GURUKU ADALAH CINTAKU, BIDADARI HATIKU, DAN CINTA PERTAMAKU.
******
"Anda mau kan jadi pacar saya?" Seorang pria muda berjongkok, menekuk satu kakinya ke belakang. Dia membawa sekuntum mawar, meraih tangan wanita di hadapannya.
Wanita itu, ehm Gurunya di sekolah hanya diam mematung, terkejut melihat pengungkapan cinta dari muridnya yang terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah tempatnya bekerja, juga anak paling populer di sekolah dan di sukai banyak wanita. Pria di hadapannya ini adalah pria dingin, tidak punya teman dan pacar tapi tiba-tiba mengungkapkan cintanya ... sungguh mengejutkan.
"Saya suka sama anda, Bu. Anda mau kan menerima cinta saya?" lagi pria muda itu.
"Tapi saya gurumu, Kae. Saya sudah tua, apa kamu nggak malu punya pacar seperti saya?"
Sang pria pun berdiri, menatap tajam kearah wanita dewasa di hadapannya. "Apa perlu saya belikan anda satu buah pesawat agar anda menerima cinta saya? saya serius Bu, saya tidak main-main,"
"Tapi..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23. Seperti Lampu Hijau
Kaesang menangkap gelagat aneh pada Tyas. Bibirnya bergetar, wajahnya pucat pasi, dan tubuhnya sedikit gemetar. Rasa khawatir langsung menyergap Kaesang.
Setelah selesai makan malam, mereka berdua bergegas keluar restoran menuju parkiran. Kaesang membukakan pintu mobil untuk Tyas, dan setelah Tyas masuk, ia menyusul. Seperti biasa, Kaesang memasangkan sabuk pengaman untuk Tyas sebelum ia sendiri mengenakannya.
"Dear, Kamu beneran nggak papa, kan? Wajahmu pucat banget," ujar Kaesang, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Tyas berusaha tersenyum, tak ingin membuat Kaesang semakin khawatir.
"Aku nggak papa, Sayang. Kamu jangan khawatir gitu ih. Aku baik-baik aja kok." Dia tidak ingin membuat Kaesang khawatir kepadanya. Dia berusaha terlihat baik-baik saja, meskipun sebenarnya dia sedang tidak baik-baik saja. Setelah berendam tadi tubuhnya menjadi sangat dingin. Rasanya seperti masuk angin.
Mendengar jawaban Tyas, Kaesang langsung menyalakan mesin mobil dan bergegas mengantar Tyas pulang. Sepanjang perjalanan, Tyas tak henti-hentinya memeluk tubuhnya sendiri, mengeratkan jaketnya. Udara malam terasa dingin menusuk, dan Tyas tampak menggigil kedinginan. Sadar akan hal itu, Kaesang segera mematikan AC mobil dan menoleh ke arah Tyas dengan sedikit khawatir.
"Dingin banget ya, Dear? kamu bikin aku khawatir. Jarak rumah kamu masih jauh loh, kamu mau mampir di apartemenku dulu? apartemenku nggak jauh loh dari sini," Kaesang yang melihat Tyas seperti kedinginan, merasa tidak tega.
Dia menawarkan Tyas untuk mampir di apartemennya sebentar untuk menghangatkan tubuh.
Tyas merasa tidak enak. Selain di rumah pasti kedua orang tuanya sudah menunggu dengan khawatir, di apartemen itu hanya ada dirinya dan Kaesang. Dia tidak ingin ada sesuatu yang tidak tidak terjadi di antara mereka. Meskipun sebenarnya mereka adalah sepasang kekasih.
"Nggak, Yang. Aku pulang aja. Pasti di rumah orang tuaku udah nunggu aku. Mereka pasti khawatir banget saat tau aku nggak pulang-pulang. Nggak papa, kita lanjut aja." Tyas menggeleng pelan, menolak ajakan Kaesang untuk mampir ke apartemennya. Ia memilih untuk segera pulang, mengkhawatirkan orang tuanya yang pasti sudah menunggunya dengan cemas.
Tapi, Kaesang yang merasa tidak tega melihat Tyas yang semakin pucat tidak mendengarkan ucapan Tyas dan malah membelokkan mobilnya ke arah apartemennya. Begitu mobil memasuki gerbang apartemen dan menjejak basement, Kaesang langsung menghentikan mobil. Saat itu Tyas tidak menyadari Jika Kaesang membawanya ke apartemennya. Kaesang turun dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Tyas.
Tyas baru menyadari Jika dia sekarang ada di sekitar apartemen Kaesang. Dia menerima uluran tangan Kaesang dan turun dari mobil.
"Yang, kok kesini? tadi kan aku minta kamu buat lanjut jalan aja," protes Tyas, sembari mengerutkan kening. Sebenarnya, dia sih mau-mau saja buat mampir ke apartemen Kaesang. Tapi, mengingat mereka belum muhrim, dan takut orang tuanya khawatir, dia terpaksa menolak.
Kaesang tetap tidak mendengarkan ucapan Tyas, dia langsung menarik tangan Tyas, mengajaknya masuk ke gedung apartemen. Mereka berdua menaiki lift, menuju lantai tempat apartemen Kaesang berada.
"Kae?!" Tyas mengerutkan kening, suaranya sedikit meninggi. Kaesang baru menoleh saat mendengar nada kesalnya. Tatapan khawatirnya tadi sirna, digantikan oleh sorot mata tajam yang membuat Tyas sedikit terkejut.
"Jangan protes, Dear! Aku khawatir sama kamu. Kamu bisa menghangatkan diri dan istirahat di apartemenku. Nggak usah khawatir, aku nggak akan macem-macem kok," Seolah tau apa yang di khawatirkan Tyas, Kaesang pun menjawab dan menatapnya tajam.
Sesampainya di lantai tempat apartemen Kaesang berada, Kaesang segera membawa Tyas keluar dari lift menuju ke apartemennya.
Setibanya di depan pintu, Kaesang segera menekan kode akses dan mengajak Tyas masuk. Ia mengantar Tyas ke kamarnya, lalu meminta Tyas untuk berbaring. Dengan lembut, ia menyelimuti Tyas dengan selimutnya.
"Kalau orang tua aku nyariin gimana, Yang? Aku cuma bilang ke mereka kalau aku keluar bentar. Mereka pasti nyariin aku," ujar Tyas, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
Kaesang berjongkok di samping ranjang, tangannya meraih jemari Tyas.
"Kamu nggak usah khawatir. Kamu istirahat aja di sini malam ini. Besok kamu jelasin ke mereka. Bilang kalo kamu kemarin nginep di rumah temen kamu dan nggak sempet buat ijin. Kamu tidur ya, Dear. Istirahat. Wajah kamu pucet loh," Kaesang menaikkan tangannya, mengusap kening Tyas dan rambutnya.
Senyum tipis terukir di bibir Tyas, diiringi anggukan pelan. Dia merasa senang melihat perhatian Kaesang untuknya. Dia tak hentinya menatap Kaesang, begitupun dengan Kaesang. Keduanya saling menatap.
Kaesang mendekatkan tubuhnya pada Tyas, jarak mereka menipis hingga hanya tersisa beberapa senti. Detik berikutnya, bibir mereka bertemu dalam sebuah ciu-man. Kaesang men-ci-um bibir Tyas, lembut dan hangat.
Tyas memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut itu. Lengannya terulur, mengalung di leher Kaesang, semakin memperdalam civman mereka.
"Eughh," Tyas menarik diri dari ciu-man itu, napasnya tersengal. Tatapannya, tajam dan penuh makna, tertuju pada Kaesang.
Kaesang sedikit menjauh, tangannya merapikan kerah baju dan rambutnya yang sedikit berantakan.
"Kamu tidur ya, Dear. Aku keluar dulu," Kaesang hendak beranjak, berbalik untuk meninggalkan kamar, ketika tiba-tiba tangan Tyas mencengkeram lengannya. Ia menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya.
"Kamu mau kemana?" tanya Tyas, suaranya terdengar sedikit manja. Seperti anak kecil saja. Kaesang seringkali gemas melihat Tyas dalam mode manja seperti ini.
Kaesang segera mendekat kearah Tyas, dia duduk di tepi ranjang. Tyas bangun, dia mendekatkan tubuhnya ke arah Kaesang dan memeluknya erat. Hangatnya pelukan itu terasa menenangkan.
Tanpa sadar, gunung Fuji milik Tyas, yang ukurannya pas, tidak kecil dan tidak terlalu besar menempel di dada Kaesang. Kaesang bisa merasakan ada benda kenyal menempel di dadanya. Dia merasakan sebuah sensasi aneh menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Aku tidur di kamar sebelah, Dear. Di apartemen ini ada beberapa kamar. Jadi kamu nggak usah khawatir. Aku bakal tidur di kamar yang berbeda kok. Kamu tidur di kamar ini aja. Aku nggak bakal ganggu kamu." Kaesang membalas pelukan Tyas, tangannya melingkar manis di punggungnya. Ia menunduk, bibirnya menyentuh lembut puncak kepala Tyas.
Tyas semakin mendekap erat tubuh Kaesang. Hangatnya terasa menenangkan, sebuah sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tak ingin melepaskan pelukan itu, ingin terus merasakan kehangatannya.
"Tidur bareng aku, ya? Aku mau kamu di sini, di sampingku, terus peluk aku," bisik Tyas. Kata-katanya, lembut dan penuh permohonan, terasa seperti lampu hijau bagi Kaesang. Sebuah kode yang hanya mereka berdua mengerti.
Kaesang melepas pelukan Tyas, tangannya lembut membingkai wajah wanita itu. Tatapannya penuh cinta, menelisik ke dalam mata Tyas yang berbinar harap. Sebuah ke-cu-pan singkat mendarat di bibir Tyas, membuat senyum mengembang di wajahnya.
"Kamu kenapa jadi s3ksi gini sih, Dear? aura kamu loh beda banget. Kayak kita itu pengantin baru dan lagi bulan madu." ujar Kaesang, jujur. Tyas tersenyum malu. Dia pun merasakan hal yang sama. Rasanya seperti mereka memang sedang berbulan madu.
Tyas mengalungkan tangannya di leher Kaesang, menariknya hingga tubuh kekar itu jatuh menimpa dirinya. Dekat. Sangat dekat. Hampir tak ada jarak di antara mereka. Kaesang bisa merasakan detak jantung Tyas, berdebar kencang, seakan beriringan dengan detak jantungnya sendiri. Napas mereka beradu, hangat dan berdesir. Mata mereka bertemu, tanpa kata, tanpa ekspresi.
Perlahan Kaesang mengulurkan tangannya, meraih lampu tidur di nakas, menarik tali pengatur cahayanya. Gelap. Ruangan seketika diselimuti kegelapan. Tak ada yang terlihat, hanya bayangan samar yang menari-nari di dinding.
********
Di ruang tamu rumah mereka, kedua orang tua Tyas, Pak Dewa dan Bu Linda duduk berdampingan, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran. Sorot mata mereka, yang biasanya hangat, kini tampak sayu, seakan memantulkan kecemasan yang tengah mereka rasakan.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi Tyas belum juga pulang. Padahal, ia pamit keluar sore tadi setelah mengajar, dijemput oleh seorang pemuda yang katanya muridnya.
"Tyas bilang mau ngobrol soal olimpiade," ujar Bu Linda, suaranya sedikit gemetar. "Tapi kok sampai sekarang belum balik juga?"
Pak Dewa, yang sedikit mengerti soal ponsel, sudah mencoba menghubungi Tyas berkali-kali. Namun, panggilannya tak kunjung dijawab. "Ponselnya aktif, tapi gak diangkat," katanya, raut wajahnya semakin kusut.
Bu Linda mulai mondar-mandir dengan gelisah. "Biasanya Tyas gak pernah pulang telat begini. Kenapa dia nggak ngabarin?"
Pak Dewa mencoba menenangkan istrinya. "Mungkin dia lagi nginep di rumah temannya. Kita tunggu sampai jam dua belas dulu. Kalau belum pulang juga, kita tidur aja. Besok pagi pasti dia pulang dan jelasin semuanya."
Wajah Bu Linda masih terlihat khawatir, tapi ia berusaha untuk tenang. Mereka berdua pun kembali duduk di sofa, mencoba mengalihkan pikiran dengan menonton televisi. Namun, bayangan Tyas yang tak kunjung pulang terus menghantui pikiran mereka.
"Duh, Mas, aku masih khawatir banget sama Tyas. Dia kok belum pulang juga, ya? Coba kamu telepon lagi, deh," Meskipun televisi menyala di depan mereka, mata mereka tak lepas dari layar, Kekhawatiran mulai merayap di hati mereka.
Tyas yang biasanya pulang tepat waktu, belum juga terlihat batang hidungnya. Ke mana dia? Kenapa dia belum pulang?
Pak Dewa pun menuruti permintaan istrinya. Ia kembali meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Tyas. Namun, hasilnya tetap sama: panggilannya tak diangkat. Bahkan sekarang mulai tidak aktif.
"Nggak aktif, Bun. Besok aja deh kalau dia pulang kita bisa tanya sama dia kemarin ngapain aja kok nggak pulang-pulang. Kamu jangan khawatir, besok kita tanya bareng-bareng." ujar Pak Dewa menenangkan istrinya. Sambil meletakkan ponsel di atas meja, ia kembali menatap layar televisi yang sedang menayangkan sebuah sinetron.
Bersambung ...