Di tengah gelapnya dunia malam, seorang Gus menemukan cahaya yang tak pernah ia duga dalam diri seorang pelacur termahal bernama Ayesha.
Arsha, lelaki saleh yang tak pernah bersentuhan dengan wanita, justru jatuh cinta pada perempuan yang hidup dari dosa dan luka. Ia rela mengorbankan ratusan juta demi menebus Ayesha dari dunia kelam itu. Bukan untuk memilikinya, tetapi untuk menyelamatkannya.
Keputusannya memicu amarah orang tua dan mengguncang nama besar keluarga sang Kiyai ternama di kota itu. Seorang Gus yang ingin menikahi pelacur? Itu adalah aib yang tak termaafkan.
Namun cinta Arsha bukan cinta biasa. Cintanya yang untuk menuntun, merawat, dan membimbing. Cinta yang membuat Ayesha menemukan Tuhan kembali, dan dirinya sendiri.
Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipertemukan di tempat paling gelap, namun justru belajar menemukan cahaya yang tak pernah mereka bayangkan.
Gimana kisah kelanjutannya, kita simak kisah mereka di cerita Novel => Penebusan Ratu Malam.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Keesokan harinya, jauh sebelum fajar menyapa, Arsha sudah terjaga dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata perlahan, mencoba mengusir sisa kantuk yang masih menggelayut.
Di tengah keheningan sepertiga malam itu, bayangan seseorang seketika melintas di benaknya, siapa lagi kalau bukan Ayesha. Sebuah senyum tipis terukir di bibir Arsha saat mengingat wajah wanita itu, meski ia tahu ada mendung duka yang sedang menyelimutinya.
"Ya Allah, jika memang dia ditakdirkan untukku, mudahkanlah perjalananku untuk memuliakan dan menghalalkannya," gumam Arsha lirih dalam hati.
Baginya, Ayesha bukan sekadar wanita yang butuh dikasihani, melainkan jiwa yang ingin ia peluk dengan doa. Arsha bangkit dari tempat tidur, melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu membasuh wajah serta anggota tubuhnya dengan air wudhu yang dingin dan menyegarkan.
Setelah mengenakan sarung dan kopiahnya, ia membentangkan sajadah di sudut kamar yang tenang. Dengan hati yang tertuju sepenuhnya pada Sang Pemilik Semesta, Arsha mengangkat kedua tangannya.
"Allahu Akbar..."
Suara takbir itu menggema rendah, memulai dialog sunyinya dengan Tuhan, memohon kekuatan untuk dirinya dan ketabahan bagi wanita yang sedang ia perjuangkan.
~
Sementara itu, di sudut kota yang berbeda, suasana kontras menyelimuti kediaman Ayesha. Di balkon kamar yang dilingkupi udara malam yang menusuk tulang, Ayesha masih terjaga.
Matanya memerah, bukan hanya karena tangis yang tak kunjung usai, tapi juga karena kurang tidur yang menyiksa. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa kemarin sang ibu masih bernapas di sisinya, namun kini hanya menyisakan sunyi.
Ayesha duduk meringkuk di kursi rotan, menatap kekosongan malam. Di tangannya, sebuah gelas berisi minuman beralkohol terasa dingin. Ia menenggaknya perlahan, membiarkan rasa pahit itu membakar tenggorokannya, berharap rasa getir cair itu bisa mengalihkan rasa perih di dadanya.
Tak jauh dari situ, sebatang rokok yang menyala terselip di jemarinya, asapnya mengepul tipis, menari-nari sebelum hilang ditelan angin malam.
Ia tahu Arsha pernah menasihatinya dengan sangat lembut tentang cara-cara sehat mengelola stres, namun bagi Ayesha, melepaskan alkohol dan rokok saat ini terasa seperti kehilangan pegangan terakhir. Baginya, racun-racun itu adalah pelarian instan dari kenyataan yang terlalu pahit untuk ditelan mentah-mentah.
"Tuhan..." gumamnya lirih, menatap langit malam yang kelam seolah sedang berbicara langsung dengan Sang Pencipta atau mencari jejak roh ibunya di antara bintang. "Arsha pria yang sangat baik. Dia begitu suci, begitu tertata..."
Ia mengembuskan asap rokoknya dalam-dalam, lalu menunduk menatap gelasnya yang mulai kosong. "Apakah aku yang kotor ini pantas untuk mendapatkan pria sebaik dan semulia dia?"
Pertanyaan itu terus berputar, menciptakan lubang keraguan yang besar di hatinya. Di satu sisi, ia merasa sangat membutuhkan kehadiran Arsha sebagai kompas di hidupnya yang hilang arah. Namun di sisi lain, ia merasa dirinya hanyalah noda yang tak pantas bersanding dengan cahaya yang dipancarkan oleh seorang Gus seperti Arsha.
Malam itu, di bawah langit yang sama, dua insan ini terpisah oleh cara mereka mencari ketenangan, namun terikat oleh satu nama yang saling memikirkan.
Pagi menyapa dengan sisa-sisa embun yang masih menempel di dedaunan. Tepat pukul tujuh, Arsha sudah memarkirkan mobilnya dengan tenang di depan rumah Ayesha. Di kursi penumpang, terdapat dua kotak makan berisi nasi hangat dan lauk sederhana yang sengaja ia siapkan. Arsha tahu, dalam kondisi berduka, makan seringkali menjadi hal terakhir yang dipikirkan seseorang, dan ia tidak ingin Ayesha jatuh sakit.
Arsha turun dari mobil, merapikan kemeja kokonya yang berwarna abu-abu muda. Wajahnya tampak segar setelah sapaan air wudhu di penghujung malam tadi. Dengan langkah yang mantap namun penuh kesantunan, ia melangkah menuju pintu kayu itu dan mengetuknya perlahan.
"Assalamualaikum," ucapnya lembut, suaranya rendah agar tidak mengagetkan penghuni rumah.
Tak ada jawaban. Arsha menunggu sejenak, lalu kembali mengetuk dengan pola yang sama. "Ayesha?"
Di dalam rumah, Ayesha tersentak dari lamunan panjangnya di sofa ruang tamu. Ia belum sempat mengganti pakaian sejak semalam, matanya sayu dan rambutnya sedikit berantakan.
Saat mendengar suara Arsha, kepanikan kecil melanda dirinya. Ia segera melirik ke arah meja kopi di depannya masih ada asbak yang penuh dengan puntung rokok dan sebuah botol minuman yang isinya tinggal sedikit.
"I-iya, sebentar!" sahut Ayesha parau.
Dengan terburu-buru, ia menyembunyikan botol itu di balik lemari bawah dan mencoba mengibas-ngibaskan tangannya untuk menghalau aroma tembakau yang masih pekat memenuhi ruangan. Ia membuka jendela lebar-lebar sebelum akhirnya melangkah menuju pintu dan membukanya sedikit.
Begitu pintu terbuka, sosok Arsha yang bersih dan bercahaya berdiri di sana, kontras dengan suasana rumah yang suram. Arsha tersenyum tulus, namun penciumannya yang tajam segera menangkap sesuatu yang tidak asing, aroma tembakau yang menusuk dan sisa bau alkohol yang menguap di udara.
Arsha terdiam sejenak. Tatapannya beralih ke mata Ayesha yang tampak lelah, lalu kembali ke wajah wanita itu dengan tatapan yang tetap teduh, tanpa ada secercah pun kemarahan atau penghakiman di sana.
"Selamat pagi, Ayesha," sapa Arsha, seolah mengabaikan aroma yang memenuhi ruangan. Ia mengangkat dua kotak makan yang dibawanya. "Aku membawakan sarapan. Kita tidak bisa menghadapi hari yang berat dengan perut kosong, bukan?"
Ayesha menunduk, merasa malu yang luar biasa. Ia tahu Arsha pasti menyadarinya. "Arsha... maaf, rumahnya berantakan. Aku... aku belum sempat membereskan apa pun."
"Tidak apa-apa," jawab Arsha santun. "Boleh aku masuk? Atau kita sarapan di teras saja agar udaranya lebih segar?"
Arsha menawarkan pilihan itu dengan sangat halus, sebuah isyarat bahwa ia ingin membantu Ayesha menghirup udara yang lebih bersih tanpa harus menegur gaya hidupnya secara langsung.
Ayesha mengangguk pelan, merasa dadanya sesak oleh kebaikan pria itu. "Di teras saja, Arsha. Maaf... aku benar-benar berantakan hari ini."
Arsha meletakkan kotak makan di meja teras yang kecil. "Manusia punya cara masing-masing untuk bertahan dari rasa sakit, Ayesha. Tapi ingat, ada cara yang menyembuhkan, dan ada cara yang hanya sekadar menunda luka. Aku di sini untuk membantumu menemukan cara yang pertama."
...----------------...
**Next Episode**....
duh Gusti nu maha agung.... selamatkan keduanya.