Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 16
“Tak baik berprasangka sebelum mengenalnya langsung, Mustika! Abang yakin, kau menyukainya. Dia wanita sederhana dengan pola pikir sederhana pula, tak banyak maunya cuma menginginkan hidup apa adanya.” Thariq merangkul bahu adiknya, terlihat sekali raut wajahnya berbinar kala menceritakan tentang Sahira.
Mobil berwarna putih itu mulai melaju meninggalkan hunian Alamsyah. Damar juga ikut, dia duduk di samping jok kemudi menemani rekannya menyetir.
Sementara Thariq duduk di bagian tengah dengan diapit adik dan ibunya.
“Apa yang Mama pikirkan?” Thariq mengelus lengan ibunya, yang terlihat melamun memandang keluar jendela dimana langit mulai menggelap.
Bu Ayda menarik napas panjang, sebelah tangannya ia tumpukan pada punggung tangan Thariq yang sedang menggenggam jemarinya. “Mama kepikiran Arimbi, pasti berat baginya melalui ini. Jahat rasanya kalau Mama bersukacita sementara dia merana menangisi suaminya menikah lagi.”
“Namun, tak adil juga rasanya bila bermuram durja saat bertemu calon istri keduamu. Dia juga sama nelangsanya, dua tahun lamanya berteman dengan rasa sakit, kecewa, mungkin juga merasa rendah diri, kotor dikarenakan tak lagi suci, bisa jadi juga mengalami trauma,” sambungnya.
“Saya paham, Ma. Kendatipun sebisa mungkin berusaha untuk berlaku adil, tetap saja rasanya sulit tercipta keluarga harmonis itu. Apalagi dengan sifat Arimbi yang kita tahu sendiri seperti apa. Sementara Dia, wanita mengalah, memilih diam, menerima, daripada menimbulkan masalah. Bisa saya bayangkan bagaimana nantinya,” Thariq ikutan melihat pemandangan luar.
“Lepaskan salah satunya, bila Abang tak yakin bisa menjadi suami yang adil. Daripada memaksakan diri berakhir lebih dalam lagi memberikan luka dihati,” Mustika ikut menimpali, dia prihatin akan nasib Abangnya.
“Arimbi tak mau, dia keukeuh ingin bertahan.”
Bu Ayda menoleh ke sang putra. “Jangan sepenuhnya menyalahkan Arimbi, dia tulus mencintai mu Thariq. Walaupun caranya salah, suka memaksa, sampai mengancam para wanita yang berani mendekatimu, tapi semua itu dikarenakan besarnya rasa di hatinya.”
“Sama halnya seperti mu. Sekeras apapun kau berusaha mencintainya, tapi karena hatimu tak tertuju padanya, maka tak tercipta rasa itu. Kau tak kuasa mencintainya, dan Arimbi tak berdaya menghapus rasa cintanya. Mama yakin, di lubuk hatinya yang terdalam, dia pernah ingin membunuh perasaannya terhadapmu,” lanjut bu Ayda.
“Kalau aku amati, rasa cinta Kak Arimbi tak lah sebesar itu, lebih ke obsesi. Dia tertantang, harga dirinya merasa di injak-injak dikarenakan sedari remaja perasaan sukanya tak pernah terbalaskan,” sela Mustika.
Perbincangan masih berlanjut hampir sepanjang jalan. Damar dan sang sopir memilih diam dan menulikan telinga.
.
.
“Apa yang kau pikirkan? Pernikahanmu atau hal lainnya, Hira?” Selina mengeratkan selimut yang menutupi bahunya.
Sahira tak langsung menjawab, dia menatap takjub jutaan bintang berpendar indah di langit.
“Hira sedikit gugup saja, takut kalau ibu dan adiknya Bang Thariq tak menyukai ku.”
“Meskipun tak dekat, tapi sedikit banyaknya Bunda tahu tentang sosok ibunya Thariq. Dia dulunya wanita sederhana dari keluarga kelas bawah juga. Setelah diperistri oleh almarhum Dewangga Alamsyah, sifat serta sikapnya tak berubah. Tetap sama dan menjalani kehidupan apa adanya, enggan berkumpul dengan para wanita kalangan atas. Lebih suka berdiam diri di rumah mengurus anak dan suami.”
“Benarkah?” Sahira menatap tak percaya.
“Ayda, si wanita keras kepala tapi hatinya baik, penyayang. Kami pernah bertemu beberapa kali, dan orangnya cukup menyenangkan bila diajak bercerita tentang cita rasa makanan, tumbuh kembang anak-anak.” Selina kembali menyeruput kopi hangatnya.
“Sangat sederhana sekali ya, Bun. Di zaman serba modern ini, banyak para wanita berlomba-lomba ingin tampil menonjol, memamerkan kekayaannya di sosial media, berkumpul ala-ala sosialita, tapi Beliau memilih hidup damai dengan gayanya sendiri.” Sahira berdecak kagum.
“Memang kayak gitulah mama kami, Kak. Namun, jangan senang dulu! Tangannya lebih cepat daripada mulutnya, Kakak wajib hati-hati bila berdekatan dengan dia! Terus_”
Plak!
“Kan, kan. Baru juga dibilang, langsung dipraktekkan!”
“Abang!”
“Ayda!”
Sahira dan juga Selina berseru bersamaan. Mereka beranjak dari kursi, siap menyambut tamu yang kehadirannya tiba-tiba.
“Alamak, Selina Pangestu. Mengapa kau ada disini juga? Lagi ada acara kah?” Ayda mengikis jarak, lalu memeluk temannya meskipun tidak akrab, dikarenakan jarang bertemu.
“Aku disini atas permintaan putramu,” jawab Selina, lalu melepaskan pelukan mereka.
“Apa kabar si bungsu Alamsyah?” Selina merentangkan kedua tangannya.
Mustika ragu-ragu memeluk, keningnya berkerut, mencoba menerka hal yang menurutnya janggal.
Melihat calon istrinya gugup, Thariq mendekati Sahira, mengecup keningnya, lembut sekali.
“Bukankah seharusnya besok baru datang, Bang? Mengapa sekarang sudah ada disini?” bisik Sahira, dirinya tengah didekap erat.
“Saya mengkhawatirkan mu. Takut kalau kau tak nyaman sendirian ditempat asing.” Thariq melerai pelukan mereka, berdiri bersisian dengan tangan merangkul pundak Sahira.
Interaksi manis itu diperhatikan lekat oleh Ayda dan juga Mustika. Sedangkan Selina terlihat biasa saja, karena dia juga pernah muda dan mengalami masa-masa indahnya jatuh cinta.
“Ayo!” Thariq menarik lembut pergelangan tangan calon istrinya. “Ma, Dek … ini Sahira, calon istri saya.”
“Sahira? Ini bukan Sahira, Sahira itu ‘kan? Yang dimaksud oleh Kak Arimbi, adik angkatnya?” Mustika menelisik terang-terangan sosok wanita lumayan kurus, berbaju tidur lengan panjang.
Sahira terlihat tidak nyaman, gesture nya kaku, bahkan dia lupa kalau tadi hendak menyalami tangan ibunya Thariq.
“Sebaiknya kita duduk dulu!” Selina menarik lembut lengan Ayda, lalu memanggil seorang pelayan, memesan teh hangat.
“Mustika!” Thariq menegur adiknya yang masih belum mengalihkan pandangan dari calon istrinya.
“Apa benar kalau dirimu adik angkatnya Kak Arimbi?” Mustika tidak mengindahkan peringatan abangnya, dia langsung menginterogasi calon kakak ipar barunya.
“Iya. Saya Sahira, anak angkat tuan Sigit Wiguna dan nyonya Widya Mandala.” Ia remas jemari Thariq yang menggenggam tangannya.
Thariq menuntun Sahira untuk duduk di kursi bermeja bulat, yang mana sudah ada ibunya dan tante Selina.
‘Kebetulan macam apa ini? Dia yang tidur dengan Abang ku, tapi kenapa setelah sekian lama baru mau mengakuinya?’ tanyanya dalam hati, mencoba melakukan cocok logi. Sampai tubuhnya ditarik lembut oleh Thariq pun, Mustika tidak sadar.
Teh hangat sudah terhidang di atas meja, tetapi tidak ada yang menyentuhnya.
Ayda memandang lekat wanita yang menurutnya cantik, lugu, serta tenang. “Apa benar kau orangnya? Kalau iya, boleh saya mengetahui awal mulanya?”
Bukan Sahira yang bercerita, tapi Thariq yang berkisah. Dia membeberkan garis besarnya, pun tentang alasan mengapa Sahira memilih bungkam, perihal malam pertunangan itu, dan juga sandiwara mereka soal kematian palsu Sahira.
“Lantas, bagaimana kalau sampai Arimbi dan keluarganya tahu? Tak mungkin selamanya bisa menyembunyikan rahasia ini, lagipula tidak baik juga!” Ayda terlihat bingung sekaligus cemas.
“Setelah sah memperistri Sahira, dan bila dia telah siap, saya akan menghadap keluarga Wiguna, mengungkapkan fakta ini.” Thariq menyodorkan teh hangat untuk ibunya.
“Sedikitpun saya tak ada niatan untuk menyembunyikannya, hanya saja menunda mengungkapkan. Hal ini bukan perkara ringan, tapi rumit,” lanjutnya.
“Selina, berarti Sahira ini anak di panti mu? Mengapa sosoknya tak pernah kelihatan di sana? Padahal sudah belasan tahun lamanya, dan hampir setiap bulan aku mengunjungi panti asuhan milikmu ...?”
.
.
Bersambung.
Kamu bermain di mana ty???
kaya bunglon 🤓
kaya ada clue
Thoriq sebenarnya sudah tau niat awal Sahira 😃🤔