Jingga membenci kakaknya yang sudah berada di surga.
Kakak perempuannya itu sudah tiada sebelum Jingga lahir.
Membencinya adalah satu-satunya cara Jingga untuk menghadapi ibunya. Dia sering membandingkan dan mengira dirinya adalah mendiang kakaknya, Biru.
Jingga juga membenci Bagus dan Nadine, mereka adalah pacar dan sahabatnya yang tega mengkhianatinya.
Orang yang bisa mengerti Jingga hanyalah ayahnya, tapi dia jarang di rumah.
Sebenarnya masih ada satu orang lagi, meski terkadang menyebalkan, tapi sikapnya begitu baik dan pengertian terhadap Jingga. Dia adalah Langit.
Jingga butuh dukungan dari Langit, tapi Langit adalah mantan pacar mendiang kakaknya.
Langit jauh lebih tua darinya!
Tapi, daripada punya pacar seumuran yang mengkhianatinya, lebih baik punya pacar tua. Bukan?
Temui kisahnya hanya ada di Langit Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy_Ar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pak Faris
Maxim yang melihat kedatangan Langit di ikuti seorang gadis berseragam SMA membuatnya sedikit terkejut dan mengerutkan dahi nya. Baru saja dirinya hendak bertanya, namun tangan Langit sudah memberikan intrupsi untuk tidka banyak bertanya. Karena ternyata Langit sudah bisa menebak raut wajah penasaran di kening Maxim.
“Kau tunggu di sana, setelah meeting selesai, baru ku antar!” kata Langit datar, lalu ia segera pergi menuju ruang meeting.
“Hay adik manis, kamu siapa?” tanya Maxim setelah Langit pergi.
“Jingga Om,” jawab Jingga masih sedikit bingung, “Om siapa? Asisten nya om Langit ya?”
‘Si Langit nemu cewek bening begini darimana sih? Astaga,’ gumam Maxim dalam hati ketika melihat wajah Jingga yang begitu polos dan kalem.
“Iya, saya asisten nya Langit. Kenapa kamu bisa kesini?” tanya Maxim lagi sedikit bingung, Maxim yakin bahwa Langit dan Jingga tidak memiliki hubungan apapun.
“Gak tau Om, tadi om Langit maksa saya untuk kesini,” jawab Jingga sedikit lemah, “Om aku laper banget,” imbuh nya sambil mengusap perut nya.
“Aku capek banget om, semua nya tenaga ku udah ke kuras habis gara gara om Langit,” katanya lagi dengan wajah yang begitu lemas, hingga membuat pikiran Maxim mulai terkontaminasi.
'Aku udah ngomong panjang lebar di mobil, tapi gak pernah di tanggepin. Emang bener bener papan tulis itu orang. Datar, lempeng, ngeselin huh!' gumam Jingga dalam hati memberengut kesal.
‘Langit, bisa bisa nya kamu habis menggempur cewek di bawah umur terus gak kamu kasih makan,’ gumam Maxim dalam hati lagi dan berdecak.
“Ya sudah, kamu mau makan apa? Aku pesan kan, ya?” tawar Maxim seketika membuat mata Jingga begitu berbinar.
Jingga langsung menganggukkan kepala nya dengan cepat, lalu Maxim memesankan makanan untuk Jingga. Setelah itu, Maxim segera pamit dan menyusul Langit sebelum atasan nya itu murka karena dirinya terlalu lama belum menyusul.
Sambil menunggu makanan datang, Jingga berkeliling di ruangan Langit, mengamati setiap desain dan interior di ruangan itu. Ruangan bernuansa biru dan putih, hingga membuat Jingga kembali menghela nafas nya kasar.
‘Gak cuma kantor Ayah yang serba biru. Ini juga,’ gumam nya berdecak, ‘Nanti kalau aku udah lulus sekolah lulus kuliah, aku akan membuat kantor ku sendiri, dan dari luar hingga dalam semua harus warna Jingga!’ tekat nya memanyunkan bibir kembali.
‘Bahkan bila perlu, karyawan ku nanti harus pakai seragam jadi Jingga. Eh tapi seragam orange malah jadi kaya—. Ah tau ah!' pekik Jingga kesal sendiri menghentakkan kaki nya ke lantai dengan begitu kesal.
Sementara itu, Langit yang sudah selesai dengan meeting nya, ia masih sempat mengobrol sebentar dengan klien nya yang ternyata adalah orang yang begitu ia kenal. Orang yang selama ini ingin bertemu dan menjalin kerja sama dengan nya, tak lain dan tak bukan adalah orang tua dari alm. kekasih nya. Ya, dialah Faris, orang tua dari Biru.
“Sekali lagi, saya minta maaf karena selalu—“
“Sudahlah Lang, pekerjaan kita sudah selesai, jangan terlalu formal, kita bisa mengobrol santai,” kata pak Faris hingga membuat Langit tersenyum tipis.
Memang om Faris adalah sosok orang baik, humble namun juga tegas. Meski dulu dirinya tidak terlalu lama mengenal sosok pak Faris, namun dirinya sudah cukup dekat setiap kali mengantar atau menjemput Biru dulu.
“Bagaimana sekarang? Sudah berapa anak kamu?” tanya ayah Faris mencoba tersenyum.
“Saya belum menikah Om,” jawab Langit tersenyum getir, tentu saja hal itu membuat ak Faris sedikit terkejut.
“Kenapa? Jangan bilang, kamu—“
“Iya Om, saya belum bisa melupakan Biru. Saya masih berharap bahwa Biru amis hidup,” jawab Langit menghela nafas nya dengan berat.
“Lang, putri saya sudah tenang di sana. Lupakan dia, demi kebaikan kamu, demi masa depan mu. Saya yakin, masa depan kamu akan jauh lebih indah dan berwarna, saya tidak mau putri saya terbebani di sana. Karena harus melihat dua orang yang di cintai nya belum bisa mengikhlaskan nya. Kamu dan bunda nya, jadi saya mohon, lepaskan Biru dan mulai lah kehidupan kamu.” Jelas pak Faris panjang lebar.
Langit terdiam, tak hanya pak Faris yang memintanya melepaskan Biru, namun juga Maxim, Gerry juga keluarga nya. Apakah mungkin ini benar sudah saat nya ia melangkah dan meninggalkan masa lalu nya.
