NovelToon NovelToon
Ragaku Milik Suamiku Tapi Hatiku Milik Dia

Ragaku Milik Suamiku Tapi Hatiku Milik Dia

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Duda / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Heni Rita

Cinta Devan atau biasa di panggil Dev. begitu membekas di hati Lintang Ayu, seorang gadis yang sangat Dev benci sekaligus cinta.

hingga cinta itu masih terpatri di hari Lintang meski dirinya sudah di nikahi seorang duda kaya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heni Rita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Devan Shock

Ayu dan Bi Warsih sibuk di dapur. Mereka berdua sudah mulai akrab, Ayu di ajarin masak nasi goreng kesukaan Herman.

"Ohya Bi. Bibi sudah lama kerja di sini?" Tanya Ayu sambil mengocok telur.

"Bibi mah udah hampir lima belas tahun Neng kerja sama Pak Herman. Dia itu orangnya baik sekali, gak pernah marah, ramah, murah senyum dan tidak sombong hehehe ..." terang Bi Warsih sambil terkekeh.

"Iya sih, suamiku memang orangnya baik," puji Ayu.

"Sayang nasibnya jelek Neng. Istrinya Bu Widia meninggal saat melahirkan anaknya."

"Iya Bi," jawab Ayu singkat.

"Neng tahu gak?"

"Tahu apa Bi?"

"Pak Herman sangat mencintai Ibu. Apa yang Bu Widia minta pasti di kasih, Pak Herman tidak pernah perhitungan sama istri. Makanya rejekinya banyak."

"Ohhh ..."

"Sejak di tinggal istrinya. Bapak sering menyendiri dan melamun di kamar. Kadang Bibi kasian lihat Bapak, meski ibunya sering menyarankan Bapak untuk menikah lagi, tapi Bapak selalu menolaknya. Tapi saat bertemu Neng Bapak langsung mau menikah dengan Neng, padahal banyak janda yang deketin Bapak waktu itu, tapi Bapak tidak pernah menanggapinya. Tapi sama Neng, Bapak langsung mau, berarti Bapak cinta banget sama Neng," terang Bi Warsih panjang lebar.

Ayu tersenyum kecil menanggapi ucapan Bi Warsih.

"Bibi senang, sekarang Bapak bisa menikah lagi. Apalagi Neng sekarang sedang hamil, jadi Non Salsa sebentar lagi punya adik," ucap Bi Warsih sambil melirik perut Ayu.

Reflek Ayu menghentikan kegiatan dari mengocok telur.

Ayu menghela nafas dalam-dalam, sendok yang di pakai untuk mengocok telur, jatuh begitu saja dari tangan Ayu.

"Neng?" Tegur Bi Warsih, heran melihat majikannya tiba- tiba termenung.

Ayu terkesiap, ia lantas mengambil sendok nya yang jatuh. Kemudian Ayu cepat menyelesaikan pekerjaannya.

"Bi. Bibi saja yang goreng telurnya ya? Ayu mau menyiapkan piring," ujar Ayu sambil berjalan cepat mengambil piring dari rak.

Kening Bi Warsih mengernyit melihat sikap Ayu. Istri majikannya itu tiba-tiba terlihat gugup dan raut wajahnya memucat, membuat hati Bi Warsih tidak enak.

"Maaf Neng. Bibi banyak bicara, gimana atuh Neng, Bibi mah da begini," ucap Bi Warsih canggung.

Ayu menghela nafas panjang. Tidak ada yang salah dengan ucapan Bi Warsih, hanya saja Ayu merasa malu pada dirinya sendiri, pelayannya itu tidak tahu, kalau janin yang ada dalam rahimnya bukanlah milik Herman suaminya.

"Ayu tidak apa- apa kok Bi," kata Ayu kikuk.

Bi Warsih lalu mendekati Ayu.

"Neng. Bibi mah suka sama Neng, karena Bibi salut sama Neng. Hanya Neng yang bisa membuat Pak Herman jatuh cinta hihihi ..." Bi Warsih mencoba menghibur Ayu biar suasana tidak tegang.

Ayu geleng- geleng kepala menanggapi ucapan Bi Warsih.

Tak lama kemudian, Herman muncul dengan wajah menunduk. Hal ini tentunya membuat degup jantung Ayu berdebar tak karuan. Sempat ragu saat tadi hendak membuat nasi goreng kesukaan suaminya.

"Bibi mau kemana?" Ayu menatap Bi Warsih yang membawa peralatan pel.

"Mau bersihin kamar Neng."

"Bibi bikinkan saja teh manis untuk kami berdua. Tapi kalau bibi mau gabung minum teh sama kita ya sekalian saja." Herman menyela.

Mendengar perintah majikannya yang aneh, Bi Warsih garuk-garuk kepala.

"Tidak Pak, Bibi mau bersihin kamar dulu. Silakan Bapak sarapan dulu sama Neng ..." ucap Bi Warsih.

Bi Warsih buru- buru pergi dari sana.

"Sudah buat nasi gorengnya?" Tatapan Herman kini beralih pada Ayu.

"Sudah Pak, ayo sarapan dulu."

Ayu menarik nafas lega, mudah- mudahan nasi goreng buatannya cocok di lidah suaminya.

"Terima kasih, ya, Dek."

Ayu mengangguk sungkan. Walau hatinya berdebar- debar, takut nasi gorengnya kurang enak. Karena baru kali ini, Ayu memasak nasi goreng, sewaktu masih gadis dulu. Ibunya lah yang suka membuat sarapan untuknya.

"Ayo Dek, makan bareng sama Bapak." Herman lalu menarik satu kursi makan untuk Ayu duduk.

"T-tidak Pak, Ayu tidak biasa makan pagi," tolak Ayu canggung.

Rahmat kemudian menuntun tangan Ayu, lalu mendudukkan Ayu di kursi.

"Eh, Pak gak usah," ucap Ayu gelagapan.

"Duduk, biar sarapan bareng Bapak ya?" Herman memaksa. Membuat Ayu salah tingkah.

Tak lama, Bi Warsih datang membawa dua cangkir teh manis.

"Makasih ya Bi," kata Herman.

Setelah menyimpan teh manis di atas meja makan, Bi Warsih pergi lagi menuju kamar Ayu.

"Bapak masih belum percaya kalau hari ini, Dek Ayu mau menyiapkan sarapan untuk Bapak."

Ayu menarik nafas dalam, berusaha tersenyum walau hatinya merasa getir.

Jujur, Ayu melakukan itu semua karena rasa bersalahnya, bukan karena ia mencintai suaminya. Ayu menghormat Herman karena pria dewasa ini seperti sosok ayah bagi Ayu.

Ayu merasa asing dengan suaminya sendiri.

****

"Eh Mae, Bibi heran sama istri baru Bapak."

Maesaroh menatap heran wajah Bi Warsih yang tiba- tiba sudah berdiri di dekatnya.

"Kenapa emang?" Tanya Maesaroh sambil menyirami tanaman hias.

"Majikan kita kan baru satu bulan menikah, tapi si Neng kok sudah hamil lagi ya?"

"Berarti punya Bapak tokcer hahaha ..." Seloroh Maesaroh sambil tertawa ngakak.

"Tapi setahu Bibi, satu bulan nikah langsung hamil, pasti sebelum nikah udah di tembak ya hehehe ..." Bi Warsih tertawa kecil.

"Ssttt ...ngomongnya jangan keras- keras Bi. Nanti Bapak dengar!" Maesaroh menyilang kan telunjuknya di bibir.

"Biasa Bi, sebelum nikah harus di tes keperawanan dulu hehehe ..." Maesaroh terkekeh.

"Tapi, Bapak bukan tipe lelaki seperti itu Mae!"

Maesaroh menatap Bi Warsih.

"Bi Warsih ini, dasar pikun!"

"Pikun? Enak saja!"

"Bapak menduda lima tahun, ketemu perawan cantik masih muda lagi. Pasti syahwatnya tinggi hahaha ..."

Bi Warsih balik menatap Maesaroh.

"Dasar! Ayo kerja!"

Bi Warsih buru- buru pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.

****

Sesampainya di kantor. Devan disuguhkan pekerjaan yang menumpuk di meja kerjanya. Cepat Devan menyelesaikannya. Sementara karyawan lain yang satu ruangan dengannya saling bisik seperti membicarakan sesuatu. Entah apa itu. Devan menanggapinya dengan senyuman tipis. Mungkin karena kejadian kemarin saat dirinya pergi berdua dengan Nabila saat jam kantor usai. Pikir Devan.

Pagi itu Devan fokus menyelesaikan semua pekerjaannya. Istirahat nanti. Dia akan menyempatkan waktu nya untuk keluar sebentar membeli Handphone untuk adiknya Rani.

Tadi pagi, Rani mengeluh kalau Handphone nya nge blank karena jatuh ke air.

Pak Bowo baru tiba, dia langsung menyapa ramah pada Devan

"Pak Dev, nanti sore sebelum pulang, temui saya di kantor, ya. Ada yang ingin saya bicarakan," katanya sambil menepuk bahu Devan dan berlalu pergi begitu saja.

Devan mengangguk pelan seraya mengernyitkan kedua keningnya.

Ada urusan apa Pak Bowo menyuruhnya datang ke ruangannya. Bukankah berkas pekerjaan sudah ia serahkan kemarin?

Devan menghembus nafas kasar. Perasaan tegang mulai menyelimutinya. Dikarenakan kejadian kemarin bersama Nabila. Devan takut jika gadis nakal itu berbuat ulah lagi. Dan mengadu yang tidak- tidak pada ayahnya, Bapak Bowo.

Tepat pukul dua belas siang. Jam istirahat kantor tiba. Seperti biasa para karyawan berhamburan keluar ruangan untuk makan siang sambil melaksanakan sholat dhuhur. Kantor tempat Devan bekerja sebenarnya menyediakan kantin untuk semua karyawan yang mau makan siang di sana. Hanya saja menu yang disediakan itu- itu saja. Membuat karyawan bosan dan akhirnya ada sebagian yang mencari makanan di luar.

Begitupun dengan Devan. Siang itu, Devan bergegas keluar kantor untuk mencari toko handphone terdekat.

Kebetulan kantor tempatnya bekerja berada di pusat kota. Jadi bukan hal sulit baginya menemukan beberapa toko yang khusus menyediakan berbagai macam merk handphone.

Devan menghentikan motornya tepat di toko Samsung yang terbesar di kota Bandung.

Beberapa karyawan langsung menyambutnya sambil menawarkan barang dagangannya.

"Tolong saya minta handphone keluaran terbaru, ya," kata Devan sambil mengamati satu persatu handphone yang ada di dalam etalase.

"Ini Tuan. Oppo Reno, ini terbaru dan canggih," terang salah satu pegawai toko itu sambil membuka bungkusan yang berisi handphone warna silver.

"Berapa ini harganya?" tanya Devan. Diambilnya handphone yang tengah di pegang pegawai toko tersebut kemudian Devan mengamati benda pipih itu dengan teliti.

"Lima juta tuan. Kalau mau, kami kurangi lima puluh ribu," katanya sambil menampilkan senyum ramah pada Devan.

"Baiklah, saya ambil ini. Tolong bungkus yang rapih, ya? Ini buat hadiah."

Devan kemudian mengambil kartu debit dari dompetnya lalu menyerahkan kepada pegawai toko itu.

"Baik tuan." Kemudian pegawai itu membungkusnya dengan rapih.

"Ohiya tuan. Apa mau dikasih nama?"

"Ya. Tulis. Teruntuk yang tersayang Ayu."

Devan tidak sadar, seharusnya ia menyebutkan nama Rani pada pegawai toko itu.

Sebuah handphone merk Oppo Reno sudah Devan beli untuk adiknya.

Terbayang reaksi adiknya, kalau dia memperlihatkan benda pipih itu pada adik kesayangannya.

Bungkusan berbentuk kotak berisi benda pipih dipegangnya erat.

Devan kembali ke kantor.

Setelah tiba di kantor. Cepat Devan menyimpan bungkusan itu di laci meja kerjanya.

Tidak terasa, jam sudah bergerak menunjuk pukul setengah lima sore. Sebelum pulang Devan beranjak menemui Pak Bowo di ruang kerjanya.

Berjalan tergesa menuju ruangan yang berada di ujung ruangan, Devan mempercepat langkahnya agar semua urusannya dengan Pak Bowo selesai. Entah apa yang ingin di bicarakan pria botak yang perutnya buncit itu. Membuat Devan penasaran.

"Sore Pak," sapa Devan menunduk lalu duduk di hadapannya.

"Ayo Pak. Jangan sungkan, anggap saja Bapak ini ayahmu, hahaha ... " Pak Bowo tertawa lebar tak seperti biasanya. Membuat Devan sedikit heran.

Devan menghela nafas panjang sambil menelan ludahnya.

"Ya Pak. Kalau boleh saya tahu. Ada apa Bapak manggil saya kesini?" tanya Devan penasaran.

"Begini Pak. Bapak tahu sendiri kan. Saya begitu mencintai putri saya Nabila" jawabnya menaikkan sedikit alisnya dengan wajah serius.

"Gawat! Pasti gadis sialan itu mengadukan kejadian semalam sama ayahnya," pikir Devan geram.

"Bapak pasti senang mendengar kabar ini." Pak Bowo kemudian berdiri dan berjalan perlahan mendekati Devan.

"Hah! Kabar apa Pak?" tanya Devan semakin bingung mendengar ucapan Pak Bowo.

"Bapak ingin menjadikanmu sebagai menantu ku, bagaimana?" Ujar Pak Bowo sambil memegang kedua bahu Devan dari belakang.

Sontak Devan kaget setengah mati.

"Pak Dev. Bapak ingin berterus terang sama Bapak," ucapnya. Kemudian Pak Bowo bergerak menuju kursinya dan duduk sambil melipat kedua tangannya di atas meja kerjanya.

Sekarang wajah Pak Bowo berubah pucat.

Devan duduk menegang dengan perasaan tak menentu.

"Saya hanya punya satu putri. Apapun akan kulakukan demi kebahagiannya. Bahkan saya rela menyerahkan nyawaku untuknya."

Devan menunduk dan memutar kedua bola matanya dengan perasaan tegang dan cemas. Kedua tangannya meremas bagian sisi kursi yang tengah didudukinya. Dadanya mulai sesak membayangkan apa yang ingin di katakan Pak Bowo.

Keringat dingin mulai menitik di dahi Devan. Pikiran buruk langsung menyerang otak Devan.

"Pak ... Putri saya Nabila sangat menyukaimu, dan dia ingin menikah denganmu," ungkap Pak Bowo dengan mata sendu menatap wajah Devan penuh pengharapan.

Sigap Devan langsung berdiri.

"Tapi pak. Saya belum siap untuk berumah tangga!" Tegas Devan.

Seketika perkataan Devan membuat Pak Bowo membelalak.

"Aku mohon Pak." Pak Bowo tiba- tiba bangkit lalu berjalan cepat mendekati Devan dan berlutut di kaki Devan sambil menangis terisak.

Sontak saja aksi Pak Bowo membuat Devan shock.

"Pak. Apa yang bapak lakukan?" teriak Devan tak percaya dengan apa yang dilakukan atasannya.

Pak Bowo terlihat semakin menyedihkan. Membuat Devan binggung harus berkata apa.

"Putriku hamil."

"A-apa?" Mata Devan melotot.

Lagi- lagi ucapan Pak Bowo bagai letusan bom yang berdentum keras di atas kepala Devan. Membuat tubuh Devan terhuyung dan mundur beberapa langkah ke belakang.

Devan meremas kasar rambutnya. Tak menduga gadis yang memaksanya melakukan hubungan intim saat di hotel dulu, ternyata tengah berbadan dua.

"Tolong saya Pak. Saya akan berikan uang berapapun yang Bapak mau. Asal nikahi putriku. Saya tidak mau menanggung malu. Apa kata saudara Bapak nanti. Kehormatan saya sedang dipertaruhkan." Pak Bowo kembali berlutut dan memohon pada Devan.

Devan menggeleng beberapa kali dengan wajah pucat. Tangan kanannya memegang dadanya menahan sesak di dada. Tak mungkin ia mengabulkan permintaannya.

Sedang dirinya merasa jijik pada gadis liar itu.

Devan berkali- kali membuang nafas nya dalam- dalam.

Devan merasa telah di jebak oleh gadis murahan itu.

Tapi kini, di kakinya, seorang pria yang banyak berjasa dalam hidupnya. Bersimpuh dan memohon dengan penuh pengharapan meminta sesuatu yang tidak bisa Devan berikan. Bagaimana mungkin dia harus bertanggung jawab menikahi putrinya yang tengah hamil untuk dijadikannya istri. Dan siapa sebenarnya lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas kehamilan Nabila.

1
Abel_alone
tetap semangat 🌹🌹🌹🌹
Luna Sani: Terima kasih kak ..🙏😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!