Dua tahun Sitha dan Danu berpacaran sebelum akhirnya pertunangan itu berlangsung. Banyak yang berkata status mereka lah yang menghubungkan dua sejoli itu, tapi Sitha tidak masalah karena Danu mencintainya.
Namun, apakah cinta dan status cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan?
Mungkin dari awal Sitha sudah salah karena malam itu, pengkhianatan sang tunangan berlangsung di depan matanya. Saat itu, Sitha paham cinta dan status tidak cukup.
Komitmen dan ketulusan adalah fondasi terkuat dari sebuah hubungan dan Dharma, seorang pria biasalah yang mengajarkannya.
Akankah takdir akhirnya menyatukan sepasang pria dan wanita berbeda kasta ini? Antara harkat martabat dan kebahagiaan, bolehkah Sitha bebas memilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kirana Pramudya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keculasan Ambar
Dari pamedan Mangkunegaran, sekarang mereka meninggalkan arena pertunjukan. Dharma sudah tidak sungkan jika berjalan di sisi Sitha. Demikian juga Sitha yang memang bersikap wajar, dia adalah gadis ayu yang sikapnya sebenarnya halus. Hanya saja ketika menghadapi Danu dan Ambar beberapa hari lalu, Sitha terlihat begitu tegas.
"Kalau makan malam dulu, sempat enggak Dek? Kemalaman enggak?" tanya Dharma sekarang.
"Boleh aja kok. Masih jam segini. Mas Dharma mau makan di mana?"
"Kamu bisanya makan apa? Ada jenis makanan khusus yang tidak bisa kamu makan enggak?" tanya Dharma.
Sitha malahan tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Aku bisa makan semuanya. Aku bukan putri keraton yang tidak boleh makan ini dan itu. Aku juga sama seperti kamu kok, Mas. Apa saja mau," balasnya.
"Seriusan?" tanya Dharma.
"Cuma kalau sayur Pare aku memang tidak suka, Mas. Pahit banget soalnya," jawab Sitha.
"Oh, kan tidak mungkin aku mengajakmu makan sayur Pare, Dek."
Dharma memperhatikan sekelilingnya, dan melihat di arah Ngarsopura terdapat beberapa kafe bahkan ada kafe dengan konsep Angkringan. Dharma menunjuk tempat itu.
"Ke Kula Nuwun kafe mau?"
"Boleh," jawab Sitha.
Mereka harus keluar dari area Pamedhan Mangkunegaran, lalu menyebrang jalan utama. Kula Nuwun Kafe itu tepat berada di depan Puro Mangkunegaran. Saat menyebarang, Dharma pun berusaha melindungi Sitha. Pria itu menggerakkan tangannya dan berupaya Sitha bisa menyebrang dengan aman. Sebenarnya ingin hatinya menggandeng tangan Sitha, tapi Dharma mengurungkannya. Dharma ingin bahwa Sitha tak menyukai pria yang modus.
"Duduk di mana?" tanya Sitha kemudian.
"Di mana aja tidak apa-apa kok."
Sitha akhirnya memilih tempat yang dekat dengan jendela dan mengarah ke sisi jalan. Di dalam kafe dengan nuansa Jawa terdapat live musik Keroncong. Dharma kemudian meminta buku menu, dan mempersilakan Sitha untuk memilih.
"Silakan, Dek. Kamu mau makan apa?"
Tampak Sitha melihat-lihat buku menu terlebih dahulu. Lalu mulai mengatakan apa yang dia inginkan.
"Es Beras Kencur dan Nasi Bakar boleh, Mas?"
"Boleh. Yakin, pilih itu? Enggak memilih yang lain?"
Pikir Dharma masih banyak menu lainnya dengan harga yang lebih mahal, tapi Sitha justru memilih yang harganya standar saja, terbilang murah malahan. Sitha kemudian menganggukkan kepala.
"Iya, itu saja. Makasih, Mas."
Adem rasanya hati Dharma menatap Sitha yang memiliki begitu banyak daya tarik. Dharma kemudian memesan, dia turut menyamakan pesanan dengan Sitha, tapi Dharma memesan dua buah Nasi Bakar.
"Ayo, Dek ... dimakan dulu. Sudah ditelepon Bapak yah?" tanya Dharma karena saat itu Sitha tampak memegang handphonenya.
"Enggak kok, Mas. Baru lihat pesan dari Mbak Indi kok, Mas. Katanya ada event gitu di Jogjakarta. Rame banget," ceritanya.
"Oh, kirain sudah ditelepon Bapak, diminta pulang."
Sitha kemudian terkekeh. "Enggak, Rama percaya kok. Apalagi yang bawa pergi putrinya kan orang yang sudah dikenal Rama lama. Jadi, pasti percaya."
"Beruntungnya aku karena dipercaya sama Bapak."
Sitha tersenyum. Duduk berhadap-hadapan dengan Dharma, saling menikmati makan malam, sebenarnya Sitha juga sungkan. Apalagi dengan cara Dharma menatapnya yang terasa berbeda. Tak perlu banyak diksi, Sitha agaknya semakin yakin bahwa pria yang kini duduk di hadapannya memang menaruh rasa kepadanya.
"Dek, nanti kalau di tempat bekerja, aku manggilnya tetap Bu Sitha aja tidak apa-apa yah? Malu soalnya kalau ada orang lain yang tahu," kata Dharma.
"Terserah Mas Dharma aja kok."
Dharma tersenyum. Lain waktu, Dharma akan mencoba untuk mengajak Sitha menonton Wayang Orang lagi. Setelahnya, Dharma segera membayar makanan mereka. Sekarang, keduanya kembali menaiki sepeda motor. Dharma sebelumnya juga memberikan helm agar Sitha bisa memakai helmnya terlebih dahulu.
"Dingin enggak, Dek? Mau memakai jaketku?"
"Tidak apa-apa kok, Mas. Kemeja kotak-kotak panjangnya Mas Dharma masih ku bawa loh. Waktu di gathering dulu," kata Sitha.
"Oh, yang itu. Kamu bawa aja tidak apa-apa kok," balas Dharma.
"Nanti lain waktu aku kembalikan. Maaf yah, aku kelupaan."
Dharma menganggukkan kepalanya. Sesekali dia menoleh ke belakang saat berbicara dengan Sitha. Rupanya Sitha juga mau malam mingguan naik motor, tidak harus naik mobil. Setelah tiba di rumah, Dharma juga berpamitan dan tidak lupa mengembalikan kembali Sitha kepada kedua orang tuanya.
"Ngaturaken panuwun nggih Bapak kaliyan Ibu, kula sampun diparengaken ngajak Sitha mlampah-mlampah. Matur nuwun sanget," kata Dharma.
"Iya, Mas Dharma. Terima kasih juga sudah mengantar Sitha pulang. Mau minum teh dulu enggak?" tanya Rama Bima.
"Sanes wekdal mawon, Bapak. Sampun dhalu, kula nyuwun pamit."
Dharma mengatakan lain waktu saja karena sudah malam, dia sekaligus berpamitan. Sepulangnya Dharma, Rama Bima dan Bu Galuh berbicara kepada Sitha.
"Nonton wayang beneran tadi, Dek?"
"Nggih, Rama. Nonton wayang kok."
"Dharma itu baik, Dek. Terbukti dia mengajak kamu pergi berani pamit ke Rama dan Ibu. Sewaktu pulang juga menyampaikan terima kasih. Orang Jawa yang memakai Jawane, tahu unggah-ungguh atau tata krama," kata Rama Bima.
"Iya, Mas Dharma memang baik kok Rama."
Sitha tersenyum, dia tahu sendiri bagaimana selama ini Dharma selalu menolongnya. Bahkan tadi sewaktu menonton pagelaran wayang orang, Dharma benar-benar menjaga sikap. Tidak berusaha modus dan justru menunjukkan menjaga Sitha.
...🍀🍀🍀...
Beberapa Hari Kemudian ....
Sekarang di perusahaan jamu itu, Ambar menyela ketika Danu sedang berbicara dengan Sitha. Agaknya Danu masih berusaha agar Sitha kembali memberinya kesempatan. Pada kesempatan itu pula ada Dharma yang memang bersama Sitha.
"Mas Danu dan Sitha sebenarnya ngapain sih?" tanya Ambar.
"Tidak ada apa-apa," balas Sitha.
"Kamu jangan ikut campur, Mbar. Aku baru berbicara dengan Sitha."
"Mas Danu harusnya memutuskan pernikahannya dengan Sitha. Sebab ... aku telat, Mas. Dan, semua itu karena kamu."
Saat mengatakan semua itu, Ambar berlinang air matanya. Pengakuan Ambar benar-benar membuat Danu begitu kaget. Begitu juga dengan Sitha, walau Sitha sudah memprediksi karena Ambar dan Danu memang sudah tidur bersama.
"Maafkan aku, Tha. Faktanya memang Mas Danu memaksaku," kata Ambar dengan menangis.
Sitha malahan tersenyum. Dia menatap Ambar dengan sedikit menggeleng kepala. "Sebagai seorang sahabat, rupanya kamu memang terlalu culas, Mbar. Usai ini, kita bukan lagi sahabat. Selama di tempat kerja ini panggil aku sesuai dengan posisi dan kedudukanku di perusahaan ini. Oh, iya ... satu lagi. Tidak perlu beralibi kalau Danu memaksamu. Aku sudah tahu semua perbuatan kalian. Jangan kalian pikir aku ini bodoh! Ambil saja dia untukmu!"
"Sitha, tunggu Sitha. Jangan begini, kita tetap sahabatan bukan?" Ambar berusaha menahan dengan memegang pergelangan tangan Sitha.
Sitha meraih tangan Ambar dengan tangannya yang lain, dan melepaskannya dari pergelangan tangannya. Bahkan Sitha sedikit menekan tangan Ambar."Setelah keculasan kalian berdua, setelah tindakan amoral kalian berdua, jangan pernah menganggapku sahabatmu lagi."
Sitha berlalu pergi. Dharma pun turut mengikuti Sitha. Sedangkan Ambar masih menangis untuk mendapatkan simpati dari Danu. Upaya Ambar untuk merebut Danu dari Sitha berhasil juga. Ambar berharap tidak lama lagi dia akan dinikahkan dengan putra konglomerat di kota Solo itu.
maaf bukan aq menghina orang miskin tp kelakuan si Ambar yg kere bikin aq gemes
belum juga pisah sudah bilang mau harta gono gini😱.
emang di otak Ambar isi nya cuma duit...duit...dan duit
pasangan danu ambar ga jelas, si ambarnya yg ga mau di ajak sederhana maunya byk uang