania.

Dalam dadanya, dua suara beradu.

Setia itu menjaga kenangan. Tapi adil itu hadir untuk yang masih hidup.

Ia teringat mimpi semalam. Tatapan Rania yang tenang. “Kalau aku hangat ke Laras… apakah aku mengkhianatimu?” gumamnya lirih.

Keheningan menjawab. Bani memejamkan mata.

Dan untuk pertama kalinya, ia mengakui sesuatu yang selama ini ia tolak—bahwa jarak yang ia jaga bukan hanya melindungi kenangan Rania, tapi juga melukai Laras.

Dan itu bukan yang Rania inginkan.

1
Anak manis
😍
cutegirl
😭😭😭
anakkeren
authornya hebat/CoolGuy/
just a grandma
nangis bgt/Sob/
cutegirl
plislah nangis bgt ini/Sob/
anakkeren
siapa si authornya, brani memporakan hatiku dgj ceritanya😭
just a grandma
nangis banget😭
cutegirl
bagus laras💪
just a grandma
sedihnya sampe sini /Sob/
just a grandma
kasian laras, ginggalin aja si rendra
anakkeren
kasian laras
just a grandma
suka sm ceritanyaaa
anakkeren
kapan kisah nauranya kak?
Fegajon: nanti ya. kita bikin ortunya dulu biar nanti ceritanya enak setelah ada naura
total 1 replies
anakkeren
lanjut
just a grandma
raniA terlalu baik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!