Sebelum ada bintang, sebelum Bumi terbentuk, dia sudah ada.
Makhluk abadi tanpa nama, yang telah hidup melewati kelahiran galaksi dan kehancuran peradaban. Setelah miliaran tahun mengembara di jagat raya, ia memilih menetap di satu tempat kecil bernama Bumi — hanya untuk mengamati makhluk fana berkembang… lalu punah… lalu berkembang lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Li meng
Malam telah turun sempurna di vila Qinglong. Angin malam menyapu lembut halaman luas vila itu, menerbangkan dedaunan maple yang kering. Langit begitu jernih, bertabur bintang, namun suasana di ruang kerja lantai atas terasa berat dan hening, seolah waktu sendiri enggan bergerak.
Alex Chu duduk di kursi kulitnya, memandangi sebuah foto yang baru saja diambil diam-diam—gambar gelang yang melingkar di pergelangan tangan Shen Qingran. Matanya tajam, tapi kali ini bukan karena amarah atau kewaspadaan.
Melainkan karena rasa... kehilangan.
Pintu terbuka pelan. Gao Wen melangkah masuk, dengan map hitam di tangan. Ia memberi hormat, lalu meletakkan map di atas meja kaca di depan Alex. Namun Alex tidak segera menyentuhnya.
"Gelang itu... masih ada di tangannya?" tanya Alex dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
"Masih, Tuan Chu," jawab Gao Wen. "Ia bahkan terlihat sering menyentuhnya, seperti memiliki nilai emosional tersendiri."
Alex terdiam cukup lama, sebelum akhirnya berkata lirih, "Tentu saja..."
Ia memejamkan mata sesaat. Lalu tiba-tiba berdiri, membelakangi Gao Wen, menatap keluar jendela besar yang menghadap ke danau kecil di belakang vila.
Dalam diamnya, pikirannya menembus jauh ke masa lalu—ratusan tahun lalu, saat dunia belum sekompleks sekarang, dan Alex Chu masih menjadi sosok yang dipuja namun dijauhi karena ketakutannya orang-orang terhadapnya.
Di sanalah dia bertemu dengannya.
> Seorang anak kecil. Wajahnya polos, tubuhnya kurus kering, penuh luka.
Tapi matanya… memancarkan semangat hidup.
"Kau siapa?" tanya Alex saat itu.
Anak itu tidak menjawab. Hanya tersenyum, lalu diam-diam berjalan mengikuti di belakang Alex, bahkan ketika Alex berjalan jauh melintasi lembah, hutan, gunung, dan pertempuran.
Hari demi hari, bulan demi bulan.
Ia terus mengikutinya.
Tak pernah berbicara banyak, hanya memberi senyum dan sesekali menyodorkan makanan.
Alex, yang biasanya membunuh siapa pun yang mendekat, entah kenapa… membiarkannya.
Mungkin karena anak itu tak pernah meminta apapun.
Mungkin karena... ia sendiri kesepian.
Dan saat anak itu tumbuh remaja, lalu dewasa, ia menjadi satu-satunya orang yang tahu siapa Alex sebenarnya.
Ia tak takut.
Ia tahu Alex berbeda—dan ia tidak peduli.
"Aku membuatkan gelang ini untukmu," katanya saat itu, menyerahkan sebuah gelang dengan ukiran simbol aneh—simbol keberanian, dan kesetiaan abadi.
"Kau pakai saja. Kalau kau merasa kesepian, lihat gelang ini, dan kau tahu ada seseorang yang selalu bersamamu..."
Alex mengingatnya. Setiap ukiran, setiap guratan, adalah buatan tangan bocah itu sendiri. Meskipun kasar dan sederhana, gelang itu menjadi sesuatu yang tak ternilai bagi Alex. Karena itu adalah satu-satunya hadiah yang ia terima... dari seseorang yang tidak menginginkan kekuasaan, uang, atau perlindungan darinya.
Namun waktu tak bisa dilawan.
Alex tidak menua.
Tapi bocah itu... tumbuh menjadi lelaki tua yang renta.
Dan di ranjang terakhirnya, ia masih menggenggam tangan Alex dengan senyuman.
"Aku tahu suatu hari aku akan mati, dan kau akan tetap hidup...
Tapi aku tidak menyesal mengikuti kakak selama ini..."
"Terima kasih… karena membiarkan aku tetap di sisimu."
Alex menarik napas panjang.
Gelang itu... adalah milik anak itu.
Ia telah hilang sejak kematiannya. Alex tak pernah mencarinya, seolah memilih melupakan agar luka itu tidak terus menganga. Namun sekarang, setelah ratusan tahun berlalu...
Gelang itu muncul kembali. Di pergelangan tangan seorang wanita bernama Shen Qingran.
"Ini bukan kebetulan," gumam Alex dengan suara dalam dan dingin.
Gao Wen berdiri diam, tapi gelisah. Ia tahu, setiap kali Alex diam terlalu lama, itu berarti badai sedang terbentuk di dalam dirinya.
Alex memutar tubuhnya, menatap Gao Wen dengan mata yang kini dipenuhi makna tak terucap.
"Gelang itu buatan tangan seseorang yang pernah aku anggap… adik sendiri," katanya pelan.
Gao Wen terkejut, tapi tidak menyela.
"Dan sekarang, gelang itu muncul lagi. Bukan di museum. Bukan di pasar gelap. Tapi di tangan seorang wanita yang tidak tahu apapun tentangku."
Alex melangkah perlahan, jemarinya mengetuk ringan map hitam di meja.
"Terus awasi dia. Tapi jangan ganggu dia."
"Kalau dia masih menyimpan kenangan tentang pemilik gelang itu… aku akan tahu."
"Dan kalau tidak..."
Ia berhenti. Tatapannya kembali ke jendela, ke arah danau yang memantulkan bayangan bintang.
..
..
Alex menghela nafas dan memutuskan keluar, dengan mengendarai Buggati warna putih
.
Malam itu, langit di atas jalur pegunungan Pehunu diselimuti kabut tipis, diterangi oleh cahaya bulan yang hanya sesekali menembus awan. Jalanan berliku di daerah tersebut sudah lama dikenal sebagai tempat favorit bagi para penggila kecepatan. Tikungan-tikungan tajamnya, turunan curam, dan jalur sempit yang membelah lereng gunung membuat siapa pun yang ingin mencoba di sana harus punya nyali dan keterampilan yang bukan main.
Puluhan mobil sport dari berbagai merek terkenal terparkir di pinggir jalan. Deretan anak muda berambut funky, mengenakan jaket kulit dan celana sobek, berdiri mengelilingi mobil-mobil mereka. Sorak sorai terdengar setiap kali sebuah mobil menderu melewati tikungan.
Di antara mereka, seorang gadis berambut sebahu tampak menonjol. Dialah Li Meng — mahasiswi dari universitas managenen bisnis ternama di kota sebelah. Selain cantik dan modis, dia terkenal karena kemampuannya mengemudikan mobil sport miliknya, Porsche Cayman GT4 RS berwarna merah menyala. Dengan tubuh ramping dan tatapan penuh percaya diri, dia telah memenangkan banyak balapan liar di daerah pegunungan ini.
Malam ini, dia kembali turun ke arena, dan semua mata tertuju padanya.
"Li Meng! Kasih lihat skill-mu lagi malam ini!"
"Tantang siapa pun, kamu pasti menang!"
Gadis itu hanya tersenyum tipis, memasukkan rambutnya ke dalam helm dan melirik ke arah jalur pegunungan yang sudah mulai kosong. Mesin Porsche-nya meraung, menandakan dia siap berangkat.
"Lepaskan dia!"
Tiga... Dua... Satu!
Dengan hentakan, mobil Li Meng melesat. Roda belakang sedikit menyentuh kerikil dan membuang ke samping sebelum kembali stabil. Asap mengepul tipis saat ia masuk ke tikungan pertama dengan teknik drift halus.
Para penonton berteriak, sebagian mengangkat ponsel untuk merekam aksinya.
Namun, saat itu juga...
Sebuah cahaya putih terang datang dari arah bawah gunung.
Tiba-tiba...
GRRAAAAAAAAAAAAAAAR!!!
Raungan mesin brutal menggelegar dari arah bawah gunung.
Seolah ada binatang buas dilepas dari kandangnya.
Semua kepala menoleh ke sumber suara. Bahkan para pembalap yang sedang melaju refleks menengok ke kaca spion. Gadis cantik di Porsche GT3 RS yang memimpin balapan langsung menggenggam setir erat. Suara itu... bukan main-main.
“Apa itu suara V16?!” “Bukan... itu—itu Bugatti! Bugatti Divo!”
Cahaya putih menyilaukan muncul di balik kelokan bawah gunung.
SREEEEEENGGHH!!
Suara desing turbo dan tekanan rem keras terdengar saat mobil itu menyambar masuk ke tikungan — dengan stabilitas sempurna.
Bugatti putih metalik itu muncul seperti monster malam. Raungan mesinnya menghantam dada, membuat bulu kuduk merinding. Lampu depannya menyapu jalan, membelah kegelapan seperti sinar tajam pedang.
Dalam sekejap...
WUUUUUUSHH!!
Mobil itu menyalip semua pembalap satu per satu. Tidak ada keraguan, tidak ada manuver ragu — hanya garis presisi dan kecepatan mutlak. Gadis Porsche hanya sempat melihat sekilas wajah pengemudinya — dingin, tajam, tak berperasaan.
“Dia...” gumamnya, ngeri sekaligus terpukau.
“Itu bukan balapan. Itu perbedaan kasta.”
.
Semua penonton tercengang.
Beberapa mahasiswa dari universitas sekitar yang sengaja datang untuk menonton balapan malam itu, hanya bisa berdiri kaku. Gelas kopi dan botol minuman di tangan mereka terjatuh ke tanah tanpa mereka sadari.
"Bugatti... Itu Bugatti Divo! Gila! Mobil itu harganya lebih dari seratus juta RMB!"
"Siapa gila yang berani bawa mobil segitu ke pegunungan Pehunu?"
"Bukan cuma berani... dia nyetir kayak iblis."
Seorang pria berjaket kulit dan tato di lehernya, yang biasa menjadi juara balapan liar di wilayah itu, hanya menggeleng dengan wajah pucat.
"Dia nyalip tanpa keraguan. Posisi dia pas di titik terberbahaya, tikungan maut kilometer tujuh... satu kesalahan kecil, mobil itu bisa terbang ke jurang. Tapi dia... dia seperti udah pernah lewat seribu kali."
Di sisi lain, li meng yang mengendarai Porsche yang tadi memimpin, masih belum bisa memproses apa yang baru terjadi.
Tangannya masih menggenggam setir, tapi matanya kosong menatap jauh ke depan.
"Mobilku bertenaga 500 lebih HP. Aku bahkan sudah menggunakan semua teknik profesional. Tapi dia... menyalipku seolah aku diam di tempat."
Tak lama kemudian, dari puncak gunung, suara mesin Bugatti mulai menghilang, menyisakan gema samar. Tapi yang ditinggalkannya adalah ketakjuban dan keheningan aneh.
Tak seorang pun tahu siapa pengemudi itu.
Tapi semua merasakan satu hal yang sama...
Itu bukan pembalap biasa. Itu monster.