Laura, adalah seorang menantu yang harus menerima perlakuan kasar dari suami dan mertuanya.
Suaminya, Andre, kerap bertangan kasar padanya setiap kali ada masalah dalam rumah tangganya, yang dipicu oleh ulah mertua dan adik iparnya.
Hingga disuatu waktu kesabarannya habis. Laura membalaskan sakit hatinya akibat diselingkuhi oleh Andre. Laura menjual rumah mereka dan beberapa lahan tanah yang surat- suratnya dia temukan secara kebetulan di dalam laci. Lalu laura minggat bersama anak tunggalnya, Bobby.
Bagaimana kisah Laura di tempat baru? Juga Andre dan Ibunya sepeninggal Laura?
Yuk, kupas abis kisahnya dalam novel ini.
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ba, 15. Batal pulang ke kampung.
"Ada saat sebuah rencana tertunda, untuk sebuah harapan baru.
Bukan karena ragu, membuktikan impian. Tetapi, lebih karena tidak ingin impian itu berjalan tanpa rencana."
Pagi sekitaran enam , mobil travel yang ditumpangi Laura, transit di Padang Sidempuan. Laura turun dari mobil, serta penumpang lainnya. Supir menurunkan barang bawaan penumpang yang tiba di Sidempuan.
Petugas loket akan mendata ulang lagi, penumpang dengan tujuan, Pekanbaru.
"Mama, kita sekarang udah dimana ya, Ma. Apa rumah Nenek masih jauh?"
"Katanya kita di kota Sidempuan, nak. Rumah Nenek masih sangat jauh. Sabar ya sayang?" Laura mengusap pucuk kepala, Bobby.
Laura menyesal juga, karena telah menolak tawaran Om David, agar mereka naik pesawat saja. Entah, kenapa Laura memang fobia naik pesawat, terlebih lagi Ayahnya meninggal karena pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan.
Laura mengamati sekeliling loket. Melihat daerah yang menurutnya cukup nyaman untuk tinggal di kota ini. Entah kenapa, Laura merasa jatuh cinta dengan kota ini.
Seperti ada magnet yang menarik dirinya untuk tinggal disini. Laura melihat ada hotel tepat didekat loket. Lebih baik dia membatalkan saja perjalanan mereka.
Kondisi Bobby yang kelelahan, begitu juga dirinya. Lebih baik mereka stirahat dulu, sambil menyusun rencananya selanjutnya.
Selain itu, Laura juga takut kalalu Andrw akan mencarinya ke tempat ibunya. Bila Om David mengeksekusi rumah itu. Dan menemukannya dirumah ibunya.
Laura melaporkan ke petugas loket kalau dia membatalkan rencananya melanjutkan perjalanan.
"Kenapa dibatalkan, Bu. Kami tidak bisa mengembalikan sisa uang tiket."
"Tidak apa-apa. Kondisi anak saya kurang bagus kalau kami lanjut. Kami istirahat dulu beberapa hari disini."
"Oh, jadi Ibu mau nginap di kota ini? Apa Ibu sudah menemukan penginapan?"
"Belum, masih mau mencarinya, dek."
"Kalau Ibu, mau. Hotel dekat loket ini aku rekomendasikan buat Ibu. Biar aku pesankan sama ibu. Aku punya kawan kerja disana, Bu." petugas loket igu menawarkan bantuan pada Laura.
"Terima kasih, dek."
"Iya, bentar lagi ya, Bu. Aku selesaikan dulu mengecek data penumpang. Silahkan duduk disana, Bu." petugas loket itu menunjuk ke barisan bangku tunggu.
"Mama, kita mau pergi lagi, ya? Bobby udah capek, Ma. Semalaman tidur di mobil." keluh Bobby lesu.
"Tidak, sayang. Kita akan tinggal beberapa hari disini."
"Kita gak jadi ke rumah nenek, Ma?" wajah bocah itu berubah lesu. Karena dia sudah penasaran ingin mengenal neneknya secara langsung.
"Nanti, atau biar nenek saja kita suruh datang kesini. Tinggal bersama kita, gimana?" tanpa sadar Laura keceplosan memberitahu rencananya.
"Maksud Mama kita mau tinggal disini. Tidak pulang lagi ke rumah papa?" bola mata Bobby menatap heran mamanya. Jelas tersirat kebingungan di matanya.
"Bobby, Mama minta maaf ya, sayang teah membohongi, Bo. Sebenarnya, kita pergi dari rumah papa dan nenek." Laura menatap wajah Bobby, kelopak matanya mulai mengenang oleh air mata, dan jatuh dipipinya.
"Mama jangan nangis. Bo, tidak marah kok, abis papa dan nenek galak sih sama, Mama." Bobby mengusap air mata yang bergulir di pipi Laura.
"Terima kasih, sayang. Mama janji akan selalu bersama, Bo. Mama sayang, Bo." Laura mendekap Bobby, penuh hangat.
"Bu, saya sudah pesan kamar untuk ibu. Sebaiknya ibu pergi saja sekarang. Teman saya suddh menunggu."
Laura melepas pelukannya pada Bo, saat seseorang menyapanya.
"Eh, adek?"
"Nama saya, Mila, Bu."
"Oh, iya. Saya, Laura. Ini anak saya Bobby." Laura mengenalkan dirinya pada Mila.
"Kak Laura, sepertinya baru pertama kali ke kota ini, ya?"
"Iya, Dek Mila."
"Mau liburan, ya kak?"
"Bukan, hanya mau lewat saja. Tapi, sepertinya kakak suka daerah ini.Kira- kira adik Mila ada tau gak rumah yang mau di jual, disini."
"Kakak mau pindahan, ya? Untuk saat ini
belum kak. Nanti akan aku cari tau, sama teman. Siapa tau ada yang mau ngasih info."
"Terima kasih ya, dek. Kakak pergi dulu."
"Iya, kak Laura. Kalau kakak butuh apa- apa, hubungi saja kak nomor ku ini." Mila memberikan nomor ponselnya. Laura juga melakukan hal yang sama. Memberikan nomor ponselnya.
Sementara itu, di kediaman Andre, pagi itu. Andre benar-benar panik, karena semalaman istri dan anaknya tidak pulang.
Saking lelah menunggu, Andre ketiduran di sofa semalaman. Ternyata anak dan istrinya memang tidak pulang.
"Bu, Ibu!" teriak Andre memecah hening di rumahnya.
"Ada apa, Dre! Pagi-pagi begini sudah ribut!" Bu Maya berlari dari.kamarnya demi mendengar teriakan Andre.
"Semalam, Laura pulang gak, Bu?"
"Mana Ibu tau, 'kan kamu yang nungguin."
"Astaga, aku ketiduran, Bu. Baru bangun. Kirain ibu ada bukain pintu."
"Gak, semalam hujan. Ibu juga tidur pulas karena dingin. Coba tengok di kamarnya dulu. Siapa tau, Luna yang bukain pintu."
"Gak ada, Bu." ucap Andre bingung. Karena dikamarnya kosong dan tidak ada tanda-tanda bekas Laura tidur.
"Ya, ampun! Kemana sih, menantu sialan itu. Bikin greget saja." Bu Maya membuka pintu rumah, kali aja mereka tidur di teras. Tidak ada siapa-siapa.
"Menurut Ibu Laura kemana, membawa, Bo, semalaman."
"Jangan-jangan mereka kabur?" duga Bu Maya.
" Ah, Ibu, yang benar sajalah. Mau kabur kemana mereka. Laura tidak punya family di kota ini. Bepergian juga gak pernah."
"Lantas menurutmu mereka kemana? Diculik! Atau dicelakai orang! Ah, sudah peduli amat. Baguslah kalau istrimu itu minggat." decik Bu Maya.
"Atau mereka ditabrak tapi tidak ada orang yang kenal. Aduh, Bu. Aku takut dengan pikiranku sendiri." seru Andre makin panik
"Aku keluar dulu, Bu. Cari informasi, siapa tau ada kejadian kemarin."
"Tunggu, Dre. Kamu periksa saja dulu lemari pakaian Laura. Siapa tau Laura memang minggat."
"Tidak mungkin, Bu. Laura tidak sebodoh itu pergi dengan tangan kosong." Andre menampik perkataan ibunya.
Yah, tidak mungkin Laura minggat tanpa membawa apa-apa. Tidak semudah itu dia akan menyerah, tanpa membawa apa-apa.
Andre pergi kekamarnya membuka lemari pakaian istrinya. Ternyata lemari itu masih penuh.
Andre juga memeriksa lemari pakaian, Bo. Sepertinya ada beberapa pakaian yang dilepas dari hanger.
Andre memeriksa kembali lemari, Laura. Kali ini lebih teliti. Benar saja dugaannya. Beberapa pakaian Laura juga hilang.
Astaga! Istrinya benar-benar minggat.
Apa tujuan istrinya pergi tanpa pamit. Pasti ada sesuatu yang direncanakan Laura. Tapi apa?
Bukankah dia tidak mau bercerai, dan balik mengancam dirinya saat dia akan menceraikannya.
Bahkan selalu menjadikan rumah ini sebagai alasan dirinya bertahan.
Jangan-jangan Laura telah menjual rumah ini tanpa sepengetahuannya? Uang hasil penjualan rumah ini dia gunakan untuk biayanya minggat.
Jika itu benar terjadi, sejak kapan dia merencanakan semua itu. Tidak mungkin Laura bisa menjual rumah ini dalam tempo singkat.
Akan ada pengukuran dqn ***** nengek lainnya. Dan tidak mungkin luput dari perhatiannya. *****
"
"