Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Keesokan harinya, suasana rumah sakit RKZ terasa lebih tenang dibanding hari sebelumnya. Sinar matahari pagi menembus tirai tipis jendela kamar rawat, menyapa lembut wajah Sri yang masih terbaring lemah namun sudah lebih bugar dari sebelumnya. Grilyanto duduk di samping ranjang, matanya sembab namun bahagia. Ia belum tidur sejak malam, menatap istrinya dengan kasih sayang yang mendalam.
Pagi itu, dokter datang dengan senyuman tenang. Ia memeriksa catatan medis Sri, mengecek tekanan darah dan menanyakan beberapa hal.
“Alhamdulillah, kondisi Ibu Sri stabil. Tidak ada masalah berarti. Hanya kelelahan fisik dan emosi. Kami sudah siapkan resep vitamin dan saran pola makan. Kalau tidak ada keluhan, Ibu Sri sudah bisa pulang hari ini.”
Mendengar kabar itu, Grilyanto langsung mengucap syukur. “Terima kasih, Dok. Terima kasih banyak.”
Sri tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah suaminya. “Maaf ya, Mas. Aku merepotkan…”
Grilyanto menggenggam tangan istrinya erat. “Jangan bilang begitu. Kamu bawa kabar paling indah buat hidupku.”
Sri menatapnya penuh haru. Dalam hati ia merasa lega sekaligus takut. Menjadi ibu untuk kedua kali—setelah sebelumnya gagal mempertahankan rumah tangga pertamanya—adalah sebuah tantangan besar baginya. Namun kali ini berbeda. Kali ini, ia merasa dicintai dan dihargai sepenuhnya.
Grilyanto membantu Sri berkemas. Ia mengambil jaket tipis milik istrinya, membantu memasangkan sandal, dan menggandengnya dengan penuh kelembutan saat keluar dari kamar. Sebelum pulang, ia mampir ke bagian farmasi untuk mengambil resep dokter, lalu memanggil becak langganan di depan rumah sakit.
Mereka kembali ke rumah kontrakan di Bumiarjo yang mungil dan bersahaja. Di sepanjang perjalanan, Sri menyandarkan kepala di bahu suaminya, merasakan getar lembut cinta yang membuatnya tenang. Sementara itu Grilyanto diam, namun pikirannya sibuk menyusun rencana-rencana baru. Dalam benaknya, ada tanggung jawab baru yang harus ia jaga: seorang anak yang akan lahir ke dunia.
Sesampainya di rumah, ia membantu Sri duduk di ruang tamu. “Kamu istirahat saja dulu ya, biar aku yang urus semuanya.”
Sri mengangguk pelan. Ia bersyukur punya suami seperti Grilyanto. Meski sederhana, pria itu penuh perhatian dan tanggung jawab.
Grilyanto kemudian merapikan kasur, menyapu lantai, bahkan mencuci piring sisa semalam. Hal-hal yang biasanya dilakukan Sri kini ia kerjakan sendiri. Meski belum terbiasa, ia melakukannya dengan penuh semangat. Dua hari ke depan, ia memutuskan untuk mengambil cuti demi menjaga istrinya yang tengah hamil.
Hari pertama cuti, Grilyanto bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah memastikan Sri masih tidur, ia ke pasar Wonokromo. Ia membeli bahan makanan: sayur bayam, telur, ikan bandeng, tempe, dan buah-buahan segar. Ia juga membeli bunga mawar satu ikat kecil dan menyelipkannya dalam kantong belanja. Satu hal kecil untuk membuat Sri tersenyum.
Saat kembali ke rumah, Sri sudah duduk di depan meja, terlihat lebih cerah. “Mas ke mana pagi-pagi?”
“Beli bahan makanan,” jawabnya sambil tersenyum, lalu menyerahkan bunga itu. “Buat calon ibu.”
Sri terharu. Ia memeluk Grilyanto erat. “Mas terlalu baik…”
“Bukan terlalu baik, tapi memang sudah seharusnya begitu,” jawab Grilyanto.
Hari itu, Grilyanto mencoba memasak. Ia mengingat-ingat bagaimana Sri biasanya memasak sayur bayam dengan jagung manis dan tumis tempe. Meski rasa masakannya jauh dari sempurna, Sri memakannya dengan senyum lebar.
“Sri, mulai hari ini kamu istirahat saja. Jangan terlalu banyak bergerak. Biar mas yang jaga rumah.”
Di malam harinya, setelah makan malam bersama dan membersihkan dapur, mereka duduk berdua di serambi rumah. Langit malam Bumiarjo tampak cerah. Bintang-bintang menghiasi langit seperti kilau harapan yang bertebaran.
“Kamu bahagia, Sri?” tanya Grilyanto sambil menatap langit.
Sri mengangguk pelan. “Sangat. Aku tidak pernah membayangkan akan merasakan ini lagi. Cinta yang tulus. Rumah yang penuh damai.”
Grilyanto merangkul istrinya. “Aku janji akan berjuang lebih keras. Aku ingin anak kita hidup nyaman. Tidak perlu mewah, tapi cukup dan bahagia.”
Sri memejamkan mata, mengukir janji itu dalam hatinya.
Hari kedua cuti, Grilyanto membantu mencuci pakaian, menyiram tanaman, dan bahkan mencoba membuat bubur kacang hijau yang Sri sukai. Ia sibuk sepanjang hari, tapi tidak sekalipun mengeluh. Justru, ia menikmati hari-harinya sebagai suami siaga.
Saat siang tiba, tetangga datang menengok. Bu Wati dan Bu Surti, dua tetangga dekat, membawa buah tangan dan mendoakan kehamilan Sri.
“Wah, seneng kami, Bu Sri. Semoga sehat terus ya, lancar sampai lahiran.”
Sri tersenyum malu-malu. Grilyanto menyuguhkan teh dan camilan sederhana. Obrolan hangat pun mengalir di ruang tamu kecil mereka, penuh tawa dan doa-doa baik.
Sore harinya, mereka berdua duduk di halaman depan, menikmati semilir angin.
“Mas, Heri bagaimana ya di pondok?” tanya Sri tiba-tiba.
“Kalau kamu sudah sehat benar, kita jenguk dia. Biar dia tahu kalau kita tetap sayang.”
Sri mengangguk pelan. “Aku cuma takut dia merasa dibuang…”
“Dia akan mengerti nanti. Sekarang yang penting kamu jaga kesehatan. Demi kamu. Demi calon adiknya Heri.”
Malam itu, sebelum tidur, Grilyanto memandangi wajah istrinya yang mulai tertidur. Ia membelai rambut Sri dan berkata pelan, seakan berbicara pada janin yang mulai tumbuh di rahim istrinya:
“Selamat datang ke dunia, Nak. Ayahmu akan menjagamu. Ibumu wanita yang hebat. Kami menantimu dengan cinta yang tak terbatas.”
Di luar jendela, malam Surabaya meredup perlahan, menyimpan segala harapan dan cinta yang tumbuh di rumah kecil itu—cinta yang sederhana, tapi sungguh luar biasa.
Halaman panjang – "Heri Kabur dari Pondok"
Malam di Bumiarjo baru saja merangkak masuk. Lampu gantung di ruang tamu berpendar kekuningan, membentuk bayangan lembut di dinding rumah kecil Grilyanto dan Sri. Aroma kayu manis dari teh hangat masih menguar dari meja rotan, sementara Sri tengah duduk bersandar di sofa tua sambil membaca buku doa ibu hamil. Grilyanto, yang baru saja selesai mencuci peralatan makan malam, berjalan pelan lalu duduk di samping istrinya.
Namun kedamaian malam itu terpecah oleh suara ketukan keras di pintu rumah.
Tok... tok... tok!
Suara itu tidak seperti biasanya. Bukan ketukan pelan dari tetangga yang ingin meminjam sendok atau memberi kabar tentang rapat RT. Ini lebih cepat, lebih keras, dan membawa getaran aneh dalam dada Sri.
Grilyanto segera berdiri. Ia membuka pintu dengan hati-hati.
Tampak seorang lelaki muda berdiri di depan rumah. Nafasnya tersengal. Bajunya basah oleh keringat, dan wajahnya tampak cemas. Ia adalah salah satu ustadz muda dari pondok tempat Heri belajar.
"Assalamu'alaikum… Maaf, Pak Grilyanto. Ini darurat."
Grilyanto mengangguk. "Wa’alaikumussalam. Ada apa, Mas?"
Ustadz muda itu menatapnya dengan ragu sejenak, lalu menundukkan kepala. “Heri, anak Ibu Sri… kabur dari pondok tadi sore, Pak.”
Sri yang mendengar dari dalam rumah langsung berdiri. Bukunya terjatuh ke lantai. “Apa?! Heri kabur? Kenapa?!”
Ustadz itu masuk dan duduk, mencoba menenangkan mereka.
“Sejak beberapa hari lalu, Heri tampak murung. Tidak banyak bicara. Hari ini, ketika jam mengaji selesai, dia tidak terlihat di asrama. Kami pikir dia ke kamar mandi atau mushola, tapi ternyata ia memanjat pagar belakang. Kami baru sadar saat apel sore.”
Sri menutup mulutnya, menahan tangis. “Ya Allah, Heri… dia pasti merasa aku tinggalkan.”
Grilyanto segera menenangkan istrinya. Ia menggenggam tangan Sri dengan kuat, lalu menoleh ke ustadz.
“Sudah dicari ke mana saja, Mas?”
“Kami sudah cari ke sekitar pondok, ke rumah teman-temannya, bahkan ke pasar belakang. Tapi belum ketemu, Pak. Mungkin dia mencoba kembali ke sini.”
Sri berdiri, air matanya jatuh. Ia mendekat ke jendela, berharap Heri tiba-tiba muncul dari balik gang kecil itu.
“Dia pasti kesepian. Merasa tidak dicintai. Aku ibunya… aku terlalu menekankan disiplin. Aku salah, Mas…”
Grilyanto memeluk Sri dari belakang. “Sri, ini bukan salah kamu. Kita lakukan ini karena kita ingin dia jadi anak baik. Tapi sekarang bukan waktunya menyalahkan diri sendiri. Kita cari dia.”
Grilyanto lalu menoleh pada ustadz. “Kami akan bantu mencarinya. Tapi kalau dia datang ke pondok atau terlihat di manapun, mohon langsung kabari saya.”
Ustadz itu mengangguk dan pamit setelah meninggalkan nomor kontak yang bisa dihubungi setiap saat.
Malam itu, Grilyanto tidak tidur. Ia mengeluarkan motornya dan berkeliling beberapa tempat yang dulu biasa didatangi Heri.
Ia bertanya ke warung kopi, ke lapangan bola kecil, bahkan ke gerbang sekolah lama Heri.
Sementara di rumah, Sri tidak berhenti berdoa. Ia duduk di sajadah, membacakan surat Yasin dan memohon agar anaknya ditemukan dalam keadaan selamat.
Pukul dua dini hari, Grilyanto kembali. Wajahnya letih, bajunya berdebu.
“Belum ketemu, Sri… Aku sudah muter sampai ke Tambaksari.”
Sri mengusap air matanya. Perasaan bersalah dan takut bercampur jadi satu.
Ia mencoba untuk tetap tenang, tapi hatinya berkecamuk. “Mas… aku ingin cari juga.”
Grilyanto menatap istrinya yang sedang hamil.
“Tidak, kamu harus jaga diri. Biar aku yang cari. Kalau kamu kenapa-kenapa, bagaimana dengan anak kita?”
Pagi harinya, setelah matahari mulai menampakkan wajahnya, suara sepeda bocah terdengar dari depan rumah.
“Bu… Pak Gril…!”
Ternyata itu Dani, anak tetangga sebelah. Nafasnya ngos-ngosan.
“Aku tadi lihat Heri di belakang terminal Joyoboyo. Dia duduk sendirian. Kayak orang bingung.”
Grilyanto langsung melompat dari kursi. “Sri, aku ke sana sekarang!”
Sri memegang lengan suaminya. “Bawa jaketnya, Mas. Dan sampaikan padanya, aku menyesal. Aku mau peluk dia…”
Grilyanto melesat ke arah terminal. Di sela tumpukan angkot dan kios makanan, ia akhirnya melihat seorang bocah duduk memeluk lutut di bawah pohon trembesi.
“Heri!”
Anak itu menoleh perlahan. Matanya sembab. Pipinya kotor oleh debu.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Grilyanto segera memeluk Heri. Anak itu tidak melawan. Pelukan mereka diam dan panjang. Udara pagi menyaksikan pertemuan yang menggetarkan hati itu.
“Ayo kita pulang, Nak. Ibumu nunggu di rumah. Dia sangat khawatir padamu.”
Heri menatap mata ayah tirinya itu dan akhirnya mengangguk perlahan. Di sepanjang perjalanan pulang, Grilyanto tidak menghakimi. Ia hanya bercerita—tentang kekhawatiran mereka, tentang cinta, tentang adik kecil yang sedang tumbuh di perut ibunya.
Sesampainya di rumah, Sri langsung memeluk anaknya.
“Maafkan Ibu, Heri. Ibu cuma ingin kamu jadi anak baik. Tapi Ibu salah cara…”
Heri menangis dan memeluk ibunya.
“Aku cuma pengin pulang, Bu…”
Grilyanto menatap keduanya dimana wanita yang ia cintai, anak yang kini mulai ia anggap sebagai darah daging sendiri dan dalam hati, ia bersumpah untuk tidak membiarkan perasaan terluka tumbuh dalam rumah kecil mereka.
Hari itu, mereka duduk bertiga di ruang makan. Sarapan nasi pecel terasa berbeda lebih hangat, lebih utuh. Sebuah keluarga kecil, penuh luka dan cinta, namun tak pernah menyerah untuk saling merawat.