NovelToon NovelToon
Beautifully Painful

Beautifully Painful

Status: tamat
Genre:Tamat / Sudah Terbit
Popularitas:24.6M
Nilai: 5
Nama Author: Sephinasera

SUDAH TERBIT CETAK

Cinta bertepuk sebelah tangan Anja mempertemukannya dengan Cakra, siswa paling berandal di sekolah.

Hati yang terluka bertemu dengan apatis masa depan akhirnya berujung pada satu kesalahan besar.

Namun masalah sesungguhnya bukanlah hamil di usia 18 tahun. Tetapi kenyataan bahwa Cakra adalah anak panglima gerakan separatis bersenjata yang hampir membuat papa Anja terbunuh dalam operasi penumpasan gabungan ABRI/Polri belasan tahun silam.

Beautifully Painful.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23. Melampaui Semua Batasan

Anja

Ternyata menjadi orang hamil itu merepotkan sekali ya? Ia yang awalnya merasa sehat dan baik-baik saja, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba merasa sangat lemas, pusing, mual, yang membuatnya seperti sedang melayang di udara dan berputar-putar tak karuan, sampai akhirnya harus pingsan di pelukan Mas Sada.

Sial, sial sial.

Kenapa harus pingsan di saat seperti ini sih? Kenapa tubuhnya sendiri bahkan tak bisa diajak berkerja sama untuk menyembunyikan keadaan?

"Aku nggak papa Mas, cuma kurang tidur mungkin," ia jelas mati-matian menolak untuk diperiksa oleh dokter jaga di IGD. Karena pasti akan ketahuan kalau ia sedang....

"Kamu dari dulu punya darah rendah," Mas Sada mengernyit tak setuju. "Aku nggak mau kamu ikutan sakit kayak Papa. Harus diperiksa. Tunggu sebentar, dokternya masih nanganin pasien di sebelah."

Dan selama dokter jaga melakukan sederet pemeriksaan terhadap dirinya, ia hanya bisa berdoa dalam hati semoga rahasia masih aman terlindungi. Namun sepertinya mustahil, karena dokter jaga bahkan bertanya dengan sangat lugas, "Masih morning sickness?"

Juga, "Pernah flek atau pendarahan?"

Yang ia jawab dengan suara paling pelan karena khawatir terdengar oleh orang lain selain dokter jaga terutama Mas Sada.

"Perubahan kadar hormon membuat pembuluh darah melebar. Jadi ketika mengubah posisi secara tiba-tiba, tekanan darah akan menurun dengan cepat," begitu ia sempat mendengar dokter jaga bicara pada Mas Sada.

Namun ketika dokter jaga tiba-tiba mengajak Mas Sada untuk menjauh dari tirai, kemudian mereka berdua berbicara di sudut ruangan dengan mimik serius. Saat itulah ia tahu, kiamat sebentar lagi akan datang menghampiri.

Meski ia masih bisa sedikit bernapas lega karena sikap Mas Sada setelah berbincang dengan dokter jaga tak berubah sedikitpun. Masih tersenyum saat menanyakan keadaannya,

"Masih pusing nggak? Kata dokter tekanan darah kamu terlalu rendah. Habis ini langsung pulang, biar bisa istirahat di rumah. Papa sama Mama biar aku yang urus."

Lengkap dengan mengusap lembut puncak kepalanya. Persis seperti yang sering Mas Sada lakukan tiap kali mereka bertemu walau ia sudah sebesar ini.

Namun suasana kaku dan canggung yang begitu kuat menguar di dalam mobil selama perjalanan pulang menuju ke rumah, membuatnya kembali diselimuti kekhawatiran. Kepalanya dijubeli oleh begitu banyak pertanyaan yang ia sendiri tak mengetahui jawabannya.

Seperti, apakah Mas Sada sudah mengetahui tentang keadaan dirinya? Apa yang dokter jaga tadi sampaikan hingga kening Mas Sada berkerut-kerut? Apa anggapan Mas Sada terhadap dirinya setelah mengetahui hal tersebut? Apakah ia akan dimarahi habis-habisan karena telah mencoreng nama baik keluarga?

Tapi kenapa Mas Sada tak marah padanya dan masih bersikap biasa saja seolah tak ada hal buruk yang terjadi? Ataukah Mas Sada memang benar-benar belum tahu tentang keadaannya?

"Kamu istirahat di rumah, nggak usah mikirin apa-apa," ucap Mas Sada sambil menyelimuti dirinya yang meringkuk di atas tempat tidur, sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkannya dalam kebingungan.

Namun insting alami yang dipenuhi kekhawatiran berhasil menuntun langkah kakinya keluar untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Dan pemandangan yang tersaji di hadapannya benar-benar tak pernah ia bayangkan.

"Mas Sadaaa!! Jangaaan!!" jeritnya panik demi mengetahui Mas Sada tengah memukuli Cakra dengan membabi buta di teras depan.

Cakra, walau berpostur lebih tinggi, namun jelas kalah kekar dibanding Mas Sada yang merupakan pemegang sabuk hitam Dan 5 itu. Ia bahkan harus menutupi wajah dengan kedua tangan karena tak tega melihat tubuh kurus Cakra terkapar di atas lantai teras dengan wajah berlumuran darah.

Mas Sada masih sempat memukul Cakra sekali lagi sebelum akhirnya pergi meninggalkan rumah dengan tanpa mengucapkan sepatah katapun. Wajah Mas Sada jelas-jelas dipenuhi amarah, dan baginya ini sangat menakutkan.

Ia bahkan baru berani mendekati Cakra yang masih terduduk di lantai teras sambil terbatuk-batuk ketika suara mesin mobil yang dikendarai Mas Sada terdengar menjauh.

"Bi Enok!!" pekiknya memanggil bala bantuan. "Mang Jaja!!"

"Biii!!! Bibiiii!!" pekiknya lagi dengan sedikit kesal karena tak seorangpun yang datang menghampiri.

"Ya Allah, astaghfirullah, ada apa ini Neng?!" Bi Enok yang baru datang lima menit kemudian dari arah belakang rumah langsung terkaget-kaget demi melihat Cakra yang kini sedang muntah-muntah di taman depan teras.

"Mang Jaja mana?! Ini tolongin cepetan!!"

Mang Jaja menyusul kemudian dan tak kalah terkejut, "Ya Allah, Neng. Kenapa Neng?!"

"Udah buru tolongin!" serunya kesal campur cemas demi melihat Cakra masih saja muntah-muntah.

"Dudukkin di sofa!" tunjuknya kearah ruang tamu begitu Cakra tak lagi muntah.

"Bi, ambilin air hangat sama kain buat ngompres, terus antiseptik sama betadine. Pokoknya semua yang ada di kotak obat bawa kesini! Buruan!!!"

"I-iya Neng...iya....," Bi Enok tergeragap dan buru-buru masuk ke dalam.

"Kenapa ini teh Neng sampai bonyok begini?!" tanya Mang Jaja keheranan usai memapah Cakra untuk duduk di sofa ruang tamu.

"Udah nggak usah banyak nanya!" jawabnya setengah menggerutu. "Bantuin Bi Enok buat ambil barang yang saya suruh tadi!"

"Iya Neng."

"Sama minta Bi Enok siapin air putih hangat sama teh manis hangat!"

Mang Jaja mengangguk-angguk mengerti dan buru-buru masuk ke dalam.

"Nggak sekalian jus alpukat," bisik Cakra yang membuatnya spontan melotot.

"Elo udah bonyok masih aja belagu!"

Membuat Cakra tertawa, namun tak lama karena kini Cakra justru mengaduh kesakitan akibat luka di sudut bibir ikut tertarik saat tertawa tadi.

Ia yang belum pernah merawat orang terluka karena babak belur habis dipukuli, kini harus sangat berhati-hati karena tiap kali menyentuhkan kain yang telah dicelup ke dalam air hangat ke atas kulit yang terluka, justru membuat Cakra meringis kesakitan.

Beberapa menit kemudian, setelah usahanya yang penuh kehati-hatian, pelipis, tulang pipi, dan sudut bibir Cakra yang tadinya berdarah-darah kini telah bersih. Hanya menyisakan luka menganga berwarna merah. Namun sebelum dioles antiseptik, ia lebih dulu mengompres luka-luka tersebut dengan air hangat selama beberapa saat.

"Elo kenapa nggak langsung pulang sih tadi?!" sungutnya kesal sambil mengompres luka di sekitar pelipis Cakra. "Bisa mati digebukin Mas Sada!"

Namun Cakra hanya tersenyum, "Seneng malah digebukin...."

"Idih!" ia mencibir sebal. "Dasar nggak ngotak! Digebukin sampai mau mati malah seneng!"

Cakra kembali tersenyum. "Emang orang kayak aku harus digebukin. Kalau kakak kamu diam aja malah aneh."

"Ya tapi nggak separah ini!" sungutnya kesal, kali ini sambil mengompres tulang pipi Cakra agar tak terlalu bengkak.

"Kakak kamu udah tahu....," Cakra menatapnya dalam-dalam, tapi ia pura-pura tak mengetahuinya.

"Ya kan tadi gue pingsan di rumah sakit. Makanya tahu. Gimana sih!" gerutunya sebal demi mendengar kalimat Cakra yang tak jelas antara sedang bertanya atau memberi pernyataan.

"Tapi pingsan kamu nggak papa?" Cakra masih saja menatapnya, tapi ia selalu mengabaikan.

"Darah rendah!" jawabnya ketus.

"Kandungan kamu nggak papa?"

"Udah deh nggak usah banyak nanya!" gerutunya kesal. "Mau diobatin nggak sih?!"

Cakra tersenyum lumayan lebar, tak lagi meringis. Mungkin karena luka-lukanya telah dikompres dengan air hangat. Hingga tak sepedih awal-awal usai kejadian tadi.

Dengan perlahan dan penuh kehati-hatian ia mulai mengoleskan cairan antiseptik ke seluruh luka di wajah Cakra. Setelah selesai dan menunggu beberapa saat agar cairan mengering, ia kembali mengoleskan betadine ke seluruh luka di wajah Cakra. Kemudian menutupnya dengan plester.

Selama melakukan rangkaian pengobatan tersebut, ia bukannya tak tahu Cakra memandanginya lekat-lekat. Namun ia pura-pura tak menyadarinya. Lebih memilih untuk berkonsentrasi dengan luka-luka yang membuat wajah Cakra babak belur tak karuan.

"Udah!" ujarnya senang sambil memandangi hasil pekerjaannya dengan puas.

"Nih, mau minum apa?!" lanjutnya sambil menunjukkan air putih dan teh manis hangat yang tersimpan di atas meja.

Cakra tak menjawab, tapi langsung mengambil air putih kemudian meminumnya hingga tandas.

"Makasih," bisik Cakra saat ia sedang membereskan cairan antiseptik dan betadine.

"Bi Enok!!" ia lebih memilih berteriak memanggil Bi Enok daripada menanggapi ucapan terima kasih Cakra.

"Iya Neng?" Bi Enok datang ke ruang tamu dengan tergopoh.

"Udah nih, beresin," ujarnya sambil menunjuk ke atas meja dimana terdapat sebaskom air hangat dan perlengkapan untuk mengobati luka Cakra barusan.

"Ada yang perlu diambilin lagi nggak, Neng?" tawar Bi Enok sebelum masuk ke dalam.

"Enggak, udah cukup."

"Bisi mau sekalian makan siang Neng? Itu Bibi udah masakkin pesenan Eneng minggu lalu. Ulukuteuk leunca, cumi asin cabe ijo, sama tamusu."

"Aa nya juga sekalian diajak makan," lanjut Bi Enok sambil menunjuk Cakra. "Karunya (kasihan) bonyok begitu."

"Enggak, Bi!" decihnya sedikit kesal. "Kita nggak mau makan. Udah Bibi ke dalam aja."

"Oh, muhun Neng....muhun....," Bi Enok mengangguk mengerti dan buru-buru masuk ke dalam.

Sepeninggal Bi Enok Cakra langsung tersenyum, "Kamu selalu dapat apa yang dimau ya."

"Udah deh!" sungut sebal. "Udah ditolongin juga masih ngeledek!"

"Lho, ini kenyataan kan bukan ngeledek?" Cakra masih tersenyum.

Ia hanya mencibir sebal, namun sebelum sempat melancarkan protes, Cakra lebih dulu melanjutkan, "Jadi sekarang kita gimana?"

"Gimana apanya?!" salaknya kesal.

"Kakak kamu udah tahu. Mak sama Kak Pocut juga udah tahu."

Ia tak bisa menjawab, hanya bisa menjalin jari jemari dengan gelisah.

"Kakak kamu bilang apa ke kamu?"

Ia menggeleng, "Nggak bilang apa-apa," lalu mengernyit. "Emang Mas Sada bilang sesuatu ke elo?!"

Cakra juga menggeleng, tapi sambil berkata, "Aku udah bilang ke Kakak kamu mau tanggung jawab."

Membuatnya melotot.

"Sekarang terserah kamu kapan waktunya. Yang pasti keluargaku siap datang kapan aja ke rumah buat ketemu sama orang tu..."

"Bentar bentar!" potongnya. "Waktu apa maksudnya?!"

Cakra menghela napas sambil menunjuk kearah perutnya, "Perut kamu tambah besar. Nggak mungkin disembunyiin lagi."

"Siapa bilang?!"

"Paling enggak sampai anaknya lahir, biar orang tahu siapa bapaknya. Habis itu terserah kamu."

Ia mendecak sebal, "Gue kan belum mutusin apa-apa! Lagian lo masih utang 6 juta ke gue! Janji tiga hari, berarti tinggal dua hari lagi!"

"Terus Mas Sada nggak bilang apa-apa!"

"Papa gue juga masih di rumah sakit! Nggak mungkin gue ngaku di depan orangtua gue. Yang ada Papa tambah parah sakitnya. Belum Mama. Bisa-bisa dua-duanya malah yang sakit!"

"Enggak! Enggak!" lanjutnya cepat. "Gue belum mikir kesana! Selama orangtua gue belum tahu, gue masih berharap bisa diilangin!"

"Udah deh mending lo sekarang pulang! Gue cape mau tidur!"

Namun sepeninggal Cakra, ia tak bisa memejamkan mata barang sedetik pun. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Apa yang akan terjadi setelah ini? Apa yang akan dilakukan Mas Sada dan Mas Tama terhadap dirinya? Apa yang harus ia lakukan? Apakah Mama dan Papa mau memaafkan kesalahannya ini? Apa reaksi Mama jika mengetahui berita ini? Apakah keadaan akan baik-baik saja atau justru semakin memburuk?

Ia masih diliputi kebingungan ketika Mas Sada kembali ke rumah dan langsung menemuinya di dalam kamar.

"Malam ini aku pulang ke Jogja," Mas Sada membuka pembicaraan.

"Untuk sekarang konsentrasi masih ke Papa. Karena keadaan belum terlalu stabil. Masih riskan untuk serangan stroke berikutnya."

"Mama juga lagi nggak stabil. Kepikiran Papa dan kurang istirahat."

Ia mengangguk mengerti.

"Siapa aja yang udah tahu hal ini?"

Ia menggeleng. Membuat Mas Sada menunjuk dadanya sendiri, "Baru aku yang tahu?"

"Ibu sama kakak Cakra udah tahu," jawabnya pelan hampir tak terdengar.

"Terus mereka bilang apa?" Mas Sada menatapnya dengan kening berkerut.

Lagi-lagi ia menggeleng.

"Mereka nggak mau tanggung jawab?!?" sergah Mas Sada dengan nada tinggi.

"Bukan begitu," sahutnya cepat khawatir Mas Sada salah paham.

"Ibunya Cakra minta maaf sama aku," lanjutnya sambil menunduk. "Nyuruh aku makan makanan yang sehat dan bergizi. Terus...."

"Intinya mereka mau tanggung jawab nggak?!" kejar Mas Sada dengan suara tak sabar.

Ia cepat-cepat mengangguk. "Cakra mau tanggung jawab....," ujarnya dengan lidah kelu. "Tapi aku nggak mau...."

"Kenapa nggak mau?!" Mas Sada mengernyit. "Yang bikin kamu begini dia atau orang lain?!"

"Dia!" jawabnya cepat. "Iya, Cakra yang bikin begini...."

"Terus kenapa nggak mau?!"

"Aku....aku mau ilangin aja...."

"Ilangin gimana?!"

Ia mengkerut sambil menelan ludah, "Aku nggak mau punya anak. Aku mau kuliah. Aku mau jadi dokter gigi. Aku nggak ma....."

"Ya ampun Anja!" Mas Sada memotong kalimatnya cepat.

"Jangan pernah berpikir ngelakuin itu! Nyawa taruhannya!" sergah Mas Sada jelas-jelas memperingatinya.

Ia hanya bisa menunduk dalam-dalam sambil mengkerut.

"Sekarang kita tunggu keadaan Papa membaik. Baru selesaikan semua ini. Aku juga harus ngobrol sama Mas Tama buat nyari jalan keluar terbaik."

"Selama itu, jangan lakukan apapun yang membahayakan diri kamu sendiri!"

"Jangan cerita ke Mama."

"Ini cukup antara kita bertiga."

"Kamu istirahat di rumah. Nggak usah ke rumah sakit. Nanti kubilang ke Mama kalau kamu lagi sibuk pengayaan mau UN."

Namun entah mengapa kalimat-kalimat yang diucapkan Mas Sada justru membuat dirinya merasa tak diinginkan. Membuatnya merasa tak didukung. Membuatnya merasa tak diprioritaskan. Membuatnya merasa kesal, marah, dan kecewa pada diri sendiri.

Menunggu keadaan Papa membaik? Berapa lama? Seminggu, sebulan? Sementara perutnya akan terus membesar. Dan setelah kondisi kesehatan Papa membaik, lalu mendengar apa yang menimpa dirinya, apa malah tak membuat Papa kembali shock? Lalu Mama? Ia tak dapat membayangkan betapa kecewanya Mama jika mendengar apa yang terjadi.

Ini buruk. Sangat buruk.

Otak impulsifnya kini sedang bekerja sangat keras.

Ia harus punya jalan keluarnya sendiri. Ia harus memikirkan semuanya sendiri. Ia tak boleh mengecewakan banyak orang. Ia harus berusaha sendiri.

Dan satu-satunya orang yang mau membantunya melakukan itu adalah,

"Lo kemarin janji mau nganterin gue ke klinik buat aborsi?!"

"Anja?!"

"Lo masih pegang janji lo enggak?!"

"Aku janji bakal balikin 6 juta ke kamu dalam dua hari dan kamu harus lanjutin sampai anak itu lahir!"

"Gue yakin lo nggak bakal bisa ngembaliin 6 juta dalam dua hari! Jadi sekarang jemput gue di halte! Gue takut dan kedinginan!!"

1
Zulva
Obat Rindu dengan Cakra dan Anja,Mas Tama dan Kak Pocut. Tak kan pernah bosan,dan tk bisa lupa dengan cerita mereka. Makasih mam Sera atas karyanya yg sangat LUAR BIASA BUATKU😘😍. Sambil lagi USAHA BIAR BISA BACA KARYA TERBARUNYA RAKAI DAN PUPUT..
Intan Reni Agustina
🥲
Mrs.Kristinasena
aku baca lagi kak .awal th 2025..kangen banget Ama Cakra Anja..karya kak sephinasera emang ga ada duanya..ngangenin..bahkan tanpa ampun telah menyatu dlm kalbu seolah ini cerita nyata..pdhl hanya karya fiksi..
AuLia PuTri
2025 baca lagi masih saja terharu 🥲🥲
Reni Novitasary
mewek again/Sob/
rian silviani
apakah ada Cakra di real life?
RR.Novia
Abang cakra, aku balik reread lagi 🥹
marianna
kalo udah dapat cerita sebagus ini bakalan susah dpt cerita yang lebih bagus lagi
Pudji Widy
kak sera..ayo balik ke NT lagi..kangen kak baca cerita mu
Teh Neng
2025 baca ulang .. kangen Cakra🤗
Iren Siwi
Luar biasa
Nartyfauzi ruliyadi
tidak bisa move on dr novel Cakra Anjani dn Pocut mas Tama ❤️❤️❤️
Teh Neng
maa syaa Allah baca untuk ke sekian kalinya ini teteh . gagal move on Cakra tuh yaaahhh . Nemu di mana coba Cakra versi nyata☺️
Darmiati Thamrin
😭😭😭😭😭
Athalla✨
kirain Anja mau dilanjuttt bang ehh
Athalla✨
Love you too 🥰😍
udah aku wakilin tuh Ja 🤭🤭
Athalla✨
runtuh sudah pertahanan diri Abang 😁😁
Athalla✨
kamu yang mancing duluan loh Ja 🤭
Athalla✨
sadar gak sih Ja,, kamu mancing² abang terus 😂
Athalla✨
kelamaan nungguin kamu bang jadinya disamperin deh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!