Seorang pendekar tua membawa salah satu dari Lima Harta Suci sebuah benda yang kekuatannya bisa mengubah langit dan bumi.
Dikejar oleh puluhan pendekar dari sekte-sekte sesat yang mengincar harta itu, ia memilih bertarung demi mencegah benda suci itu jatuh ke tangan yang salah.
Pertarungan berlangsung tiga hari tiga malam. Darah tumpah, nyawa melayang, dan pada akhirnya sang pendekar pun gugur.
Namun saat dunia mengira kisahnya telah berakhir, seberkas cahaya emas, menembus tubuhnya yang tak bernyawa dan membawanya kembali ke masa lalu ke tubuhnya yang masih muda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biru merah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 23. Makam Dewa (1)
Seorang pemuda terlempar masuk ke dalam rumah makan. Tubuhnya menghantam salah satu meja hingga pecah berantakan, namun para pengunjung di sana hanya menoleh sebentar lalu kembali tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
Di Kota Kematian, pertarungan antara sesama pendekar memang sudah biasa. Terutama antara pendekar aliran putih dan pendekar aliran hitam, bentrok kekuatan bukan lagi hal yang mengejutkan.
Pemuda yang terlempar itu mengerang pelan, memegangi perutnya dengan kuat, menahan rasa sakit dari serangan sebelumnya.
Tak lama kemudian, seorang pemuda lain berjalan masuk dengan langkah santai namun penuh tekanan. Ia mendekati pemuda yang masih tergeletak di lantai.
“Itu akibatmu mencampuri urusanku, Xing Feng,” ucapnya dingin.
Xing Feng mendongak pelan, menatap lurus ke arah lawannya. “Kau pikir aku akan membiarkanmu berbuat seenaknya, Cun Yin?”
Beberapa menit sebelumnya...
Xing Feng baru saja tiba di Kota Kematian bersama rombongannya. Namun karena suatu urusan mendesak, ia berpisah dan berjalan seorang diri di antara gang-gang kota.
Saat melewati sebuah jalan sempit, ia melihat seorang anak kecil berlari tergesa-gesa, tubuhnya penuh luka, nafasnya tersengal ketakutan. Dari arah belakang muncul seorang pemuda yang tampak mengejarnya dengan niat membunuh.
Xing Feng mengenali wajah pemuda itu — Cun Yin, anak dari salah satu klan besar di Kerajaan We. Sama seperti dirinya, Cun Yin berasal dari kalangan bangsawan pendekar.
“Cun Yin! Mengapa kau mengejar anak ini sampai seperti itu?” bentak Xing Feng, melangkah menghadang.
“Ini bukan urusanmu,” sahut Cun Yin singkat sambil terus melangkah mendekati anak itu.
“Ini urusanku sekarang. Kau ingin membunuh anak sekecil ini?” tanya Xing Feng tajam, matanya menatap langsung ke mata Cun Yin dan menangkap niat membunuh yang jelas di sana.
Cun Yin menyipitkan mata. “Kalau kau tidak menyingkir, kau juga akan bernasib sama.”
“Selama aku masih berdiri di sini, kau tak akan bisa menyentuh anak itu,” jawab Xing Feng mantap.
Tanpa aba-aba, Cun Yin melancarkan serangan. Tangan kosongnya melayang cepat, tapi Xing Feng berhasil menghindar. Pertarungan tangan kosong antara dua pemuda itu pun terjadi. Bagi orang biasa, mereka tampak seimbang—cepat, tajam, dan mematikan.
Namun tiba-tiba, Cun Yin mengalihkan arah serangannya ke anak kecil yang jaraknya tak jauh dari situ. Xing Feng segera melompat untuk melindungi bocah itu, tapi ternyata itu hanyalah tipu muslihat. Serangan utama tetap mengarah padanya.
Bughh!
Xing Feng terkena pukulan telak di bagian perut, tubuhnya terpental dan menembus dinding kayu rumah makan, menyebabkan kekacauan kecil di dalamnya.
Kembali ke masa sekarang...
Sorotan mata dari para pendekar yang berada di rumah makan itu membuat suasana menjadi tegang. Xing Feng yang tengah berusaha bangkit merasakan tatapan tajam dari mereka. Cun Yin pun tampak sedikit canggung.
“Aku akan mengampunimu kali ini. Tapi ingat, jika kita bertemu lagi, kau tak akan selamat,” ucap Cun Yin sambil melangkah keluar.
Begitu Cun Yin menghilang dari pandangan, Xing Feng perlahan bangkit. Tubuhnya masih terasa sakit, tapi ia memaksa diri untuk pergi dari tempat itu tanpa berkata sepatah kata pun.
Sementara itu, di hutan tak jauh dari Kota Kematian...
Seorang pria paruh baya sedang bertarung melawan tiga orang. Ia adalah Guru Bai, guru dari Lin Yan. Setelah mendengar desas-desus bahwa makam kuno menyimpan harta tingkat tinggi akan terbuka di kota ini, ia segera bergegas datang.
Pertarungan berlangsung singkat namun brutal. Dalam waktu tak sampai sepuluh menit, ketiga lawannya tumbang dengan tubuh bersimbah darah. Wajah Guru Bai tetap tenang, seolah itu hanyalah gangguan sepele dalam perjalanannya.
Kembali ke Lin Yan...
Setelah kembali dari rumah makan, Lin Yan dan Paman Long tidak mendapatkan informasi apa pun mengenai makam dewa. Mereka kembali ke penginapan karena malam sudah mulai turun.
Menunggu hingga semua tertidur, Lin Yan diam-diam keluar. Ia menyusuri jalanan gelap menuju makam dewa yang tersembunyi di balik bukit batu.
Setelah tiba di sana, Lin Yan berdiri di depan batu besar yang menutup pintu masuk makam. Ia memeriksa sekeliling, memastikan tidak ada jalan masuk lain. Dengan ragu, ia mencabut Pedang Gerhana Matahari dan mencoba menghancurkan batu tersebut.
Clang!
Suara logam keras menggema di udara malam, namun tak ada goresan sedikit pun di permukaan batu itu. Bahkan, pedangnya bergetar hebat seolah menolak perintahnya.
“Batu ini bukan batu biasa,” gumam Lin Yan pelan. Ia mendesah, lalu menyarungkan kembali pedangnya. Tak ada gunanya memaksa malam ini. Ia pun kembali ke penginapan dengan perasaan yang bercampur aduk.
Keesokan harinya, desas-desus mulai menyebar di seluruh penjuru kota. Disebutkan bahwa makam dewa akan terbuka dua hari lagi. Lin Yan mempersiapkan diri dengan hati-hati. Ia tidak ingin terlibat dalam pertempuran terbuka, apalagi dengan pendekar tingkat suci yang juga mengincar harta itu.
Malam pun tiba...
Ratusan pendekar sudah berkumpul di area makam. Beberapa datang bersama rombongan, sebagian lain datang sendirian. Lin Yan dan rombongannya juga telah bersiap, namun Lin Yan memutuskan untuk bergerak sendiri demi menghindari perhatian.
Langit makin gelap. Angin malam meniup dedaunan dengan suara lirih.
Crack!
Sebuah suara retakan terdengar dari batu besar yang menutup makam.
Crack... Crackk... CRACK!
Semakin banyak retakan yang muncul. Aura kuno mulai membubung ke udara.
DUAR!
Batu besar itu akhirnya hancur, menyingkap lorong panjang dan gelap yang memimpin ke dalam tanah.
Orang-orang terdiam sesaat. Hingga beberapa tokoh berpakaian khusus bertuliskan "We" melangkah maju. Mereka adalah utusan dari Kerajaan We, salah satu kekuatan besar yang mengincar harta di dalam makam.
Melihat utusan Kerajaan We memasuki lorong, pendekar lain pun mulai berebut masuk. Desakan dan benturan kecil tak terelakkan. Ketegangan mulai meningkat di antara kelompok-kelompok yang berbeda.
Lin Yan mengamati semua itu dari kejauhan. Ia tetap diam, menunggu saat yang tepat.
Baru setelah semua orang telah masuk ke dalam makam, dan area luar benar-benar kosong, Lin Yan pun bergerak. Dengan napas yang dalam, ia melangkah masuk ke dalam lorong gelap itu, menuju rahasia kuno yang tersembunyi selama ratusan tahun.