“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam: 24
"Siramkan air ini ke batu yang masih terdapat darah Pendi! Kita lihat siapa pelaku sesungguhnya!” titah Ki Jaya, kembali dia bersila dan memejamkan mata, merapal mantra.
Gandi membungkuk mengambil bokor, membawanya ke tempat dimana tadi Pendi ditemukan, menyiram batu yang masih terdapat darah kering.
Pelipis dan kening Ki Jaya mulai berkeringat, badannya bergetar kala ia membuka pintu mata batinnya, menelusuri kejadian yang sudah berlalu beberapa jam tadi.
Dalam penglihatannya, Pendi turun dari motor, lalu masuk ke dalam gudang. Dalam keremangan ruangan minim pencahayaan, seseorang telah menunggu sambil membawa balok kayu, secepat kilat menghantam bahu Pendi. Pria itu tidak langsung tumbang, masih bisa melarikan diri.
Pintu dihempas sampai terlepas dari engsel, sosok berpakaian berlumuran darah dan tanah itu menyeret kayu, memburu Pendi, lalu terjadilah pergulatan sengit.
Pendi kalah telak, wajahnya di cabik menggunakan obeng, kepalanya dihantamkan ke batu, kaki dipukul kayu hingga tulangnya remuk.
Kemudian, sosok misterius itu pergi ke semak-semak menggiring kawanan babi hutan yang sedang mencari makan.
Kelopak mata Ki Jaya terbuka, pandangannya tajam, ia telah kembali ke dunia nyata, tak lagi terperangkap pada alam bawa sadar. “Rahman, dialah pelakunya!”
Pernyataan itu mengejutkan semua orang, ekspresi mereka nyaris sama dengan pemikiran serupa. Bagaimana bisa?
“Sosoknya tak lagi manusia. Dia sudah mati, arwahnya dikendalikan seseorang yang memiliki ilmu batin mumpuni, bisa terhubung dengan alam ghaib.”
Kening Ki Jaya berkerut dalam, matanya menyipit, tenaganya nyaris terkuras habis demi menguak tabir dibalik kekuatan yang mengendalikan Rahman, ayahnya Farida.
Namun, dia gagal. Sama sekali tidak mendapatkan gambaran siapa gerangan yang jelas bukan orang sembarangan.
“Saya tak bisa menembus sosok itu, auranya pekat, kuat, diselimuti kabut tebal,” sambungnya, ada cemas dibalut rasa penasaran.
“Apa sosok misterius itu berpotensi menjadi ancaman, Ki?” Sugeng memutar-mutar cincin penangkal yang sudah puluhan tahun melindunginya.
Ki Jaya mengelus janggutnya. “Selama Tuan Iblis tetap bersemayam di patung yang kalian puja, takkan ada yang bisa menyentuh kita apalagi berniat mencelakai.”
Gelak tawa terdengar bersahutan, para pria berhati iblis itu begitu yakin bila perbuatan keji mereka selalu mujur, lolos dari hukuman.
“Gandi ….” Juragan Bahri memanggil salah satu ajudannya.
“Ya, Juragan.”
“Pergilah ke kota, bunuh si Pendi! Tak ada gunanya dia hidup, yang ada akan menyusahkan! Saya paling benci memelihara Benalu!” Rahangnya mengetat, sedikitpun tidak tergambar raut sesal di wajah yang sudah dimakan usia itu, keriput telah memenuhi kening, dan garis senyum.
“Siap, Juragan!” Dia sadar, nyawa bawahan sepertinya bagaikan seekor nyamuk. Bila tak lagi berguna, dan menjadi ancaman, langsung dilenyapkan.
.
.
“Dukun bodoh! Kau lebih pantas disebut pengarang daripada orang sakti!” Ni Dasah tersenyum remeh.
Dialah dalang dibalik penglihatan mata batin ki Jaya. Di saat dukun tua itu melakukan ritual, ni Dasah juga melakukan hal yang sama. Dengan menggunakan tulang Rahman, dan setetes darah Ayam yang bernama Jalu.
Ni Dasah berhasil mengelabui penglihatan Ki Jaya, mengendalikan mata batin pria tua itu sesuai jalan pikiran yang ia inginkan.
“Jaya, Jaya … Puluhan tahun kau mengabdi pada Iblis buangan, tetapi kekuatanmu masihlah cetek.” Ni Dasah membuang tulang Rahman ke dalam kolam berlumut.
Ya, sebenarnya Iblis bertanduk Kerbau itu dulunya masih budak penguasa hutan terlarang. Namun dikarenakan sikap tak mau tunduk dan sering melanggar hukum alam, sering kedapatan mencelakai manusia. Dia dihukum, saat hendak dimusnahkan berhasil meloloskan diri.
Pandangan Ni Dasah kosong, pikirannya kembali ke masa lampau nan suram sekaligus menyakitkan.
Ni Dasah bukan tidak tahu bila Ki Jaya dan istrinya menganut ilmu hitam, menyembah Iblis berkepala kerbau. Pasangan itulah yang menyelamatkan si Iblis, setelah mengalami luka parah nyaris musnah.
Mereka melakukan perjanjian jiwa menggunakan darah. Ki Jaya meminta imbalan kesaktian agar dirinya dipandang, diagungkan. Dan si iblis menuntut tumbal berupa darah perawan setiap malam satu suro.
Ki Jaya mencari sekutu yang haus kekuasaan dan harta, datanglah Bahri bersama sang istri, dan juga Sugeng.
Semenjak itu, kekayaan Bahri dan Sugeng bertambah pesat, kebun mereka kian meluas. Ada harta, ada pula harga yang wajib dibayar berupa darah gadis suci belum terjamah.
Ni Dasah tetap bungkam, tak peduli, selagi kehidupannya tak diusik. Namun dia kecolongan, bukan cuma diusik, para orang terkasihnya dieksekusi mati. Putri tercinta di perkosa, disiksa, jasadnya dibakar. Tak jauh berbeda dengan sang suami, dan dirinya sendiri nyaris mati kalau saja tak cepat melarikan diri.
Kini dia hanya memiliki satu tujuan hidup, ambisinya dengan sang putri sama, menuntut balas dendam kesumat, membunuh para manusia berhati iblis.
***
Keesokan harinya.
Lastri telah sampai di rumah besar nan luas, siap bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ia disambut sosok paruh baya, orang kepercayaannya nyonya Samini.
Sementara penghuni rumah belum terlihat batang hidungnya.
“Kau sapu bersih halaman belakang itu! Jangan sampai saya lihat masih ada sampah dedaunan!” Tunjuknya pada halaman sangat luas, ditumbuhi pohon tahunan.
“Baik, Bi!” Lastri mengangguk, membawa sapu lidi, serokan, dan keranjang besar terbuat dari anyaman bambu untuk tempat sampah.
Bi Ginem hanya sebentar mengawasi, lalu dia kembali masuk kedalam rumah, bersiap membuat sarapan pagi untuk sang nyonya.
Begitu sosok bertubuh tambun itu tidak lagi terlihat, Lastri membawa alat kebersihan, berjalan lebih jauh ke belakang. Dia sama sekali tidak menyangka kalau rumah Bahri sangat luas dan ada beberapa bangunan yang fungsinya tidak diketahuinya untuk apa.
‘Iblis bertanduk Kerbau, paling suka tempat gelap, lembab, minim pencahayaan, dan sirkulasi udara.’
Perkataan sang ibu terngiang-ngiang di kepalanya, ia mengedarkan pandangan. Sampai netranya tertuju pada bangunan tembok tinggi, beratap seng.
Sebelum sampai rumah juragan Bahri, Lastri terlebih dahulu menutup mata batinnya, dia tidak berani menggunakan keistimewaan itu disaat belum mengenal kawasan baru ini. Langkahnya terlihat tenang, tetapi napasnya mulai memburu, dan bulu halus di tangannya berdiri.
‘Aura mistis ini kuat, lekat, pekat.’ Seiring langkah kaki mendekati bangunan bercat merah darah, ia dapat merasakan suhu disekitarnya panas, pengap.
“Sedang apa kau disini?!”
.
.
Bersambung.
kasih vote aja biar double up
owh ya kok lurah Yusuf bisa ada disitu ya
apa karna dia punya indra ke6 tau Lastri ada masalah lgsg datang
semoga Lastri gak kenapa2 dan ni dasah DTG untuk membantu anaknya
mana nih kelanjutannya