Riski adalah pria yang problematik. banyak kegagalan yang ia alami. Ia kehilangan ingatannya di kota ini. Setiap hujan turun, pasti akan ada yang mati. Terdapat misteri dimana orang tuanya menghilang.
Ia bertemu seorang wanita yang membawanya ke sebuah petualangan misteri
Apakah Wanita itu cinta sejatinya? atau Riski akan menemukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Apakah ia menemukan orang tuanya?
Ia pintar dalam hal .....
Oke kita cari tahu sama-sama apakah ada yang mati saat hujan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Mata yang tak biasa
Siang hari yang terik menerangi kota yang terbiasa hujan ini. Riski dan kawan-kawan memutuskan untuk berlibur dari tempat kerja mereka. "Rizal, sekarang kita akan berangkat."
"Rizal saya kah yang di sebut? lalu kami bertiga ini hanya rumput yang bergoyang begitu? " Sinta yang sedari tadi mempersiapkan bekal, langsung melepaskan kesibukannya itu. Ia berjalan ke arah Riski yang sedang mempersiapkan peralatan mereka.
"Memang agak lain si Riski, coba sebut semua... Sinta, Bela, dan Amira ayo kita pergi. Jadi cowok kenapa tidak ada peka-pekanya kah." Bela menatap sinis ke arah Riski.
"Iya... Perkara sebut nama di permasalahkan juga.. huhh." Riski mengerutkan dahinya karena merasa aneh dengan sikap temannya yang agak lain. Sementara Rizal dan Amira hanya bisa tersenyum tipis melihat hal konyol mereka bertiga.
Matahari mulai meninggi di atas langit. Hanya bayangan awan yang membentang menutupi jalanan kota hujan itu. Mereka mulai berangkat dengan Riski sebagai sang pemandu jalan.
"Kita tidak tersesat kan? Masalahnya terakhir kita cari jalan, yang ada tersesat dan ujung-ujungnya dapat masalah. " Rizal menoleh ke arah Riski yang sedang mengendarai motornya saat mencari jalan.
"Tolong yah... jangan samakan Riski dan kamu. Terakhir kan kamu yang buat kita terkena masalah. Apa coba maksudnya, tiba -tiba balap. " Bela menoleh ke arah Rizal.
"Huss... Bela jangan lagi ungkit itu. Kita jalan saja yah... " Amira mengelus kepala Bela yang memprotes ke Rizal.
"Ini kalian... bertengkar terus kaya Tom dan Jerry. Kita lanjut saja." Sinta menoleh ke Riski mengharap kata 'iya' darinya." Kan Riski?"
"Iyah... Ini juga sudah dekat." Riski menggelengkan kepala melihat sikap temannya itu.
Tak lama mereka pun tiba. Di hadapan mereka terlihat sebuah toko tua. Dengan bangunan yang terlihat masih terawat. Toko yang tak besar, tak pula kecil. Terlihat juga beberapa tanaman liar yang menjalar di tiang toko itu menambah kesan antik yang khas. TOKO BUKU RITA. Tulisan itu menyambut kedatangan mereka. Sesekali terdengar suara burung gereja yang menghias siang yang terik.
"Akhirnya sampai juga. Dari tadi mengomel terus kalian ini huu... " Riski dan teman-temannya berhenti di halaman toko itu. Mereka memarkirkan kendaraan mereka, dan mulai berjalan menuju pintu toko.
"Keren sekali toko ini... kan Rizal?" Sinta dan bela memperhatikan sekeliling toko itu. Toko itu terpisah dari bangunan lain. Seolah waktu berhenti di sekitar toko, tanpa mengikuti suasana perkotaan yang tergerus oleh waktu.
Terlihat Amira yang terlihat tidak terlalu excited dengan hal itu. Ia hanya terdiam dan berjalan pelan tanpa komentar apa-apa. "Amira? Kamu kalau tidak nyaman sama kegiatan ini bilang saja yah." Riski berjalan mendekati Amira." Ah tidak begitu kok. Saya senang sebenarnya. Cuma sedikit spechlees saja karena suasana toko yang unik ini." Mata Amira terlihat menyipit ketika tersenyum tipis ke arah Riski.
Mereka pun berjalan masuk ke toko itu. Treekk... Suara engsel pintu tua seolah menyambut kedatangan mereka. Kicau burung gereja dan bau debu yang khas menghiasi ruang toko tua itu. Mata mereka terpana melihat toko antik itu. Bak di film fiksi tentang sihir. Kaca jendela yang terlihat berdebu seolah menjelaskan dalam bisunya, toko itu sudah lama tak terjamah tangan manusia. Setelah sepeninggalan nenek Rita, Riski tak sering kesini lagi. Yah nenek Rita adalah orang yang unik. Barang-barang terlihat rapi tersusun. Buku berdebu juga terlihat tersusun rapi di raknya sesuai. jenisnya masing-masing. Ada juga buku yang terletak rapi di atas meja kasir toko. Riski berjalan pelan. Matanya menyoroti seisi ruangan. Suasana ruangan itu membawa nuansa nostalgia. Terbayang di benaknya wajah nenek Rita saat dulu sering tertawa dan bercanda. Di depan matanya terlihat kursi kecil dan meja yang terbuat dari kayu jati. Bayangan saat dulu ketika ia duduk di kursi kecil itu dan di depannya ada nenek Rita yang sedang membacakan cerita untuk Riski. Teringat jelas suara lonceng di atas pintu masuk toko saat ada seorang pembeli datang dan nenek Rita menyambut hangat di iringi senyum manisnya. Riski tak berkata apa-apa, ia berjalan mendekati kursi itu. Tak terasa air matanya gugur perlahan. Senyuman itu memudar. "Nenek... " Tangannya menyentuh kursi itu. Ia hidup sendirian selama ini. Tak ada orang tua, tak ada lagi neneknya.
Melihat hal itu kawan-kawannya pun berjalan ke arah Riski. Meninggalkan kesibukan dan rasa penasaran mereka akan tempat itu.
"Sudah, pria tangguh itu tak boleh berlarut dalam kesedihan. Ada kami kok." Rizal membelai pelan pundak Riski. " Sinta juga ada untuk Riski." Sinta mencoba memeluk Riski.
"Ehhh apa ini... Tidak ada peluk-peluk. Kamu Sinta kenapa jadi sok imut yah." Bela menarik tangan Sinta sembari menatap sinis.
"Ahh kamu, kalau kamu yang sok imut boleh. Kenapa kalau aku yang mulai, malah kamu yang protes. Dasar cewe gatal. " Sinta menepis tangan Bela.
"Kalian berdua bisa tolong lihat kondisi... Ya tuhan seharusnya kalian tidak saya ajak kesini kalau begini model kalian. Rizal mencoba melerai mereka berdua.
"Makasih yahh teman-teman. Tidak apa-apa kok. " Riski menghapus air matanya.
Amira terlihat memperhatikan keseluruhan isi toko itu. Ia melihat-lihat buku yang di rak. Sesekali mengambil salah satu buku dan di baca sedikit -sedikit. Riski yang melihat itu pun langsung mendekati Amira. "Kamu tertarik dengan buku-buku yah, " wajah Riski menatap dalam ke arah Amira. "Ahh tidak juga kok. Aku hanya iseng-iseng lihat siapa tau ada barang yang bagus kan." Amira menatap pelan dan tersenyum tipis.
"Abis kita istirahat, aku dan Rizal mau ke atas loteng yah. Ada yang kami mau cari." ucap Riski sembari menatap ke arah Rizal.
Mata Rizal seperti menyadari arti tatapan Riski itu." Kami mau cari novel bajak laut dan komik di atas." Tanpa ragu Rizal mengiyakan maksud temannya itu.
"Oh iya, kami juga mau coba cari buku." Jawab Amira.
"Ihhhhh Sinta, Amira... Bunga tadi bagus sekali. Aku mau lihat dulu. Anggreknya cantik." Bela berteriak sembari menarik tangan Sinta dan Amira. Akhirnya mereka pun keluar toko untuk melihat bunga.
"Rizal ayo kita naik keatas." Riski mengajak Rizal naik ke atas loteng.
Loteng itu sangat berdebu. Terlihat dua buah ranjang yang terlihat berdebu. Riski berjalan ke arah jendela untuk membuka jendela agar bau pengap dan debu bisa keluar." Kita harus segera cari buku itu." Ucap Riski yang sedang menatap hiruk-pikuk kota yang penuh dengan kesibukannya. Rizal menatap Riski dengan tatapan yang penuh dengan kegelisahan. " Ada apa bro? Tingkahmu kenapa jadi terburu-buru begini."
"Semoga prediksiku salah. Tapi, ada yang mengikuti kita dan mengawasi." Rizal terdiam sejenak. Wajahnya tak menujukan senyum lagi.