[REVISI]
.
.
.
Akibat masyarakat yang memiliki tradisi kolot, mereka terpaksa melakukan pernikahan di bawah tangan hanya karena berteduh dari hujan disebuah pos kampling. Dua orang yang tidak saling mengenal itu diikat dalam ikatan yang sakral secara tiba-tiba.
Qiana Nadhifa, gadis yang dikenal pendiam dan jarang keluar rumah itu pun seketika menjadi hujatan masyarakat. Tidak ada yang mempercayainya, bahkan Ibunya sendiri memojokkannya sehingga ia menikah dengan laki-laki yang tidak dikenalnya.
"Kamu istriku. Aku akan menerima kekurangan mu dan terimalah kekurangan ku sebagai seorang suami." Abhaya Chandra.
Apakah pernikahan keduanya berujung keberkahan Allah? Bagaimana keduanya bersatu dengan perbedaan dan masa lalu mereka?
Author Note: Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, tokoh dan setting cerita, semua murni kebetulan. Semoga pembaca suka dengan karya keempat saya...
Terimakasih atas dukungannya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Tanpa Suami
[REVISI]
.
.
.
Pagi ini Qiana bangun dengan tubuh yang segar setelah 2 hari lamanya ia sakit. Chandra yang sudah sampai di tempat kerjanya sering menelepon untuk memastikan keadaan istri kecilnya. Ia bahkan meminta Qiana untuk periksa ulang untuk memastikan kesembuhannya.
Pagi itu juga bertepatan dengan dirinya yang sudah selesai masa tamu bulanan. Segera ia membersihkan diri dan melaksanakan sholat subuh sebelum ia melakukan kegiatannya, yaitu bersih-bersih. Karena selama 2 hari ini ia hanya berkutat di kamarnya.
Ia memulai kegiatannya dengan mencuci pakaian kotor dirinya dan sang suami yang sudah menumpuk di kamar mandi. Kemudian ia lanjut mengeringkan di luar dan menjemurnya. Ia pun membersihkan area rumah dengan menyapu dan mengepel. Ia juga membersihkan bekas pengerjaan dapur yang sudah selesai.
Setelah semuanya selesai, Qiana berniat beralih membersihkan teras, tetapi ternyata Mamak baru saja menyelesaikan menyapu daun kering dan membakarnya. Qiana menemani Mamak yang masih membakar sampah.
“Tonggo-tonggo lagi podo ribut, Na.” Kata Mamak sambil memastikan api tidak membesar.
(Para tetangga baru pada heboh, Na.)
“Wonten tiyang ewuh nopo, Mak?”
(Apa ada orang punya acara, Mak?)
“Ora, podo ngomongno awakmu. Ngomong nek awakmu iki loro goro-goro keselen wayah bengi.” Meskipun Mamak tidak mengatakannya secara gamblang, Qiana mengerti maksudnya.
(Tidak, mereka membicarakan kamu. Katanya kamu sakit gara-gara kelelahan di malam hari.)
“Ngapuntene, Mak. Kulo damel Mamak lingsem.” Qiana menundukkan kepalanya.
(Maaf, Mak. Saya membuat Mamak malu.)
“Ora usah dirungokne! Ben ae kono, bener orane sek penting awakmu sehat. Aku ora arep ngurusi leh mu omah-omah.” Kata Mamak menenangkan Qiana.
(Tidak usah didengarkan! Biarkan saja, benar atau tidak yang terpenting kamu sehat. Mamak tidak akan ikut campur masalah rumah tanggamu.)
Qiana yang sedari dulu sering mendengar jika ibu mertua itu sinis, tidak mau saingan dengan menantu, merasa memiliki suami di atas menantu, membuatnya berpikir jika tidak semua ibu mertua seperti itu. Nyatanya Mamak menerima dirinya dengan lapang dada dan memperlakukannya dengan baik beberapa hari ini. Bahkan saat ia sakit, Mamak yang memenuhi asupan makannya dan selalu menanyakan keadaannya. Cukup lama mertua dan menantu tersebut berbincang tentang banyak hal, hingga Mamak mengatakan jika beliau ada janji dengan ibu-ibu yang lain untuk melakukan senam di balai desa.
“Aku mangkat senam disik, Na. Awakmu nek ora betah ning omah iso jalan-jalan nganggo motor.” Kata Mamak sebelum meninggalkan Qiana.
“Boten, Mak. Kulo teng griyo mawon.”
“Pateni genine yen wes bar bakar sampahe!”
“Nggih, Mak. Njenengan atos-atos wonten ing margi, Mak.”
(Iya, Mak. Mamak hati-hati di jalan.)
“Ojo lali mengko pesenane Bhaya diterne.” Qiana menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
(Jangan lupa nanti pesanan Bhaya diantar.)
Mamak sudah berangkat menuju balai desa dengan menggunakan sepeda. Rumah 3 pintu itupun seketika sepi, karena menurut keterangan Mamak, kedua kakak iparnya sedang menghadiri pengajian yang diadakan di Kotagede. Qiana yang hanya sendirian di rumah pun memutuskan untuk sarapan, karena waktu sudah menunjukkan pukul 07.00.
Mamak memasak telur dadar dengan irisan bawang merah, bawang putih dan cabai, tumis tahu dan buncis, juga sayur santan. Qiana memilih makan dengan sayur santan beserta lauk kerupuk. Tetapi sebelum makan, Qiana membuka isi kulkas untuk mencari cabai, ia ingin membuat sambal terlebih dahulu.
Selesai makan, Qiana kembali ke kamarnya untuk melihat apakah sang suami menghubunginya yang ternyata benar adanya. Ada 2 panggilan tak terjawab dari Chandra dan kakaknya. Terlebih dulu Qiana mengirimkan pesan kepada Chandra dan mengatakan jika dirinya tadi sedang di halaman bersama Mamak karena jam seperti ini suaminya sudah ada di tempat kerja. Kemudian ia menghubungi sang kakak.
"Bagaimana pernikahan mu?" tanya sang kakak, Ainun setelah mendengar jawaban salam dari Qiana.
"Baik Mbak, Mamak dan Bapak baik."
"Suami kamu bagaimana? Mbak belum ada bicara sama dia."
Qiana menceritakan bagaimana perlakuan sang suami dan bagaimana perhatian yang diberikan kepadanya. Ainun merasa lega mendengar pernyataan sang adik. Ia yang selama ini jauh dengan sang adik menjalani kehidupan rumah tangganya yang tentunya tidak baik-baik saja, berharap adiknya akan menemukan kebahagiaan. Walaupun jalan yang adiknya tempuh tidak selayaknya, ia mendoakan yang terbaik untuk Qiana. Ia tidak bisa berbuat banyak dengan keadaannya sekarang.
“Kapan-kapan kalau ada waktu suruh suamimu berkunjung. Rumahku dekat dengan Bandara Syamsudin Noor!”
“Iya, Mbak. Nanti aku sampaikan.”
"Kamu sudah goal, Na?" tanya Ainun tiba-tiba.
“Goal apa maksudnya, Mbak?” Qiana yang tidak memahami maksud dari sang kakak.
"HB, Na." Qiana terkejut dengan pertanyaan sang kakak.
“Belum, Mbak. Aku masih belum bisa menjadi istri sepenuhnya, Mbak. Sentuhan Mas Chandra masih membuatku takut, bahkan aku sempat sakit kemarin karena aku memaksakan diri.” Jelas Qiana.
Ainun tidak terkejut dengan cerita Qiana, karena ia sudah menduga hal tersebut akan terjadi. Ia tahu adiknya masih trauma dengan kejadian yang pernah menimpanya, maka dari itu Ainun menanyakannya untuk memastikan.
"Pelan-pelan, Na. Kamu tidak mau ke psikiater, jadi kamu harus berusaha sendiri menghilangkan trauma itu. Atau minimal kamu bisa menguranginya dengan membiasakan diri dengan suamimu." pesan Ainun yang kemudian menyudahi teleponnya karena anaknya sedang rewel.
Qiana hanya diam setelah menjawab salam sang kakak. Tanpa kakaknya katakan, ia pun tahu harus bagaimana. Sejak dulu sang kakak memang menyuruhnya untuk pergi ke psikiater untuk mengobati traumanya, tetapi Qiana tidak mau dengan alasan ia tidak mau dianggap gila. Padahal alasannya sebenarnya adalah malu untuk menceritakannya kepada orang lain. Ia ingin menyimpan lukanya sendiri. Sampai sekarang pun kejadian yang sebenarnya hanya ia dan Allah yang tahu. Kakaknya hanya sebatas tahu jika dirinya pernah dilecehkan.
"Apakah aku perlu ke psikiater?" gumam Qiana bimbang.
Tak berapa lama, ada pesan balasan masuk dari Chandra yang mengatakan jika dirinya akan berangkat bekerja di site logging. Kemungkinan ia tidak akan bisa dihubungi beberapa waktu karena area logging masuk di pedalaman hutan yang susah sinyal. Ia meminta Qiana untuk bersabar menunggu kabar darinya. Ia juga mengatakan jika ia sebenarnya ingin menelepon Qiana, tetapi ia tidak bisa karena sekarang ini ia sedang bersama rekan dan mandornya.
Qiana membalas sang suami, mengatakan jika ia akan menunggu kabarnya dan meminta Chandra untuk berhati-hati dalam perjalanan dan pekerjaannya. Chandra membalasnya dengan stiker "siap" dan "peluk cium". Qiana membalasnya dengan stiker hati, tetapi tidak ada tanda centang biru di sana yang artinya Chandra sudah tidak lagi aktif dalam aplikasi perpesanan tersebut.
"Ya Allah, lindungi suami hamba dimana pun ia berada dan mudahkanlah jalannya." doa Qiana.
Ia yang baru menyesuaikan diri beberapa hari dengan sang suami dan sekarang ia merasakan tanpa suami membuatnya merasa sendirian dan sepi. Ia pun mulai menyibukkan diri dengan laptopnya untuk membunuh kesepiannya tanpa sang suami. Ia mencari informasi terkait trauma yang ia alami, ia menemukan beberapa cara yang bisa ia lakukan sendiri di antaranya: terbuka dengan orang terdekat, mulai menerima keadaan, mencintai diri sendiri, dan selalu berpikir positif. Mungkin ia bisa menerapkannya selama ia menunggu sang suami agar ia bisa memenuhi kewajibannya.