Elang Dan Merpati

Kelas mereka sudah berakhir. Dan mereka sudah bersiap-siap untuk pulang. Dengan tidak tahu malunya Marbella masuk kedalam mobil Elang.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Elang dengan nada tidak senang.

"Mau nebeng, aku tidak bawa mobil. Please," Marbella menangkup kedua tangannya memohon.

Elang yang tidak ingin dekat dengan Marbella pun keluar dari mobil. "Jika kamu tidak keluar, aku akan kunci kamu didalam mobil!"

Marbella pun menurut dan akhirnya keluar. Elang pun mengunci mobilnya setelah Marbella keluar.

Dan dia naik ke motor Merpati dan memilih meninggalkan mobilnya di parkiran kampus. Marbella yang merasa gagal pun mengepalkan tangannya dan menghentakkan kakinya ke tanah.

"Makanya jadi cewek itu harus punya harga diri," ejek Darrel.

Marbella yang di ejek semakin marah, dan akhirnya ia menelepon supir untuk menjemputnya. Ia sengaja tidak membawa mobil sendiri. Karena ia berencana untuk nebeng dengan Elang.

Namun diluar ekspektasi, ternyata Elang lebih memilih meninggalkan mobilnya daripada harus satu mobil dengan Marbella.

"Kak, mengapa harus di tinggal sih mobilnya?" tanya Merpati.

"Biarkan saja dulu, nanti jika cewek itu sudah pergi, baru aku balik lagi kesana. Kita tunggu dulu disini," jawab Elang.

Mereka masih disekitar kampus dan duduk didekat penjual cilor pinggir jalan sambil menunggu Marbella pulang.

"Ribet amat, jika gak suka terus terang saja, apa susahnya sih?"

"Harus gimana lagi aku menunjukkan rasa tidak suka ku padanya?"

"Kak, cewek seperti itu tidak akan mempan jika tidak di tegaskan. Biasanya dia akan nekad."

"Jika dia bertindak lebih, baru aku juga bertindak. Gampang, kan?"

"Terserahmu lah, malas debat."

Keduanya pun membeli cilor yang di jual gerobak itu. Setelah lebih kurang satu jam, mereka kembali lagi ke parkiran kampus.

"Padahal tadi langsung bawa pulang juga tidak apa-apa, ini jadi ribet harus bolak-balik," gerutu Merpati.

"Sudah, nanti aku traktir boneka Doraemon."

"Siapa juga yang suka boneka?"

"Idih ... giliran Hansen yang memberi, langsung dipeluk bonekanya."

Merpati tidak menjawab, ia langsung pergi meninggalkan Elang. Elang pun masuk kedalam mobil dan menyusul Merpati.

.....

"Ini Paman, bagi-bagi ya," ucap Merpati pada penjaga gerbang. Merpati sengaja membeli banyak cilor untuk di berikan kepada penjaga dan yang lainnya.

"Terima kasih Nona muda, Nona muda sangat baik, persis seperti nyonya muda," ucap penjaga.

Ya begitulah Merpati, tidak segan-segan untuk berbagi makanan dan apapun jenisnya. Yang penting orang lain juga ikut merasakan nya.

"Oma!" Merpati langsung memeluk Ardina. Ardina hanya tersenyum dan mengelus rambut Merpati.

"Mama kemana, Oma?" tanya Elang.

"Mamamu ke rumah sakit dengan papamu, kata ingin menjenguk seseorang," jawab Ardina.

"Gawat, aku harus segera kesana," gumam Elang.

"Ehh ... El, ada apa? Kok buru-buru?" tanya Ardina, namun Elang tidak menggubris dan langsung keluar dari mansion.

"Kenapa kakakmu?" tanya Ardina.

Merpati hanya mengedikan bahunya dan berlari menaiki anak tangga. Merpati tahu jika kakaknya akan ke RS. Tapi ia seolah tidak tahu.

Elang keluar dari gerbang dan langsung ngebut menuju RS. Padahal tidak perlu terburu-buru. Toh orang tuanya juga sudah mengetahui semuanya tentang Purnama.

Sementara di RS ...

Purnama merasa terharu saat Abbey memperlakukan nya dengan sangat baik. Apalagi ia sudah lama tidak merasakan kasih sayang seorang ibu.

"Kenapa Tante begitu baik padaku?" tanya Purnama.

"Memang salah jika Tante baik sama kamu?"

Purnama menggeleng, namun ia tidak kuat untuk tidak menangis. Perlahan Abbey mengusap airmata Purnama.

Alvaro hanya tersenyum memperhatikan istrinya dan Purnama. Memang istrinya sangat baik pada siapapun, selama orang itu juga baik.

Tapi jika orang itu jahat, jangan harap dapat kebaikan dari Abbey. Dan sifat itu ternyata menurun pada Merpati.

"Sayang, kita sudah cukup lama disini, ayo kita pulang," ajak Alvaro.

Abbey pun pamit kepada Purnama, dan akan datang lagi besok-besok. Abbey tadi hanya ingin membawakan pakaian ganti untuk Purnama.

Pakaian yang ia beli kemarin di mall bersama Abbey. Dan alangkah senangnya Purnama mendapatkan pakaian bagus dan mahal.

Namun belum sempat Abbey dan Alvaro pergi, pintu ruangan pun terbuka. Terlihat Elang yang masih mengatur nafasnya karena berlari dari parkiran.

Bahkan ia sampai menaiki tangga karena lift di pakai untuk mengantar pasien ke lantai atas. Padahal lift tidak hanya satu.

Namun karena buru-buru, Elang memilih berlari menaiki tangga untuk ke lantai tiga.

"Ma, Pa!" panggil Elang dengan nafas ngos-ngosan.

"Kenapa kamu? Seperti dikejar setan," tanya Alvaro.

Elang tidak menjawab, namun malah bertanya, "Ma, mengapa Mama kemari?"

"Mama hanya menjenguk dia, sekalian membawa kan pakaian untuknya. Apa tidak boleh, hmmm?"

"Mama bisa menyuruh aku saja, agar Mama tidak perlu repot-repot," jawab Elang.

"Yuk sayang kita pulang, kita tinggalkan saja mereka berdua."

"Jaga dia baik-baik," pesan Abbey. Kemudian keduanya pun pergi dari situ.

"Mamaku bicara apa sama kamu?"

"Gak ada," jawab Purnama.

"Tapi itu, matamu sembab, pasti mama bicara yang tidak-tidak, kan?"

"Jangan Suudzon, apalagi beliau adalah orang tuamu," jawab Purnama.

"Bukan begitu, aku hanya tidak ingin mama bicara macam-macam yang membuat kamu tersinggung."

Purnama menggeleng. "Mamamu memperlakukan aku dengan sangat baik, aku jadi terharu dan tidak kuat untuk tidak menangis."

"Syukurlah kalau begitu."

Maafkan aku Ma, aku sudah berprasangka buruk," batin Elang.

"Kamu sudah makan?"

Purnama mengangguk. "Mamamu yang menyuapi aku tadi."

"Ya sudah, sekarang istirahat ya, aku akan jaga kamu sebentar."

"El, mengapa kamu begitu baik padaku?"

"Aku harus bertanggung jawab, karena aku, kamu menjadi seperti ini."

Purnama pun tidak bertanya lagi, perlahan-lahan ia memejamkan matanya dan tertidur.

Sementara Elang berpindah ke sofa dan membaringkan tubuhnya di sofa. Ia juga ingin istirahat siang.

Sementara didalam mobil ...

"Hubby, bagaimana menurutmu tentang gadis itu?"

"Yang pasti tidak sebaik kamu, sayang?"

"Maksudku bukan itu, bagaimana jika kita dekatkan gadis itu dengan El?"

"Aku tidak setuju sayang!"

Abbey mendelik. "Kenapa?"

"Kamu lupa anak kita seperti apa? Jika bukan pilihan nya sendiri mana mungkin ia mau. Kita ikuti saja apa keinginannya, bukan untuk mengikuti keinginan kita. Bukankah kita sudah berjanji untuk tidak memilih kan pasangan untuk mereka, melainkan mereka yang memilih sendiri?"

"Ya, tapi aku menyukai gadis itu."

"Sayang, jika kamu suka, belum tentu anak kita menyukainya. Jadi biarkan waktu yang menentukan kan. Ingat kita dulu tidak ada istilah jodoh menjodohkan. Intinya aku tidak setuju jika adanya perjodohan."

Abbey hanya tersenyum, ia hanya ingin mendengar pendapat dari suaminya. Suaminya orang bijak, sudah pasti bisa memberikan jawaban yang memuaskan.

Apalagi zaman mereka dulu, tidak ada istilah jodoh menjodohkan. Pacaran, merasa sama-sama cocok, lalu memutuskan untuk menikah.