Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Interogasi di Aroma Manis
Waktu menunjukkan pukul dua siang di salah satu cabang utama Senyum Tiramisu. Aroma kopi espresso dan red velvet mengisi udara, menciptakan ilusi kehangatan yang kontras dengan kekosongan di hati Anita. Ia duduk di balik meja kantornya, memaksa dirinya menelaah laporan keuangan, berusaha mengalihkan perhatian dari rasa sakit tajam di perutnya dan kawat yang mengunci rahangnya.
Pintu kantor diketuk. Maya, kepala toko, menyembulkan kepala dengan wajah sedikit khawatir.
"Bu Anita, ada... Nona Sela. Dia bilang ingin bertemu sebentar."
Jantung Anita langsung mencelos. Sela. Ia tahu, kunjungan ini bukan kunjungan sosial. Ini adalah kelanjutan dari tatapan penuh kecurigaan Sela semalam. Rasa sakit di perutnya, yang melambangkan kehilangan rahasia janinnya, diperparah oleh kepanikan yang muncul.
"Suruh dia masuk," bisik Anita serak, menahan diri agar tidak terdengar panik.
Begitu Sela masuk, Anita langsung menarik napas dalam-dalam. Ia harus mengubah wajah pucat pasi dan mata berkantungnya menjadi ekspresi profesional yang sedikit lelah namun terkendali. Ia memaksakan senyum tipis—senyum kaku yang terhalang kawat, yang terlihat seperti ringisan.
Sela, yang mengenakan jaket jeans khas mahasiswa, terlihat cerdas dan waspada. Dia tidak datang untuk membeli kue. Matanya langsung tertuju pada Anita.
"Kak Anita, kamu pucat sekali," kata Sela, suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tulus. "Kamu seharusnya di rumah, istirahat total. Kenapa ke toko?"
Anita mengambil pulpen dan memo pad di depannya. Ini adalah satu-satunya cara ia bisa berkomunikasi tanpa mengkhianati rahangnya.
["Aku bosan di rumah. Hanya sebentar. Semangat kerja lebih baik daripada merenung".]
Sela membaca memo itu, tetapi matanya tidak lepas dari mata Anita. "Kak, kamu ke sini naik apa? Aku lihat di parkiran, mobil kamu tidak ada. Kamu diantar siapa?"
Pertanyaan itu menusuk tepat ke titik lemah. Sela tahu bahwa Anita selalu mandiri dan tidak suka merepotkan orang lain.
"Aku lagi malas menyetir," bisik Anita serak, sebelum buru-buru mengambil pulpen lagi. [Aku naik taksi online. Dengan kondisi rahang begini, terlalu berisiko jika harus rem mendadak. Aku tidak mau celaka lagi.]
Sela melangkah lebih dekat, mengabaikan laporan di meja dan fokus pada Anita. Rasa manis dari toko kue terasa ironis, seolah menertawakan drama yang sedang terjadi di dalam kantor ini.
"Kak, tolong jujur padaku," kata Sela, suaranya merendah. "Aku sayang Kak Aidan, dia kakak kandungku. Tapi aku juga sayang sama Kakak. Semalam, aku melihat memar di pergelangan kakimu saat aku mengambil serbet. Memar itu sudah berwarna kehijauan, bukan luka baru."
Sela menunjuk rahang Anita. "Luka rahang ini dibilang kak Aidan 'kecelakaan di kamar mandi'. Tapi memar di kaki dan bahu yang sempat kulihat di balik baju tidurmu itu... itu luka lama. Luka yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan sekali jatuh."
Sela menatap Anita dengan mata memohon. "Kak, apa Kak Aidan... apa dia yang melakukan ini?"
Anita terkejut. Meskipun ia sudah menduga kecurigaan ini, mendengar Sela mengucapkannya langsung membuatnya panik. Tubuhnya menegang, dan rasa sakit di perutnya kembali berdenyut tajam. Ia harus melindungi Sela. Aidan bisa melakukan apa saja jika ia tahu Sela ikut campur.
Anita terpaksa menjadi penipu ulung.
Ia segera meraih pulpen dan menulis dengan cepat, garis tulisannya tegas, menyembunyikan getaran tangannya.
[Sela, cukup! Jangan pernah menuduh Mas Aidan seperti itu! Kamu tidak tahu apa yang kamu bicarakan.]
[Aku yang ceroboh. Aku yang panik dan sering terjatuh sejak Kevin meninggal. Memar itu sudah lama, mungkin aku terbentur saat mengambil barang di gudang toko. Aku yang membuat Aidan sakit hati karena aku tidak bisa menjaga Kevin!]
Anita sengaja menggunakan duka Kevin sebagai perisai dan senjata. Ia menatap Sela dengan ekspresi yang ia harap terlihat marah—marah karena dituduh berkhianat pada suaminya.
[ Mas Aidan sangat mencintaiku. Dia hanya lelah mengurusku dan bisnis di tengah dukanya. Tolong, jangan buat dia semakin terbebani dengan pikiranmu yang tidak-tidak. Dia butuh kita.]
Sela terdiam. Ia melihat bagaimana Anita mati-matian membela Aidan, bahkan dengan mata yang jelas-jelas menyimpan ketakutan. Sela yakin, kebohongan ini adalah perisai yang didirikan Anita untuk dirinya sendiri, atau lebih buruk, untuk melindungi pelaku.
"Tapi Kak," Sela mencoba lagi. "Aku hanya ingin memastikan—"
Anita menunjuk tumpukan laporan di mejanya, isyarat universal bahwa pembicaraan telah usai. Ia mengambil napas dalam-dalam, mengangguk singkat, dan menatap Sela dengan pandangan yang kaku dan profesional. Ia telah membuat jarak.
Sela mengerti isyarat itu. Ia bangkit dengan berat hati. Ia tahu ia tidak akan mendapatkan jawaban langsung dari Anita.
"Baik, Kak Anita," Sela mengalah. Ia melangkah maju, memeluk Anita dengan erat. Saat memeluk, Sela berbisik pelan, "Aku tidak akan percaya kebohonganmu, Kak. Tapi aku akan diam. Aku janji, aku akan mencari tahu sendiri. Kalau ada apa-apa, kamu harus janji telepon aku. Jangan telepon kak Aidan."
Anita membalas pelukan Sela dengan kaku. Rasa sakit di perutnya membuat ia menahan napas. Ia mengangguk kecil, anggukan yang diam-diam menyetujui perjanjian rahasia Sela. Ia bersyukur Sela akan diam, meskipun ia tahu Sela kini dalam bahaya karena mulai menyelidiki.
Setelah Sela pergi, meninggalkan kantor dan gemerincing lonceng pintu toko, Anita ambruk di kursinya.
Ia telah berhasil. Ia telah meyakinkan Sela bahwa ia hanyalah wanita rapuh yang ceroboh. Ia telah menjadi penipu ulung. Namun, kebohongan itu terasa pahit. Ia menutup mata, menahan rasa sakit di perutnya, dan membiarkan air mata mengalir diam-diam. Rasa duka karena keguguran yang baru saja ia sadari, rasa sakit di rahangnya, dan rasa bersalah karena menipu iparnya, semuanya menyatu.
Ia memeluk perutnya yang kini terasa kosong. "Anakku... maafkan Mama.'
Ia memaksa dirinya membuka mata. Tidak ada waktu untuk duka. Duka adalah kemewahan. Ia harus bertahan. Ia harus fokus pada toko kuenya. Rasa sakit ini adalah sahabat, dan Senyum Tiramisu harus tetap manis, demi kelangsungan hidupnya.