Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Setelah Nara meminta Renata untuk bertanya pada Endra sendiri, gadis itu langsung masuk ke kamarnya. Ia tidak mau berlama-lama di luar dan menimbulkan keributan yang lebih besar. Ia hanya ingin menghindari konflik dan mencari ketenangan di dalam kamarnya.
Renata, dengan tatapan sinis dan penuh kecemburuan yang terpancar jelas dari sorot matanya, menatap Endra dengan tajam. Ia menyilangkan tangannya di dada, menunjukkan sikap tidak percaya dan penuh pertanyaan. “Kenapa bisa sama Nara? Apa kamu sengaja ke kantor sore-sore buat sekalian pulang sama dia?” Suaranya terdengar keras, menunjukkan ketidakpercayaan dan kemarahannya.
Endra, yang memang sedang frustrasi karena masalah di kantor, juga merasa kesal setelah melihat Nara dekat dengan lelaki lain, merasa lebih frustrasi lagi karena pertanyaan bernada tuduhan yang dilontarkan Renata. Ia menggeram dalam hati, seakan menahan amarah. “Aku capek, mau mandi dulu!” jawabnya dengan singkat, kasar, dan sama sekali tidak memberikan penjelasan, menunjukkan ketidaksukaannya pada pertanyaan Renata. Ia menghindari kontak mata dengan Renata, menunjukkan bahwa ia sedang tidak ingin berdebat atau memberikan penjelasan saat itu juga.
Jawaban itu jelas tidak memberikan kepuasaan, justru membuat Renata semakin marah. “Kak Endra, kamu belum jawab!” teriak Renata, suaranya bergetar karena campuran emosi marah, kecewa, dan cemburu. Air mata mulai mengembun di pelupuk matanya. Ia merasa dikhianati dan diabaikan oleh suaminya.
Mama, yang sedang duduk di sofa dekat kereta bayi cucunya, tersentak kaget mendengar teriakan Renata. Ia dengan cepat menatap Renata dengan wajah yang penuh kekhawatiran. “Renata, pelankan suaramu! Bayimu bisa bangun!” suaranya lembut, tetapi tetap terdengar tegas, menunjukkan keprihatinannya terhadap bayi yang sedang tertidur nyenyak.
Renata menatap ibunya dengan pilu, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa semua orang menolaknya, bahkan ibunya sendiri. Ia merasa terluka dan dikhianati.
Sebelum air mata Renata jatuh lebih banyak, Mama dengan cepat memberikan penjelasan. “Nara pulang diantar calon suaminya. Namanya Devan. Kebetulan saja suamimu datang waktu Devan pergi. Jadi, kamu nggak perlu salah paham!” Suaranya yang lembut dan menenangkan, mencoba untuk menghilangkan kesalahpahaman dan menenangkan hati juga pikiran Renata.
Mendengar penjelasan Mama, suasana menjadi sedikit lebih tenang. Air mata Renata masih mengalir, tetapi intensitasnya mulai berkurang.
Ada kelegaan di hati Renata, tetapi rasa cemas dan ketidakpercayaan masih tersisa. Walau bagaimanapun, Nara dan Endra sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Itu bukan waktu yang singkat. Kenangan masa lalu itu masih sangat kuat dan sulit untuk dihilangkan begitu saja.
“Harusnya aku nggak pulang ke sini, Ma,” gumam Renata, yang kini menjatuhkan tubuhnya kembali ke sofa, rasa kecewa dan ketidakberdayaan mengalir dalam suaranya.
Suara yang lemah dan penuh penyesalan. Ia merasa kesalahannya sendiri yang membuatnya terjebak dalam situasi yang sulit ini.
Kamu sendiri yang mau pulang ke sini, Renata!” balas Mama, suaranya agak tegas, tetapi tetap penuh dengan kasih sayang. “Lagi pula, Nara sudah mau menikah. Endra juga kelihatan sayang sekali sama bayinya. Nggak mungkin mereka menjalin hubungan di belakangmu!” Mama mencoba untuk memberikan perspektif yang lebih rasional dan menenangkan.
Renata mengusap wajahnya yang basah dengan punggung tangan, mencoba untuk menahan tangisannya. “Tapi dulu Kak Endra dan aku juga melakukannya di belakang Kak Nara, Ma. Dia pasti ingin membalasku!” Ia masih terobsesi dengan masa lalu dan merasa bahwa Nara ingin membalas perbuatannya.
“Hentikan pikiran konyolmu itu, dan urus suamimu! Jangan sampai ada perempuan lain yang mengurusnya!” Mama memberikan peringatan yang tegas dan langsung pada Renata, mengingatkannya untuk fokus pada hubungannya dengan Endra dan menghindari pikiran-pikiran negatif yang tidak berdasar.
**
Di kamarnya, Nara yang sudah selesai mandi membuka hadiah dari Devan. Ia dengan hati-hati membuka kotak karton yang dibungkus dengan kertas kado berwarna biru tua. Di dalamnya terdapat sebuah kotak berwarna hitam yang elegan, dengan logo merk fashion terkenal yang terukir dengan halus.
Dengan hati-hati, Nara membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat sebuah gaun yang terlipat dengan rapat.
Nara membaca pesan yang tertulis di kartu kecil di dalam kotak itu. Tulisan tangan yang rapi dan jelas, sepertinya ditulis langsung oleh Devan. “Aku mau kamu memakai ini di acara makan malam. Aku langsung teringat kamu saat melihatnya terpajang di butik. Semoga kamu menyukainya.” Kata-kata itu membuat Nara merasa tersentuh.
Nara menghela napas dan mengeluarkan gaun merah muda itu. Terlihat simpel, dengan potongan yang elegan dan modern, tetapi Nara yakin harga gaun itu tidak sesimpel tampilannya. Desainnya sangat sesuai dengan selera Nara, tetapi tidak cukup ramah untuk dompetnya.
Nara berdiri di depan kaca, menempelkan gaun itu tepat di depan tubuhnya. Tampak pas sekali dengan warna kulitnya. Ia memperhatikan detail desainnya dengan seksama. “Dia tahu betul apa yang pas denganku. Padahal, kami baru beberapa kali bertemu,” gumam Nara seraya menatap pantulan wajahnya di kaca dan tersenyum bahagia. Senyumnya menunjukkan kegembiraan dan sedikit keheranan.
Lalu, sebuah pikiran tiba-tiba terbesit di kepalanya. “Apa dia sangat memperhatikan seluruh tubuhku sampai paham betul ukuran bajuku?”Pertanyaan itu muncul dengan tiba-tiba, membuat Nara merasa sedikit tidak nyaman.
Kemudian, sepotong bayangan kembali muncul di kepalanya. Ia ingat momen saat ia mencium Devan dan tampak sangat menikmati momen malam itu. Kenangan itu muncul dengan jelas dan membuat Nara merasa sedikit malu dan tidak percaya diri.
Nara langsung menggelengkan kepala kuat-kuat, tidak mau mengingat peristiwa yang dianggapnya paling memalukan sepanjang ia hidup di dunia. “Nggak, itu hanya sepenggal bayangan. Nggak mungkin kalau cuma aku yang menyerang malam itu. Itu kan … pertama kalinya aku melakukan ….” Ia mencoba untuk menepis pikiran-pikiran negatif itu dan menenangkan dirinya.
Tiba-tiba, dari samping kamarnya terdengar suara pintu yang terbanting dengan keras. Suara itu membuat Nara terlonjak kaget. Ia menoleh ke arah pintu kamarnya yang tertutup dan mencerna apa yang terjadi.
Beberapa detik selanjutnya, Nara mencoba untuk bersikap biasa dan menenangkan diri. Ia tahu, di sebelah, adiknya mungkin sedang bertengkar dengan suaminya, alias mantan tunangan Nara sendiri. Suasana tegang dan tidak nyaman kembali menyelimuti Nara.
Di saat yang sama, Nara mendapat telepon dari Anya, sahabatnya. Nada dering ponselnya memecah kesunyian kamar. Ia menjawab panggilan itu dengan senyum kecil.
Karena ingin berbicara dengan lebih santai dan menikmati udara segar, Nara keluar ke balkon kamarnya. Angin malam yang sejuk membelai wajahnya sementara ia berbicara dengan Anya.
“Iya, Anya! Ada apa?” sapa Nara.
Anya dengan antusias langsung melontarkan pertanyaan yang terus membuatnya penasaran, “Gimana hubunganmu dengan Pak Devan?”
Nara, dengan bahagia menjawab, “Orang tuaku dan orang tuanya akan segera bertemu. Kami sudah merencanakan makan malam bersama minggu depan.” Suaranya bergetar karena kegembiraan. Ia merasakan bahwa hubungannya dengan Devan sedang berjalan dengan baik.
Di balik telepon, Anya tampak kegirangan. “Wah, seriusan? Aku ikut bahagia untukmu, Nara! Aku selalu berharap kamu bisa menikah dengan pria seperti Pak Devan. Yang ganteng, anak tunggal kaya raya. Yang pastinya lebih dari si Endra,” kata Anya dengan suara penuh semangat.
Nara juga mengharapkan hal yang sama. “Aku juga, Anya. Aku berharap semuanya berjalan lancar,” jawab Nara.
Lalu, dia menutup panggilan teleponnya, menaruh ponselnya dengan hati-hati di atas meja kecil di balkon. Ia menikmati kesunyian sejenak sebelum suara yang tidak ia harapkan memecah kesunyian itu.
Suara Endra terdengar dari arah balkon samping, suaranya datar tetapi juga tajam, menunjukkan ketidaksukaannya. “Sejak kapan kamu dekat dengan pria itu?” Pertanyaan itu diarahkan langsung kepada Nara, membuat Nara terkejut dan sedikit ketakutan. Kehadiran Endra yang tiba-tiba dan pertanyaan yang tajam itu menciptakan suasana tegang dan tidak nyaman.
***
Selamat pagi, happy weekend, mon maap othor sedikit sibuk, jadi nggak sempat nabok si Endra ☺️
kak semangat up nya,,klo bisa yg banyak up nya😁
udah dilarang bejerja di oerusahaan suami tapi tetap dilanggar