Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Siang menjelang. Kantor Alejandro Corp sedikit lengang.
Para karyawan tengah fokus mengejar deadline, termasuk Cathesa yang tengah merapikan berkas laporan keuangan ke dalam folder cokelat untuk diserahkan ke Nagendra.
Tiba-tiba suara sapaan hangat menyentaknya dari belakang.
“Cathesa, masih ingat aku?”
Suara itu lembut, tetapi membuat jantung Cathesa mencelos.
Ia menoleh… dan benar, wanita itu.
Alesha. Wanita anggun yang pernah datang ke ruang Nagendra di Bab 5, dengan aura yang tak bisa dilupakan—elegan, cerdas, dan memiliki semacam ikatan tak terlihat dengan sang CEO.
“Tentu saja, Kak Alesha,” jawab Cathesa, mencoba tersenyum sopan.
“Apa kabar?”
“Baik. Senang ketemu kamu lagi,” ucap Alesha ramah. Ia tampak tulus—dan itu membuat Cathesa sedikit bingung.
“Kamu masih sekretaris Nagendra?”
“Iya. Masih belajar banyak di sini.”
“Bagus. Kamu pasti cepat tangkap, aku lihat kamu sigap banget waktu itu.”
Alesha tertawa ringan, dan Cathesa membalas dengan anggukan kecil. Tapi jauh di dalam hatinya, perasaan waspada mulai muncul. Wanita ini terlalu tenang… terlalu “nyambung” dengan kehidupan Nagendra.
“Ngomong-ngomong,” lanjut Alesha santai, “Nagendra ada di ruangannya?”
“Ada. Tapi beliau sedang menyelesaikan—”
“Oke, aku tunggu saja. Aku nggak janjian sih. Tapi aku pikir… waktunya tepat untuk ngajak dia makan siang.”
Cathesa terdiam sejenak. Wanita ini bicara santai… tapi membawa gelombang tekanan yang halus.
“Saya bisa bantu sampaikan dulu.”
“Nggak usah repot. Aku masuk langsung aja, ya?”
Alesha mengedipkan mata sebentar, seperti sahabat lama.
“Dia nggak akan marah kok.”
⸻
Di ruang kerja Nagendra
Nagendra sedang membaca email ketika pintu diketuk pelan, lalu terbuka dengan cepat sebelum ia sempat menjawab.
“Nggak pernah berubah, ya. Masih sibuk terus.”
Ia mendongak. Alesha.
Sejenak, ekspresi datar Nagendra mengendur.
“Kenapa kamu ke sini lagi?”
“Iseng. Dan lapar,” Alesha tersenyum manis.
“Mau makan siang bareng?”
Nagendra menutup laptop pelan, menatapnya datar.
“Kamu muncul tanpa kabar, ngajak makan siang, dan berharap aku langsung bilang ‘ayo’?”
“Tentu.”
Alesha duduk santai di sofa ruangannya.
“Karena aku tahu kamu susah nolak kalau urusannya sama aku.”
Nagendra menghela napas.
“Alesha… jangan ulangi yang dulu. Aku nggak suka permainan itu.”
Alesha menatapnya, serius kali ini.
“Aku nggak main, Gen. Kalau aku mau main, aku nggak akan datang langsung begini.”
⸻
Di luar ruangan
Cathesa duduk di meja kerjanya, tangan di atas keyboard, tapi tak mengetik satu huruf pun.
Di dalam, ia bisa samar-samar mendengar suara Alesha tertawa kecil.
Entah kenapa, hati Cathesa terasa bergetar aneh.
Bukan karena iri. Tapi karena dia tahu—wanita yang bisa masuk tanpa izin, yang bisa bicara santai dengan Nagendra… bukan orang biasa.
Dan untuk pertama kalinya, Cathesa merasa seperti… penonton di cerita yang bukan miliknya.
⸻
Di dalam ruangan (lagi)
Alesha berdiri, mengambil tasnya.
“Aku tunggu kamu di lobi. Lima menit, oke?”
Nagendra tidak menjawab. Hanya menatap kosong ke mejanya saat Alesha melangkah keluar.
⸻
Saat Alesha melewati meja Cathesa…
“Sampai ketemu lagi ya, Cathesa,” katanya ramah.
“Jangan terlalu serius kerja terus. Kamu manis, loh, kalau senyum.”
Cathesa hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyum hambar.
Dan begitu Alesha menghilang di lift…
Cathesa menarik napas panjang.
“Wanita itu… siapa sebenarnya baginya?”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Lobi Alejandro Corp terasa lebih dingin dari biasanya—bukan karena AC, tapi karena dua wanita yang berdiri berhadapan seperti dua es batu yang siap meleleh karena bara api emosi masing-masing.
Adeline melipat tangan di dada, berdiri dengan angkuh di hadapan Alesha yang tampak jauh lebih santai.
“Sebenarnya sampai kapan kamu akan terus ikut campur dalam hidup Nagendra?”
“Kamu pikir kamu siapa? Dia tunanganku sekarang, bukan milikmu lagi,” ujar Adeline dengan suara rendah namun menggigit.
Alesha tersenyum pelan, mengangkat ponselnya lalu membuka satu percakapan.
Dengan gerakan pelan tapi disengaja, ia memutar layar ponsel itu ke arah Adeline.
“Kalau memang dia ‘punyamu’, kenapa dia masih mau makan siang dengan aku, hmm?”
“Lihat sendiri,” ucap Alesha datar, tak tergoyahkan.
Adeline menyipitkan mata dan membaca:
📩 Nagendra: “Baiklah, saya akan makan siang bersamamu.”
Kalimat itu sederhana. Datar. Tanpa emosi.
Tapi di mata Adeline, itu seperti bom waktu.
“Kamu sengaja nunjukin ini? Kamu pikir pesan kayak gitu berarti kamu penting?”
Suara Adeline mulai naik satu oktaf, menahan amarahnya.
“Itu cuma basa-basi sopan! Jangan terlalu percaya diri hanya karena dia setuju makan siang!”
Alesha menaikkan alis, tak tersinggung sedikit pun.
“Lucu. Kamu yang bilang itu cuma basa-basi, tapi kamu terlihat panas sekali.”
“Tenang, Del… aku nggak rebut siapa-siapa. Aku cuma datang saat diundang. Atau… mungkin kamu takut dia justru pengen aku datang?”
Adeline menggertakkan gigi. Rahangnya menegang, dan napasnya berat.
“Kamu nggak tahu batas, Alesha.”
“Oh, aku tahu. Tapi kadang batas itu nggak berlaku kalau orang di baliknya masih membuka celah.”
Pintu lift berbunyi ting!—membuka suasana yang membeku.
Nagendra melangkah keluar, ekspresinya datar seperti biasa, tapi matanya langsung menangkap dua sosok yang sedang saling membakar dengan tatapan.
“Kalian berdua ngapain di sini?” tanyanya tenang, seperti tak terkejut.
Alesha berbalik, tersenyum lembut.
“Aku cuma menunggu… makan siang.”
Adeline menoleh dengan senyum penuh tekanan.
“Dan aku juga. Tapi ternyata… kamu sudah punya janji lain ya, Gen?”
Nagendra tak menjawab langsung. Ia hanya menatap keduanya, kemudian berkata pendek:
“Kalau kalian mau ikut makan siang, silakan. Tapi jangan jadikan meja makan sebagai arena perang.”
Adeline mencibir.
Alesha hanya tersenyum samar.
Dan Cathesa, dari balik sekat, menahan napas.
Ia tak ikut permainan mereka, tapi kenapa hatinya ikut sesak?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Nagendra berdiri dengan postur tenang di depan lift. Tatapannya menyapu kedua wanita itu—Alesha dan Adeline—yang masih tampak menyimpan bara masing-masing.
“Kalau kalian selesai saling sindir, kita bisa langsung pergi,” katanya datar.
Alesha tersenyum lagi, terlalu yakin bahwa kalimat itu berarti dia menang.
“Aku naik mobilmu ya, Gen?”
Nagendra tak langsung menjawab. Ia menatapnya sebentar, lalu menjawab tanpa nada:
“Aku lebih suka sendiri. Kita bisa ketemu di restoran.”
Seketika, senyum Alesha mengendur sedikit.
Adeline mencibir pelan, tapi tidak berkata apa-apa. Ia sudah tahu sejak lama: Nagendra tidak pernah bersikap istimewa pada siapa pun, bahkan pada dirinya sendiri yang ditunjuk sebagai calon tunangan.
Alesha, yang biasanya bisa membaca banyak hal dari tatapan pria, kali ini salah. Ia tak sadar… bahwa selama ini, yang ia kejar hanyalah bayangan perasaannya sendiri.
Nagendra tak pernah membalas. Ia hanya cuek, dingin, dan menjaga jarak.
“Jangan terlalu percaya diri, Lesha,” gumam Adeline dingin.
“Kamu selalu muncul dan bertingkah seolah kamu istimewa… padahal dia bahkan tidak melihatmu sebagai apa-apa.”
Alesha menoleh, tersenyum kecil, meski kali ini tidak sekuat tadi.
“Kalau begitu, kamu seharusnya tidak merasa terancam.”
“Aku tidak terancam. Aku hanya muak melihatmu sok penting.”
Sementara itu, Nagendra sudah berjalan menjauh, meninggalkan mereka berdua tanpa berpaling sedikit pun.
Dan pada momen itu, diam-diam Alesha sadar…
Chat tadi bukan kode.
Makan siang itu bukan momen spesial.
Itu hanya… sikap sopan dari pria yang tidak peduli.
⸻
Di sisi lain, Cathesa, yang melihat semuanya dari jauh, hanya menarik napas panjang.
“Lucu… semua ingin mendekat pada seseorang yang bahkan tak ingin disentuh.”
Ia pun kembali menunduk ke berkas di tangannya, berusaha menenggelamkan hatinya sendiri… yang entah sejak kapan ikut terjebak dalam pusaran nama: Nagendra Ramiel Alejandro.