NovelToon NovelToon
Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: kaka_21

"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.

"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.

Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"

"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.

"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"

Diam.

"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.

Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23: Melacak Jejak

Langit masih kelabu ketika tim Cakra mulai menyusuri lereng timur bagian paling rawan dari kawasan operasi mereka. Awan menggantung rendah, seolah menekan punggung gunung. Gerimis mulai turun, tipis tapi cukup untuk membuat jalur tanah berubah licin dan penuh jebakan lumpur.

Cakra berjalan paling depan, bahunya basah kuyup, namun langkahnya mantap. Setiap beberapa meter, ia memberi aba-aba pelan kepada anggota di belakang. "Periksa pijakan. Jangan ambil jalur kiri—rawan longsor."

"Saling jaga jarak. Kalau satu jatuh, yang lain harus siap tarik." Anggota tim bergerak pelan tapi pasti. Nafas mereka terengah namun tetap patuh. Shifa ikut di tengah barisan, langkahnya sedikit tertatih, tapi tetap teguh. Di pundaknya, tas medis menggantung berat.

Saat tiba di jalur sempit antara dua tebing, Cakra mendadak menghentikan langkah. Ia menunduk, lalu menatap ke atas—ke sebuah tali tambang yang menggantung tak utuh. “Stop. Lihat itu,” katanya tegas. Semua mata menoleh ke atas. Tali tambang tergantung lesu, ujungnya terputus kasar, seolah digerat oleh sesuatu yang kuat atau tajam. Di bawahnya, batu-batu besar berserakan, namun tak ada darah, tak ada serpihan tubuh, bahkan jejak tergelincir pun tidak.

Cakra mendekat, menyentuh serat tali yang basah oleh embun. "Ini tali militer standar. Nggak gampang putus begitu aja... kecuali ditebas atau tergesek bebatuan tajam dengan berat ekstrem." Seorang anggota muda, Rendi, menelan ludah. “izin Danton... kalau mereka jatuh, harusnya kita lihat sesuatu. Tapi ini bersih banget. Nggak masuk akal.” Cakra menoleh, ekspresinya tenang tapi matanya gelap. “Makanya kita harus terus cari.” Namun saat semua mulai melangkah lagi, Dian, anggota tertua kedua setelah Cakra, berbisik pelan, hampir tak terdengar, “Merinding saya,Bang. Seolah-olah... mereka hilang begitu saja. Kayak ditelan gunung.” Tak ada yang menanggapi ucapannya. Tapi kalimat itu menggantung di udara, seperti kabut yang menolak pergi.

Beberapa meter dari lokasi tali tambang yang putus, langkah salah satu anggota mendadak terhenti. “Komandan, ini...” katanya lirih, sambil membungkuk dan mengangkat sesuatu dari balik semak basah. Cakra mendekat. Sebuah topi loreng, berat oleh lumpur, basah oleh hujan. Ia mengambilnya dan menyibakkan lumpur yang menempel, matanya tajam menelusuri bagian dalam topi. Ada inisial kecil yang disulam di sisi dalam: “A.R.W”

“Ini milik Arwan…” gumam Cakra, suaranya berat. Semua anggota mendekat, namun suasana justru semakin hening. Tak ada jejak kaki di sekitarnya, tak ada bekas gesekan tubuh atau tanah longsor. Topi itu... seolah jatuh dari langit. Shifa menatap sekitar, keningnya berkerut. “Bang,” katanya pelan. “Kalau dia jatuh dari atas... pasti ada bekas tergelincir. Tanah yang tergores, jejak gesek, atau serpihan seragam. Tapi ini bersih.”

Cakra diam sesaat. Lalu tanpa banyak bicara, ia membuka HT dan berbicara dengan suara datar namun tegas.

“Pos Lima, di sini arjuna. Mohon izin menerbangkan drone pengintai. Koordinat di titik 7B, lereng timur. Kemungkinan ada visual korban.” Suaranya tenang, tapi nadanya membawa ketegangan. Drone segera diluncurkan. Angin tipis mengganggu stabilitas, tapi kamera tetap bisa bekerja. Gambarnya bergoyang, namun jelas: sosok tergeletak di dasar jurang, setengah tertutup daun dan tanah. Wajahnya nyaris tak dikenali, tapi seragamnya... masih utuh. Salah satu anggota berseru lirih, “Itu... Arwan!”

Tanpa membuang waktu, Cakra memimpin tim menuruni lereng melalui jalur aman. Saat mereka tiba di dasar, Arwan masih bernapas—lemah, namun hidup. Lengannya tampak patah, ada luka sobek di keningnya, dan beberapa memar di tubuhnya. Saat diangkat dengan tandu darurat, Arwan mulai mengigau.Matanya liar, tubuhnya gemetar meski sudah diselimuti. “Rumah... rumah itu... di atas... jangan... jangan masuk... mereka ada di sana...”

Tangannya menunjuk ke arah bukit berkabut yang menjulang di belakang mereka. Cakra berjongkok di sampingnya, menggenggam lengannya. “Tenang, Arwan. Kamu aman sekarang. Istirahat, nanti abang yang cari tahu.” Dalam perjalanan kembali ke pos, Shifa menggenggam peralatan medis sambil melirik Cakra. “Apa maksudnya rumah itu, Bang?” Cakra tidak menjawab. Pandangannya menembus kabut. Sesuatu di balik bukit itu... mengganggunya. Sesampainya di pos, Cakra langsung mengaktifkan HT.

“Pos Lima kepada Markas. Kami berhasil menemukan satu anggota, atas nama Arwan. Kondisi luka serius, namun stabil. Satu lagi, atas nama Hendra, masih dalam pencarian. Perlu penguatan tim dan izin pencarian lanjutan besok pagi.” Sementara itu, di tempat tidur lapangan, Arwan masih terus menggumam. Matanya kadang terbuka, menatap kosong ke atap tenda. “...mereka masih di dalam rumah itu...”

Pagi itu, kabut belum sepenuhnya terangkat dari perbukitan. Tanah masih basah dari hujan semalam, menyisakan aroma daun basah dan lumpur pekat. Tim Cakra bergerak kembali ke arah timur, menyusuri jalur yang lebih curam bersama beberapa polisi lokal yang dikirim sebagai bantuan. Langkah mereka teratur, perlahan menembus rimbunan dan jalur sempit. Di tengah perjalanan, setelah hampir dua jam berjalan tanpa hasil, Cakra memutuskan untuk mengambil jeda sejenak. “Istirahat lima belas menit, jangan terlalu jauh dari garis formasi,” ujarnya tegas.

Para anggota duduk, beberapa membuka ransel kecil, mengisi ulang cairan tubuh, dan mengecek komunikasi. Shifa berdiri tak jauh dari Cakra, sedang mencatat tekanan darah Arwan yang belum stabil, yang kini ditinggal di pos bersama tim medis lainnya. Tiba-tiba...

“…tolong…”

Suara itu lirih. Sangat pelan. Seolah diucapkan dari balik semak-semak di belakang mereka. Bukan teriakan, bukan jeritan. Tapi desahan lemah, seperti suara seseorang yang kehabisan tenaga. Semua anggota sontak berdiri. Beberapa langsung mengangkat senjata. Rendi, salah satu prajurit, segera bergerak cepat menuju arah suara itu. “Danton! Saya dengar jelas barusan. Suara dari arah kiri, di balik batu itu!” katanya, berlari sambil menyingkap ranting. Cakra memberi isyarat tangan. “Formasi pecah dua. Hati-hati. Jangan sendirian.”

Shifa berdiri membeku, memandang lekat arah semak-semak tadi. Dadanya ikut terasa sesak. Ada yang janggal. Sangat janggal. Rendi menyisir area itu dengan hati-hati, senjata di tangan kanan, HT di tangan kiri. Tapi setelah sekitar dua puluh meter menjelajah, tak ada apa-apa. Hanya bebatuan, dedaunan berguguran, dan satu batang pohon tua yang tampak seperti... pernah terbakar.

Ia kembali ke kelompok dengan napas sedikit memburu. “Kosong, Danton. Tapi saya yakin suara itu nyata.” Matanya masih mencari-cari. “Itu bukan suara angin.” Cakra menatap Rendi sejenak. Wajahnya tenang, tapi rahangnya mengeras. “Kalau memang benar suara... lalu kenapa tidak ada jejaknya?” Beberapa polisi yang ikut mulai terlihat tak nyaman. Salah satunya berbisik ke rekannya, “Tempat ini memang aneh, Bang. Beberapa warga pernah bilang soal suara-suara yang suka terdengar di hutan ini…”

Cakra mendekati Shifa, yang dari tadi diam. “Kamu dengar juga?” Shifa mengangguk perlahan. “Dengar. Tapi… itu bukan seperti suara manusia yang memanggil… Rasanya... lebih seperti... bisikan dari dalam kepala sendiri.” Mereka saling berpandangan.

Cuaca tak kunjung bersahabat. Kabut mulai turun dari lereng atas, membungkus pohon-pohon seperti bayangan putih pekat. Angin mulai membawa hawa dingin menusuk, menandakan hujan besar akan segera datang. Cakra memandang ke langit yang mulai menghitam. “Tak bisa lanjut malam ini,” ujarnya pada polisi setempat. “Kita dirikan bivak di sini. Medan terlalu berbahaya dalam gelap.”

Perintah segera dilaksanakan. Para anggota bergerak cepat membangun tenda darurat, merapatkan formasi agar tetap aman. Beberapa memasang perimeter sederhana dari tali rafia dan lonceng kecil untuk mendeteksi gangguan. Malam turun, dan hujan deras akhirnya mengguyur. Suara petir menggelegar di antara lembah, menciptakan pantulan suara mengerikan seperti raungan dari gunung itu sendiri.

Di dalam tenda, udara lembap dan dingin. Para anggota beristirahat seadanya. Namun, tidur malam itu jauh dari tenang. Satu per satu dari mereka mengalami mimpi yang mirip. Dalam mimpi itu, dua sosok berseragam berdiri di tengah kabut. Wajah mereka tak jelas, tapi suara lirih mereka memanggil:

“...pulang… tolong kami…”

Lalu kabut menelan mereka. Dan gelap. Hening. Dingin. Shifa terbangun lebih dulu. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia menatap ke luar tenda, ke arah hutan yang hitam pekat. “Bang…” bisiknya pelan ke Cakra yang baru saja membuka matanya karena mimpi serupa. “Tempat ini... kayaknya berbahaya. Kayak ada yang nggak pengin kita di sini.” Cakra menatap Shifa dalam diam. Nafasnya masih berat, jantungnya berdetak cepat. Tapi sebelum ia bisa merespons, suara tembakan terdengar dari luar.

“Tembak! Arah jam sepuluh! Musuh!”

Cakra melompat dari dalam tenda, mengenakan jaket dan mengambil senjatanya. Ia berlari mendekati dua prajurit yang berjaga. Wajah mereka pucat, tangan gemetar. Apa yang kalian lihat?” tanya Cakra cepat. “Sumpah, Bang… ada bayangan, tinggi... besar. Kayak manusia. Tapi matanya merah. Dan dia… dia nunduk, ngarahin panah ke arah kita,” ujar salah satu dari mereka dengan suara bergetar. Cakra menatap sekeliling. Kabut belum sepenuhnya turun, tapi cukup tebal untuk menyembunyikan banyak hal.

Tak ada suara selain hujan dan rintik daun. “Kita sudahi malam ini. Kumpulkan semua. Kita kembali ke pos.” Dengan formasi tertutup, tim mulai berjalan menuruni lereng menuju pos. Hujan semakin deras. Jalan licin dan gelap, tapi semua ingin segera pergi dari sana. Ketegangan masih terasa di udara. Setiba di kendaraan, semua mulai naik dengan cepat. Tapi saat Cakra hendak menyalakan mesin mobil utama, mesin tak mau menyala.

“Sial…” gumamnya, mencoba berkali-kali. Suara starter hanya menjerit pendek lalu mati. Shifa mulai resah di kursi samping. “Bang… jangan lama-lama di sini.” Angin di luar mulai bertiup lebih kencang. Salah satu prajurit mengaku melihat sosok lagi di kejauhan, meski yang lain tak melihat apa-apa. Setelah berulang kali mencoba, akhirnya mobil menyala. Lampu sorot menyibak gelapnya hujan dan kabut. Tanpa menunggu lebih lama, rombongan segera meluncur menuju pos.

Begitu mereka tiba dan pintu gerbang pos terbuka, hujan turun semakin lebat seolah menutup apa pun yang baru saja mereka lewati. Di kejauhan, suara petir kembali menggema… dan untuk sesaat, Cakra sempat melihat bayangan seperti orang berdiri di balik pepohonan melihat mereka pergi.

1
Siyantin Soebianto
ceritanya jadi penisirin gini ya😇
Nanang
SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇
kaka_21: siap kakak,terimakasih udah mampir
total 1 replies
piyo lika pelicia
semangat ☺️
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf
kaka_21: baik kak, terimakasih
total 1 replies
piyo lika pelicia
Assalamualaikum, paman pulang! waduh ... makan apa nih?"
piyo lika pelicia
Tiba-tiba pintu terbuka
piyo lika pelicia
Rama
piyo lika pelicia
"Ee.. kamu mau kemana" pake nanya. Virza tertawa kecil. "Aku mau
piyo lika pelicia
"Terimakasih, sepertinya tidak pernah."
piyo lika pelicia
ibu dan juga bapaknya kemana
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
tidak boleh berkata kasar pada anak mu sendiri 😒
kaka_21: sabar kak, sabar
total 1 replies
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
iklan untuk kakak ☺️
piyo lika pelicia
dasar ibu yang buruk
piyo lika pelicia
adik yang baik ☺️
piyo lika pelicia
"Eh, Riz. Ada apa?"
Inumaki Toge
Ayatnya enak dibaca,lanjut semangat ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!