Suamiku punya dua identitas? Mana yang benar?
Demi adik yang sedang tertidur panjang dalam komanya, Ellena akhirnya memutuskan menerima ajakan menikah dari seorang pria yang paling dia benci. Namun, apakah lelaki itu memang sejahat itu? Seiring berjalannya waktu, Ellena mulai meragukan itu. Akan tetapi, kehadiran sosok Darren yang tak pernah Ellena ketahui keberadaannya selama ini, seketika membuat keraguan Ellena kembali menguap. Mana sosok asli yang sebenarnya dari suaminya? Bima atau Darren?
Selamat datang di dunia percintaan yang bertabur intrik perebutan harta dan tahta!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Pukul 11 siang, Ellena sudah berada di rumah sakit untuk menjenguk Ellio, adik kembarnya. Hari ini sama seperti hari-hari yang sudah lalu. Ellena akan bercerita panjang lebar, sesekali memberikan pertanyaan yang sudah pasti tidak akan bisa di jawab Ellio pada kondisi yang sekarang. Lelaki tampan yang usianya hanya berbeda 5 menit dari El itu masih saja setia tertidur walau sudah 4 tahun lamanya tanpa bosan sama sekali.
Ellio masih sama bagi Ellena seperti 4 tahun lalu. Kulitnya putih bersih, alis tebal terkesan tegas dan tubuh jangkung persis ibu mereka. Bahkan El masih mengingat bola mata Ellio yang berwarna hitam persis miliknya. Tetapi, Ellio dan Ellena memiliki perbedaan terutama pada tinggi badan mereka. Ellio mewarisi tinggi badan ibu mereka yang memang lebih tinggi dari ukuran wanita indo biasanya. Sedangkan ayah mereka justru lebih pendek, dan itulah satu-satunya hal yang El warisi dari perawakan ayahnya. Selebihnya, ia dan Ellio mirip secara bentuk wajah dan warna kulit yang membuat orang-orang terkadang kagum dengan paras mereka.
"Hei, Li !!! Aku sekarang udah nikah loh ! Maaf ya, akhir-akhir ini aku jarang jenguk kamu ! Maaf juga, kakak ipar kamu belum bisa ke sini. Sebenarnya, dia memang gak aku ajak sih, soalnya buat apa juga ?". Ellena tertawa sumbang sambil menatap jari tangannya yang bertautan dengan jemari Ellio.
"Aku udah cerita kan ke kamu ? Tentang pernikahan kontrak aku sama dia. Jadi, ya...." Ucapan El menggantung, ia kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Mungkin dia gak akan mau dan gak akan peduli kalau aku ngomong tentang kamu ke dia." Lanjut Ellena dengan suara lemah nyaris seperti bisikan. Matanya memandang wajah tampan Ellio yang nampak pucat di hadapannya. Rasanya El sangat ingin mengguncang tubuh Ellio agar lelaki itu bisa terbangun dan mendengar seluruh keluh kesahnya selama ini. Ada banyak kisah yang ingin El bagi dengan Ellio.
Ada banyak luka yang tidak sanggup El tampung sendirian dan berharap Ellio bisa berbagi dengannya. Ellena ingin membagi semuanya dengan adik kembarnya. Ia ingin menceritakan tentang bagaimana dunia memperlakukan dia dengan tidak adil hanya karena ia seorang yatim piatu. Ia ingin dirinya dan Ellio bisa berpelukan dan menangis bersama seperti dulu kala mereka kecil dulu. Sesaat kemudian, El kembali menerawang jauh kejadian beberapa waktu lalu, saat ia berkunjung ke kediaman keluarga Mahardika. Ia masih mengingat jelas, apa yang ia katakan pada Oma dan tantenya. Kurang lebih 2 bulan lagi ia akan berumur 21 tahun. Dan itu adalah saat di mana seluruh harta peninggalan ayahnya akan resmi berada dalam kuasa Ellena sepenuhnya. Tetapi, yang menjadi masalah sekarang adalah apakah Ellena punya kekuatan untuk melawan mereka ? Sementara Ellena tahu, Oma dan tantenya selalu punya seribu satu cara untuk membuat dia jatuh dan gagal mencapai apa yang El inginkan.
*
*
*
Sementara di kantor, Bima sedang menghampiri Okta, sekretarisnya untuk menanyakan schedule nya hari ini. Pria itu mendekati meja Okta dengan tangan kanan yang berada di pinggang dan tangan kiri yang sedang mengosok-gosok dagunya.
"Apa saya punya kegiatan penting hari ini, Okta ?".
Okta segera memeriksa ipad mini miliknya."Sampai jam 4 sore anda bebas. Tapi jam 5 sore anda ada undangan pesta ulang tahun pernikahan dari Tuan Syakkir Assegaf pemilik Dream corporation."
Bima nampak menggaruk ujung alisnya seraya berpikir sebelum lelaki itu menjawab dengan cepat. "Untuk undangan itu, abaikan saja. Saya rasa tidak ada untungnya saya berada disana." Setelahnya, lelaki itu pergi begitu saja, menuju ke arah lift. Saat menunggu lift terbuka, ia kembali berteriak. "Oh iya, Okta jika ada yang mencari saya, bilang saya sedang ada urusan di luar !".
Okta yang berada sekitar 6 meter darinya mengangguk sambil membungkuk hormat sebelum pria itu masuk kedalam lift yang sudah terbuka. "Baik pak !."
Bima sekarang sedang memasuki sebuah restoran elit sambil meletakkan ponselnya di kuping kanannya. Pria itu sedang ada janji dengan seseorang untuk makan siang di restoran tersebut hari ini. Hampir semua mata orang yang sedang makan di restoran itu terpusat pada pria yang baru saja memasuki restoran itu dengan setelan jas abu-abunya serta kacamata hitam yang bertengger sempurna di hidung mancung pria itu. Sementara Bima hanya cuek dan acuh, menganggap seolah mereka tidak ada dan hanya berfokus pada panggilan teleponnya sambil mencari-cari dimana tempat lawan bicaranya sedang duduk.
Tampak dari jarak sekitar 5 meja dari tempat Bima berdiri sekarang, seorang wanita melambaikan tangannya ke arah Bima. Lelaki itu kemudian mematikan ponselnya dan kembali menaruhnya di saku celana lalu bergegas menuju tempat wanita itu duduk. Melihat Bima yang semakin mendekat, wanita itu segera bangkit dan menghadiahkan pelukan pada Bima dengan mesranya.
"Hai sayang, apa kabar ?". Wanita itu mengecup lembut pipi Bima sebelum melepas pelukannya dari tubuh atletis pria yang baru saja datang itu.
Bima tersenyum, lalu duduk di depan wanita itu. "Aku baik. Kamu gimana ?". Tanyanya basa-basi.
Wanita itu mengangkat bahunya. "Yahhh seperti yang kau lihat ! Aku baik-baik saja. Hanya saja, aku sedang marah padamu."
Bima melepas kacamata hitamnya, menaruhnya di dalam saku jas miliknya kemudian ia mengangkat alis kirinya. "Kenapa ?".
Wanita itu memundurkan punggungnya hingga menabrak sandaran kursi dengan wajah yang terlihat kesal. "Kau kemana saja ? Setelah 2 bulan tanpa kabar, baru sekarang kamu menghubungiku."
Bima ikut memundurkan tubuhnya, hingga ikut bersandar di kursi. Tangan kirinya mengetuk-ngetuk permukaan meja pelan."Aku sibuk."
"Sibuk apa ?".
"Banyak hal yang harus aku urus akhir-akhir ini. Jadi aku....."
"Bilang saja, kau sudah melupakan aku !". Potong wanita itu cepat.
Tiba-tiba saja wajah ramah Bima berubah menjadi dingin dengan tatapan mata yang jauh lebih menusuk dari biasanya.
"Sandara, jangan memotong kalimatku ketika sedang berbicara. Berapa kali aku harus bilang ke kamu ?".
Wanita yang ternyata bernama Sandara itu langsung berwajah pias ketika menyadari dia baru saja melakukan kesalahan fatal di hadapan Bima. Ia lupa bahwa lelaki dihadapannya ini, tidak suka jika kalimatnya di potong oleh orang lain. Dengan susah payah Sandara meneguk ludahnya kasar. Raut wajahnya jelas menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Bagi Sandara, wajah dingin Bima sudah biasa dilihatnya. Namun, wajah dingin Bima yang sekarang benar-benar terasa jauh lebih menyeramkan dari biasanya. Dengan kadar segini, sudah cukup membuat Sandara hampir tidak bisa bernapas sekarang.
"Ma... Ma.. Maafkan aku !" Ucap Sandara ketakutan. Matanya tertunduk menatap tautan jemarinya sendiri. Sama sekali tidak berani menatap mata Bima sekarang.
"Itulah sebabnya aku tidak suka menemuimu, Sandara. Ku pikir, hari ini aku bisa bersenang-senang denganmu hari ini. Tapi baru sebentar saja, kamu sudah berani berulah. Kamu lupa, siapa yang bikin kamu seperti sekarang ?".
"Bima, aku sudah meminta maafkan ? Lagipula, itu hanya hal sepele ! Tolong maafkan kecerobohanku sekali ini saja ! Please !". Sandara mulai memelas. Sejak tadi, ia bergerak-gerak gelisah di tempat duduknya sendiri.
Bima menghela napas lalu bangkit dari kursinya. "Makan siang kita hari ini di tunda. Lain kali saja !". Bima kemudian melangkah pergi tanpa menghiraukan Sandara yang memanggil-manggilnya dari belakang.
Sandara yang terlihat frustasi melampiaskan amarahnya dengan memukul meja di hadapannya. Sesaat kemudian wanita cantik itu mengacak rambut indahnya dengan kesal. Sudah dua bulan ini ia mati-matian menghubungi Bima, namun baru sekarang ia bisa bertemu dengan pria tampan kaya raya itu. Namun lihatlah sekarang. Sandara merasa benar-benar marah pada dirinya sendiri. Karena ulahnya yang terlalu lancang, akhirnya Bima malah pergi meninggalkannya begitu saja.