Evan dipaksa menikah oleh ayahnya dengan Alya, gadis yang tidak dikenalnya. Dengan sangat terpaksa Evan menjalani pernikahan dengan gadis yang tidak dicintainya.
Evan mulai menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alya. Perbedaan karakter dan pola pikir menjadi bumbu dalam pernikahan mereka.
Akankah pernikahan mereka berhasil? Atau mereka menyerah dan memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mau Kuajari?
“Alya!!”
Kegiatan pertautan bibir yang sepersekian detik akan terjadi harus terhenti ketika mendengar sebuah suara memanggil nama Alya. Evan mendengus kesal, sahabat istrinya itu muncul di saat yang tak tepat. Wajahnya langsung terlihat masam, pria itu tak membalas senyum manis Nana.
“Laki lo kenapa, Al?” tanya Nana tanpa merasa berdosa sama sekali.
“Ngga apa-apa. Bantuin gue mandi, dong. Udah ngga enak banget nih gue.”
“Kenapa ngga mintol sama laki lo?”
“Bawel lo, buruan.”
Dengan sigap, Nana membantu Alya turun dari bed. Gadis itu membawakan pakaian dan juga peralatan mandi Alya. Evan bergegas membantu istrinya membawa infusan yang masih tersisa sedikit lagi. Pria itu mematikan dulu aliran infus, supaya darah Alya tidak tersedot jika salah posisi saat mandi.
Belum lama Alya dan Nana masuk ke kamar mandi, Gelar datang membawa sarapan pesanan sahabatnya. Evan menyambut kedatangan Gelar dengan sukacita karena perutnya memang sudah terasa lapar. Pria itu mendudukkan diri di sofa yang ada di sana.
“Bawa apaan?” tanya Evan.
“Ketoprak.”
“Yah.. Alya alergi kacang.”
“Kan Alya makan makanan rumah sakit. Lagian gue cuma bawa tiga doang, buat gue, elo sama Nana.”
“Bawain yang lain kek buat bini gue, donat kek, cake atau apa gitu.”
“Jam segini belum ada yang buka, PEA!”
Evan hanya berdecak kesal. Harum aroma kacang langsung menyeruak indra penciumannya. Cacing-cacing di perutnya juga sudah siap menerima makanan khas kota Jakarta itu. Tapi Evan masih mencoba menahan rasa laparnya, menunggu istrinya sampai selesai mandi.
Sepuluh menit kemudian, Alya sudah selesai dengan ritual mandinya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar. Mata Evan terus melihat pada istrinya yang terlihat begitu cantik di matanya. Gelar sampai harus berdehem untuk menyadarkan sang sahabat dari lamunannya.
“Kenalin gue, napa,” bisik Gelar.
“Kalem. Kaga lihat Nana masih bantuin bini gue.”
“Ya elo aja yang bantu. Si Nana suruh ke sini biar gue bisa pedekate.”
“Dasar dodol Garut, kaga sabaran banget sih. Tunggu bentar lagi.”
Gelar memilih mengalah, dari pada Evan ngambek dan batal mengenalkan dirinya pada Nana. Sementara itu, Nana masih membantu menyisiri rambut Alya.
“Al.. lo udah belah duren belum?” tanya Nana dengan suara yang begitu pelan.
“Apaan sih lo.”
“Wah curiga masih disegel nih. Kaga sayang apa? Laki lo bening gitu, masa dianggurin. Jangan sampe dia bobol gawang cewek lain gara-gara ngga dikasih jatah sama bininya. Apalagi ada ulet bulu yang nempel-nempel mulu sama laki lo.”
Selain pernah melihat dengan mata kepala sendiri saat Sherly memeluk Evan. Alya juga menceritakan padanya ketika Sherly dengan tanpa malunya mendatangi Evan di rumah mereka dan berteriak-teriak meminta pertanggung jawaban dari Evan. Hubungan Alya dan Nana memang sangat dekat, tidak ada rahasia apapun di antara mereka. Alya yakin kalau Nana adalah sahabat setia, bukan sahabat yang suka menusuk dari belakang seperti di novel sebelah.
Alya sendiri nampak termenung memikirkan ucapan sang sahabat. Tadi jika tidak diinterupsi kedatangan Nana, mungkin dirinya sudah berhasil melakukan pertemuan bibir dengan suaminya. Sekilas Alya melirik pada suaminya yang tengah berbincang dengan Gelar. Sikap hangat Evan, membuat Alya mulai berani membuka hatinya pada pria itu.
“Eh jangan-jangan pas gue dateng tadi, gue ganggu kalian ya?”
“Ng.. ngga kok.”
Mulut Alya menjawab tidak, namun raut wajah gadis itu menunjukkan hal yang sebaliknya. Wajah Alya memerah ketika mengingat kembali pertemuan bibir yang gagal. Dan hal itu tertangkap oleh Nana.
“Kayanya gue emang ganggu deh. Pantes tadi mukanya bang Evan anyep banget pas lihat gue.”
“Nana iihh..”
Alya mencubit lengan sahabatnya yang terus saja berkicau. Kepala Alya dan Nana langsung tertoleh ke arah pintu ketika mendengar suara pintu terbuka. Dari luar, seorang suster datang membawakan sarapan. Setelah meletakkan sarapan di atas meja. Suster tersebut memeriksa infusan Alya yang belum dijalankan lagi oleh Evan. Usai mengatur kembali tetesan infusan, suster tersebut meninggalkan kamar.
“Na.. kamu udah sarapan, belum?” tanya Evan.
“Belum.”
“Sarapan dulu. Kamu suka ketoprak, ngga?”
"Suka."
“Ya udah sini.”
Alya menganggukkan kepalanya, meminta sang sahabat menuju sofa. Evan bangun dari duduknya dan mempersilahkan Nana duduk di samping Gelar. Dia menyerahkan satu bungkus ketoprak yang tadi dibawa Gelar.
“Na.. kenalin temanku, Gelar.”
“Gelar,” pria itu langsung mengulurkan tangan seraya menyebutkan namanya.
“Nana.”
“Akur-akur ya berdua. Gue mau nyuapin Alya dulu.”
Sambil membawa bungkusan berisi ketoprak, Evan berjalan menuju bed sang istri. Nampak Alya sudah membuka plastic wrap yang membungkus mangkok bubur dan wadah lauk. Evan mendudukkan diri di sisi bed.
“Mau kusuapin?” tawar Evan.
“Ngga usah, mas. Mas makan aja, pasti udah laper.”
Hanya anggukan kepala yang diberikan Evan. Dia membuka tutup stereofoam yang di dalamnya terdapat ketoprak, lalu mulai memakannya. Alya juga mulai memakan sarapannya. Namun dia kurang bernafsu, karena rasa makanannya yang hambar.
Tak butuh waktu lama bagi Evan untuk menghabiskan ketopraknya. Setelah membuang bungkusnya di tempat sampah, Evan kembali ke tempatnya semula. Makanan di nampan terlihat masih tersisa, dan Alya sudah tak berminat untuk makan lagi.
“Makanannya kenapa ngga dihabisin?”
“Ngga enak.”
“Namanya juga makanan rumah sakit. Nanti kalau kamu keluar, kita makan yang enak,” Evan mengusap puncak kepala istrinya.
“Teman mas namanya siapa?”
“Gelar, panggilannya Ge.”
“Kayanya dia suka sama Nana ya?”
“Kok tahu? Jeli juga kamu.”
“Itu matanya dari tadi lihatin Nana terus. Pasti dia suka sama Nana.”
“Kalau aku yang lihatin kamu terus, gimana?”
Refleks Alya menundukkan kepalanya. Melihat sikap malu-malu istrinya, membuat Evan semakin dibuat gemas. Dia lalu melirik pada pasangan yang ada di sofa. Otaknya berpikir cepat, bagaimana caranya mengusir kedua orang itu, agar dia bisa melanjutkan hal yang tadi sempat tertunda. Ketika melihat mereka sudah menghabiskan sarapannya, Evan langsung menjalankan rencananya, mengusir keduanya secara halus.
“Na.. tolong bilangin ke bos kamu ya, Alya ngga masuk dulu.”
“Tenang aja, bang.”
“Kamu masuk jam berapa?”
“Jam delapan.”
Mata Nana melihat pada jam tangan di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Gadis itu buru-buru membereskan bungkusan bekas ketoprak miliknya dan Gelar, lalu membuangnya ke tempat sampah.
“Al.. gue berangkat dulu, ya.”
“Iya, Na. Makasih. Eh jangan kasih tahu bapak, ya.”
“Iya. Bang Evan, bang Ge.. aku pergi dulu.”
“Biar aku antar,” Gelar langsung berdiri dari duduknya.
“Eh.. ngga usah.”
“Terima aja, Na. Dapet tumpangan gratis,” ujar Alya.
“Iya, Na. Jam segini kan biasanya udah mulai macet. Biar dianterin Ge aja,” timpal Evan.
“Ngga ngerepotin, nih?” Nana melihat pada Gelar.
“Ngga, kok. Ayo. Al.. cepat sembuh, ya. Van.. gue sekalian balik.”
“Ok, thanks bro.”
Dengan wajah sumringah, Evan melepas Gelar dan Nana pergi. Hatinya bersorak, akhirnya dia bisa berduaan lagi dengan Alya. Pria itu segera memindahkan nampan makanan bekas Alya, lalu mendudukkan dirinya di bed. Tangannya langsung merangkul bahu istrinya.
“Sekarang udah ngga ada yang gangguin kita, ya.”
Senyum Alya terkulum. Dilihat dari gerak-geriknya, sepertinya Evan hendak mengulangi adegan yang tadi sempat terjeda. Alya yang belum pernah berciuman, penasaran juga bagaimana rasanya saat beradu bibir. Evan merangkum wajah istrinya, kemudian mendekatkan dirinya. Mata Alya terpejam, bersiap menyambut bibir suaminya.
CEKLEK
Lagi-lagi adegan pemersatu bibir kembali gagal. Kali ini dokter dan suster yang masuk ke ruangan Alya menggagalkan kesempatan mereka bersilaturahim bibir. Evan segera turun dari bed, begitu melihat dokter mendekat. Dokter wanita itu segera memeriksa keadaan Alya.
“Keadaannya sudah baik,” ujar sang dokter.
“Sudah boleh pulang, dok?” tanya Evan.
“Sudah. Suster, itu infusannya tolong dilepas. Pasien sudah boleh pulang.”
“Baik, dok.”
Bukan hanya Evan yang merasa senang, tapi juga Alya. Sang suster keluar dahulu untuk mengambil alat, dan tak lama kemudian kembali dengan sebuah kotak di tangannya. Pelan-pelan dia melepaskan infusan dari tangan Alya.
“Saya siapkan dulu surat untuk pulang dan juga obat yang harus dibawa pulang.”
“Iya, sus.”
Sepeninggal sang suster, Evan langsung membereskan barang-barang mereka. Untunglah alergi yang diderita Alya tidak parah, dan istrinya itu diperbolehkan pulang setelah semalam menginap di rumah sakit. Evan harus meninggalkan Alya sejenak untuk mengurus administrasi.
☘️☘️☘️
Kepulangan Alya disambut para tetangganya. Mereka senang Alya sudah diperbolehkan pulang dan keadaannya baik-baik saja. Wati, Tuti dan Endang mengantarkan Alya sampai ke dalam rumah. Tak lama kemudian, Salma datang dengan membawa puding untuk tetangga barunya itu.
“Alya.. ini untukmu. Ibu sengaja buat. Tadinya kalau bapak sudah pulang ngantor, mau jenguk ke rumah sakit. Alhamdulillah kamu sudah boleh pulang.”
“Ya Allah, bu. Makasih banyak. Maaf jadi ngerepotin.”
“Sama sekali, ngga.”
Salma menaruh puding di atas meja. Endang bangun dari duduknya, lalu bergegas ke rumahnya. Tak lama kemudian Endang kembali dengan dua wadah di tangannya. Satu wadah berisi nasi, satu lagi berisi gulai nangka dengan tetelan. Alya yang baru pulang dari rumah sakit dan keadaannya yang belum benar-benar pulih, pasti tidak akan sempat masak.
“Ini buat kamu sama Evan. Kamu jangan banyak gerak, istirahat aja dulu.”
“Ya ampun ibu, makasih banyak.”
Tuti dan Wati yang tidak enak hati, juga bergegas kembali ke rumahnya. Dia membawa apa saja yang ada di rumahnya untuk diberikan pada tetangganya. Wati datang dengan membuat satu sisir pisang ambon, sedang Tuti datang dengan membawa pepes tahu dan jamur kancing.
“Ini buat teman makan nasi,” ujar Tuti.
“Ini buat cuci mulut,” sambung Wati.
“Alhamdulillah. Terima kasih banyak, bu.”
Perasaan Alya terharu melihat kebaikan para tetangganya. Dia bersyukur ayah mertuanya memberikannya tempat tinggal di mana banyak orang baik di sekitarnya. Alya seperti memiliki empat orang ibu yang begitu memperhatikannya. Dari dalam kamar, Evan mendengarkan percakapan para tetangganya. Dia senang, Alya banyak mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekelilingnya.
Keempat wanita itu tidak berlama-lama berada di rumah Alya. Begitu yakin keadaan Alya baik-baik saja, mereka segera pamit pulang. Setelah memastikan tetangganya pulang, Evan baru keluar dari kamar. Bukannya dia tidak mau bergabung dengan para tetangganya. Tapi dia sungkan saja harus berkumpul bersama ibu-ibu.
“Sudah pada pulang?” tanya Evan.
“Sudah, mas. Lihat ini, pada bawain makanan buat kita. Mereka baik ya, mas.”
“Iya, Alhamdulillah.”
Alya mengambil piring-piring yang berisi makanan, lalu menaruhnya di lemari dapur. Khusus untuk puding dari Salma, gadis itu menaruhnya di dalam kulkas. Tak lama kemudian, Alya kembali duduk di dekat suaminya.
“Mas.. aku pengen lihat bapak.”
“Besok aja ya. Sekarang kamu istirahat aja dulu.”
“Besok pulang kerja ya.”
“Kamu ngga usah kerja dulu, besok.”
“Tapi, mas..”
“Nurut, Al. Kamu baru keluar dari rumah sakit. Besok sore, pulang dari resto, aku bakal antar ke rumah bapak.”
Gadis itu tidak punya pilihan, selain menuruti kata suaminya. Alya bangun dari duduknya, lalu masuk ke dalam kamar. Tak lama kemudian, dia keluar dengan membawa pakaian kotor dan membawanya ke kamar mandi. Melihat itu, Evan bergegas menghampiri istrinya.
“Al.. kamu mau ngapain?”
“Nyuci, mas.”
“Kan bisa besok. Kamu itu baru pulang dari rumah sakit.”
“Aku ngga apa-apa, mas. Udah sehat, kalau ditumpuk, nanti malah tambah banyak cuciannya.”
Evan mengambil pakaian kotor di tangan Alya, lalu menaruhnya ke dalam ember. Pria itu kemudian membopong tubuh istrinya, dan membawanya ke kamar. Alya terpekik mendapat perlakuan seperti itu dari sang suami. Evan membaringkan tubuh Alya di kasur. Dia menutup pintu, lalu mengunci dan memasukkan kunci ke kantong celananya.
“Mas..”
“Istirahat. Jangan banyak gerak dulu.”
“Tapi..”
Ucapan Alya tak dapat berlanjut, karena tiba-tiba Evan menempelkan bibirnya ke bibir Alya. Mata gadis itu membelalak, tanpa dikomando jantungnya langsung berdebar kencang. Evan memposisikan tubuhnya di atas istrinya, membuat Alya tak bisa bergerak. Mata gadis itu terus memandangi Evan yang belum melepaskan bibirnya.
Pelan-pelan Evan melepaskan bibirnya. Tapi posisinya masih belum berubah. Alya pun masih terpaku di tempatnya. Rasanya belum percaya kalau tadi pertemuan bibir mereka terjadi, walau hanya sekedar menempel saja. Usapan lembut tangan Evan di pipinya, menyadarkan gadis itu.
“Kamu pernah berciuman sebelumnya?” tanya Evan dan hanya dijawab gelengan saja oleh Alya.
“Mau kuajari?”
Alya mengangguk, tapi kemudian menggeleng. Sepertinya kesadaran gadis itu masih belum sepenuhnya kembali akibat ulah suaminya. Evan terkekeh melihat sikap istrinya yang menggemaskan. Dia menjawil hidung mungil istrinya. Alya memejamkan matanya ketika Evan mendaratkan ciuman di keningnya, lanjut ke kedua matanya, turun ke hidung, lalu kedua pipinya dan terakhir di bibir ranumnya.
Kali ini Evan memberi sedikit sesapan di sana. Kemudian bibirnya bergerak pelan memagut bibir Alya yang tidak tebal, dan tidak tipis. Tangan Alya tanpa sadar meremat kaos yang dikenakan suaminya. Jantung gadis itu berdebar semakin kencang ketika lum*tan di bibirnya terus berlanjut.
Evan mengakhiri ciumannya, dia tetap berada di atas Alya, menunggu sang istri membuka matanya. Setelah memejamkan matanya cukup lama, Alya memberanikan diri membuka matanya. Wajah Evan yang tepat berada di atasnya langsung tertangkap olehnya. Senyum sang suami langsung menyambutnya. Evan kembali membenamkan bibirnya, mel*matnya sebentar lalu mengakhirinya. Pria itu segera menggulirkan tubuhnya ke samping.
“Hari ini kamu ngga boleh melakukan apapun. Istirahat aja, supaya cepat pulih. Mengerti?”
“Iya, mas.”
Tangan Evan terulur, lalu menarik pinggang Alya hingga tubuh mereka merapat. Alya hanya pasrah saja menerima perlakuan suaminya. Diam-diam dia menyukai apa yang dilakukan Evan. Kedua tangan Evan segera memeluk tubuh istrinya. Hari ini dia hanya ingin bersantai bersama sang istri. Dan sepertinya Alya pun tidak menolak apa yang dilakukannya.
☘️☘️☘️
Setelah beberapa kali kegagalan, akhirnya sukses juga ya, Van😂
Alya tidak tahu itu - jadi bikin Alya merasa diabaikan - tak di sayang ayahnya.
Gak jadi kabur Bro - jadi menikah nih /Facepalm/