"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Minggu-minggu berlalu. Maya semakin terbiasa dengan rutinitasnya di rumah Arya. Ia membersihkan, memasak, dan merawat taman sesekali. Hubungannya dengan Bi Sumi baik-baik saja. Namun, yang paling menonjol adalah perubahan dalam interaksinya dengan Arya. Perhatian-perhatian kecil, percakapan ringan, dan tatapan-tatapan intens dari Arya semakin sering terjadi. Ini membuat jantung Maya berdebar, dan pikiran Tama seolah semakin menjauh.
Seperti pagi ini, saat Maya sedang membersihkan ruang keluarga. Ia sedang mengelap jendela besar yang menghadap taman. Cuaca cerah, sinar matahari masuk menembus kaca. Ia fokus pada pekerjaannya, sesekali melirik ke arah taman tempat Bi Sumi sedang menyiram tanaman.
Tiba-tiba, ia merasakan sebuah kehadiran. Aroma maskulin yang familiar. Ia menoleh. Arya. Pria itu berdiri di ambang pintu geser yang menghubungkan ruang keluarga dengan teras. Ia mengenakan celana jogger abu-abu dan kaus polos hitam yang pas di tubuhnya, menonjolkan otot lengannya. Sebuah handuk kecil tersampir di lehernya. Ia terlihat seperti baru selesai berolahraga.
"Pagi, Mbak Maya," sapanya, suaranya tenang.
"Pagi, Tuan," jawab Maya, segera menegakkan tubuh.
Arya melangkah masuk, menyeka keringat di dahinya dengan handuk. Matanya menatap Maya, senyum tipis di bibirnya. "Rajin sekali. Pagi-pagi sudah bersih-bersih."
"Sudah kewajiban saya, Tuan," kata Maya. Ia berusaha keras tidak terlihat terpengaruh oleh kehadiran Arya yang begitu dekat.
"Anda selalu terlihat fokus saat bekerja," Arya berkomentar, melangkah mendekat ke arah jendela tempat Maya berdiri. Ia berdiri di samping Maya, menatap ke luar jendela. Jarak mereka begitu tipis, Maya bisa merasakan kehangatan tubuh Arya di sampingnya.
Maya hanya tersenyum tipis. Aroma Arya yang segar dan maskulin memenuhi indra penciumannya.
"Saya perhatikan, rumah ini selalu bersih dan rapi sejak Anda bekerja di sini," kata Arya, menoleh, matanya menatap Maya lekat-lekat. "Anda sangat teliti."
Pujian itu membuat pipi Maya sedikit memanas. Ia menunduk, pura-pura memeriksa noda di kaca. "Saya cuma melakukan yang terbaik, Tuan."
"Saya tahu," Arya terkekeh pelan. "Dan saya menghargai itu."
Ada jeda singkat. Maya bisa merasakan tatapan Arya masih padanya. Ia merasa seolah Arya sedang memindai setiap inci tubuhnya. Getaran aneh muncul di perutnya.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar suami Anda?"
Arya tiba-tiba bertanya, suaranya kembali netral.
Maya mengangkat kepalanya. "Baik, Tuan. Dia sibuk di bengkelnya."
Arya mengangguk. "Senang mendengarnya." Ia menggeser pandangannya ke luar jendela lagi. "Saya suka pemandangan dari sini. Hijau dan segar."
"Iya, Tuan. Taman Anda memang bagus," kata Maya, merasa lega karena topik kembali ke hal yang aman.
Arya tersenyum tipis. "Anda tahu, saya sering merasa sendirian di rumah sebesar ini." Ia menoleh ke arah Maya lagi, matanya menyiratkan kesepian yang samar. "Anda...
membuat rumah ini terasa lebih hidup."
Hati Maya berdesir. Kata-kata itu. "Terima kasih, Tuan," bisiknya, hampir tak terdengar.
"Tidak, saya yang harusnya berterima kasih. Anda sudah banyak membantu," kata Arya, suaranya melembut. Ia kemudian menjauh sedikit. "Baiklah, saya mau mandi dulu. Gerah sekali habis olahraga."
"Baik, Tuan," kata Maya.
Arya mengangguk, lalu melangkah pergi. Maya menghela napas panjang, bersandar pada kusen jendela. Ia memejamkan mata. Kalimat Arya, "Anda membuat rumah ini terasa lebih hidup," terngiang-ngiang di benaknya. Sebuah pujian yang begitu personal, begitu menyentuh.
Ia membuka matanya, menatap keluar jendela. Taman yang asri, kolam renang yang biru. Kehidupan yang
sangat berbeda dengan dunianya. Dan di tengah semua itu, ada Arya, sang pemilik. Pria yang semakin hari semakin menarik perhatiannya.
***
Beberapa hari kemudian, Maya sedang mencuci pakaian di area laundry di lantai bawah. Ruangan itu dilengkapi mesin cuci modern dan pengering. Ia memasukkan pakaian Arya ke dalam mesin cuci. Ia mengambil beberapa kaos Arya yang terlipat rapi di keranjang. Kaos-kaos itu masih sedikit hangat, seolah baru saja dilepas. Aroma Arya yang khas menempel pada kain.
Saat ia sedang memasukkan kemeja-kemeja ke dalam mesin, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh. Arya. Pria itu berdiri di ambang pintu, membawa sebuah map di tangannya. Ia mengenakan kemeja dan celana bahan yang rapi, siap untuk berangkat kerja.
"Pagi, Mbak Maya," sapanya.
"Pagi, Tuan," jawab Maya.
"Sedang mencuci? Pagi-pagi sudah sibuk," kata Arya, melangkah masuk ke ruangan. Ruangan itu tidak terlalu besar, membuat Arya terasa sangat dekat.
"Iya, Tuan. Memang jadwalnya," kata Maya.
Arya berdiri di sampingnya, melihat Maya memasukkan pakaian ke mesin cuci. Ia mengamati setiap gerakan Maya. Maya bisa merasakan tatapan Arya padanya, matanya sesekali melirik ke arah lengannya yang bergerak, atau ke punggungnya saat ia sedikit membungkuk.
"Kemeja saya sudah dicuci semua?" tanya Arya.
"Sudah, Tuan. Semalam sudah saya setrika juga," jawab Maya.
"Bagus. Anda sangat cekatan," puji Arya, suaranya rendah. "Saya suka cara Anda melipat pakaian saya."
Pujian itu lagi-lagi membuat Maya tersipu. Ia merasa canggung, namun sekaligus ada perasaan senang yang aneh.
"Saya harus segera berangkat," kata Arya, ia melirik jam tangannya. "Oh ya, ada satu hal lagi."
"Ada apa, Tuan?"
"Saya ingin Anda mencari beberapa buku di gudang.
Kemarin saya lupa di mana letaknya," Arya membuka map di tangannya. "Judulnya..." Arya menyebutkan dua judul buku. "Saya butuh buku itu untuk referensi."
Maya mengangguk. "Baik, Tuan. Nanti saya cari."
"Saya ingin Anda mencarinya sekarang. Saya ada waktu sedikit sebelum berangkat," kata Arya, nadanya seperti sebuah perintah yang lembut. "Saya akan temani Anda."
Hati Maya berdesir. Ini adalah alasan lain untuk menghabiskan waktu berdua. Ia tidak bisa menolak.
"Baik, Tuan."
Arya tersenyum puas. "Ayo."
Mereka berjalan menuju gudang di belakang dapur.
Arya membuka pintu gudang yang agak gelap. Aroma apek dan debu kembali menyergap.
"Coba cari di rak paling atas sana," Arya menunjuk ke sebuah rak yang tinggi. "Saya rasa ada di tumpukan itu."
Maya melihat ke atas. Rak itu memang tinggi, dan tumpukan bukunya terlihat sedikit goyah. "Agak tinggi, Tuan."
"Tidak masalah. Saya bantu," kata Arya. Ia melangkah mendekat, berdiri di belakang Maya. "Saya bisa mengambilkan kursi kecil untuk Anda."
"Tidak usah, Tuan. Saya coba raih saja," kata Maya. Ia berdiri di jajaran buku, menjinjitkan kakinya, mencoba meraih salah satu buku yang dimaksud Arya. Lengannya terulur ke atas, membuat punggungnya sedikit melengkung.
Tiba-tiba, ia merasakan tangan Arya menyentuh punggungnya. Sebuah sentuhan ringan, namun terasa seperti sengatan listrik. Arya tidak langsung menarik tangannya. Jari-jari Arya menyentuh punggungnya, lalu bergerak naik perlahan, seperti membantu menopang, atau... entahlah.
"Hati-hati," bisik Arya, suaranya dekat sekali, tepat di telinga Maya. Napas hangatnya menerpa leher Maya.
Maya menahan napas. Seluruh tubuhnya menegang. Ia bisa merasakan kehangatan tangan Arya di punggungnya. Sentuhan itu bukan lagi 'tak sengaja'. Ini disengaja. Sebuah sensasi aneh menjalar di sekujur tubuhnya, perpaduan antara ketakutan dan gairah yang membakar.
"Sudah dapat bukunya?" tanya Arya, suaranya serak.
Maya segera menarik tangannya dari buku, jantungnya berpacu tak karuan. Ia berbalik, menatap Arya. Pria itu masih berdiri sangat dekat di belakangnya. Tangannya sudah tidak lagi menyentuh punggung Maya, namun kehangatannya masih terasa. Mata Arya menatapnya dalam, sebuah senyum tipis, penuh arti, terukir di bibirnya. Sebuah senyum yang seolah mengatakan, "Aku tahu apa yang aku lakukan."
"Belum, Tuan," kata Maya, suaranya tercekat. Ia bisa merasakan wajahnya memerah padam.
Arya terkekeh pelan. "Kalau begitu, coba lagi. Atau saya bantu."
Maya menatap Arya. Ia tahu Arya sedang mengujinya. Ia tahu pria ini sengaja melakukan ini. Sebuah permainan. Dan ia merasa ditarik lebih dalam ke dalamnya.
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya