Sya yang merupakan fresh graduate tahun ini telah diterima bekerja di PT Santoso Group. Di hari pertamanya bekerja dia dikagetkan dengan seorang bocah berusia 3 tahun yang memanggilnya " Bunda".
" Dunda.. Dunda.. Kendla mau pipis. " seorang bocah laki-laki menarik celana kerjanya saat Sia berdiri di lobi kantor.
Maureen Calisya Putri ( 23 )
Sungguh mengejutkan ternyata bocah yang memanggilku Bunda adalah anak dari pemilik perusahaan tempatku bekerja.
Raditya Diko Santoso ( 30 )
Kamu hanya akan menjadi ibu sambung untuk anakku karena dia menginginkannya.
Bagaimana perjalanan kisah mereka disaat salah satu diantara mereka melanggar perjanjian yang sudah disepakati?
Akankah terus bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggi Dwi Febriana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan Masuk
" Gue tau lo mau mengalihkan pembicaraan lagi kan? udahlah, basi tau." Ucap Dian tidak percaya dengan ucapan Sia.
" Eehh, ini emang waktu udah abis gaes. Kita telat masuk. Wahh alamat ni, cepet ayo naik." Tio melihat jam di tangan, memang sudah habis waktu istirahatnya.
" Gue tunggu penjelasan lho ya, pokoknya nanti lo nggak boleh ngeles lagi." Dian, Tio, dan Leo beranjak dari duduknya.
" Kita duluan ya Si, kamu makannya cepet. Nanti dicariin Pak Sean." Ujar Tio menepuk bahu Sia.
" Iya, nanti aku sendiri aja yang bilang ke Pak Sean. Udah sana masuk." Jawab Sia sambil memakan nasi gorengnya.
Tio, Dian, dan Leo bergegas meninggalkan cafetaria untuk menuju kantor. Sedangkan Sia masih melanjutkan acara makan siangnya. Mungkin karena saat ini Sia sedang berhalangan, jadi membuatnya sedikit hilang kontrol dalam mengendalikan emosi.
Masih ada satu cup puding yang belum dia makan, lebih baik dia bawa ke kantor saja agar bisa dimakan Dian atau yang lainnya. Karena saat ini sudah terlalu kenyang setelah menghabiskan sepiring nasi goreng dan semangkuk sop buah. Lagian juga Sia sudah terlalu lama disini, hampir 20 menit setelah kepergian ketiga temannya tadi.
Sia berjalan santai menuju kantor, tiba-tiba dia berpapasan dengan Radit saat akan menuju arah lift. Sia hanya diam mengalihkan pandangannya berusaha menghindari tatapan Radit. Tanpa disadari oleh Sia, ternyata Radit juga masuk ke dalam lift tersebut, lift yang biasa digunakan oleh karyawan.
" Ini Pak Radit kenapa malah pake lift karyawan sih, males banget rasanya buat lihat wajah dia." Ucap Sia dalam hati. Tidak mungkin kan jika Sia mengucapkannya langsung di depan Radit? Yang ada dia langsung dipecat dari perusahaan dia, orang lift ini aja punya dia. Bukan hanya lift, tapi seluruh gedung adalah milik Pak Radit. Jadi apa haknya untuk melarang Pak Radit akan naik lift yang mana.
" Maureen, apa kamu tersinggung dengan ucapan saya tadi? " Tanya Radit mengagetkan lamunan Sia.
" Tersinggung? kenapa saya harus tersinggung Pak? Tidak kok, bapak tenang saja." Jawab Sia lirih.
" Bukan maksud saya tidak menghargai perasaan kamu. Tapi dari pada hubungan kita dimulai dengan kebohongan, bukankah lebih baik saya jujur dari awal bukan? "
" Jadi ini yang disebut menghargai perasaan? Menghargai dibagian mananya Bapak Direktur terhormat. Lagian siapa juga yang mau memulai hubungan dengan dia. Hubungan sama anknya aja yang lucu nggak papa, kalau sama bapaknya mah aku nggak mau yah." Tentu saja Sia hanya berani menjawabnya didalam hati.
" Maureen? " Tanya Radit lagi.
Pintu lift tiba-tiba sudah terbuka dilantai 5 dimana ruangan Sia berada.
" Eeemmm Pak, lebih baik ini dibahas kapan-kapan aja ya, saya permisi dulu. Saya sudah telat lebih dari setengah jam." Setelah mengucapkan itu, Sia langsung berlari keluar lift tanpa menunggu jawaban dari Radit.
Radit yang melihat Sia berlari meninggalkannya tanpa menjawab perkataan darinya hanya terdiam ditempat tanpa mengalihkan pandangannya dari Sia sampai pintu lift tertutup dengan sendirinya.
Sia langsung menuju ruangan Pak Sean setelah meninggalkan Radit sepihak.
Tok... tok... tok...
" Permisi Pak, saya Sia." Ucap Sia dibalik pintu.
" Ya, masuk saja Si." Jawab Pak Sean dari dalam ruangannya.
Ceklek...
Sia membuka pintu secara perlahan.
" Iya ada apa Si? " Tanya Pak Sean masih dengan berkas dimata dan tangannya.
" Saya mau mengkonfirmasi keterlambatan saya Pak." Ucap Sia.
" Oohh, tadi Pak Radit sudah memintakan ijin buat kamu untuk masuk kantor sedikit terlambat. Kamu tidak sempat istirahat karena putranya Pak Radit kan? Tidak apa-apa, kamu bisa kembali ke kubikelmu." Ucap Pak Sean santai.
Sia langsung keluar dari ruangan Pak Sean, kemudian terdiam didepan pintu tersebut.
" Pak Radit memintakan ijin untuknya agar bisa masuk sedikit terlambat? " " Mungkin dia merasa sedikit bersalah jika membiarkanku kelaparan." Ucap Sia dalam hati.
Sia langsung masuk kedalam ruangan kerjanya.
" Hey.. Baru masuk lo? " Ucap Dian begitu melihat Sia.
Sia hanya terkekeh mendengar teriakan Dian.
" Nih aku bawain puding buat kamu, tadi belum sempet aku makan udah kekenyangan." Sia memberikan puding yang tadi dia bawa ke arah Dian.
" Lagian tumben banget lo makan sebanyak itu, nggak biasanya deh perasaan." Ucap Dian menerima uluran puding, walaupun sudah tidak dingin tapi tidak apa-apa. Setidaknya rasa manis dari puding sedikit merilekskan otaknya dari deretan angka yang membuat kepalanya pusing.
" Tadi pagi nggak sempet sarapan, cuma minum susu doang aku tu."
" Btw thanks pudingnya." Ujar Dian kepada Sia.
Sia hanya mengacungkan jempolnya kearah Dian.
Untung saja saat ini banyak kerjaan yang sebentar lagi deadline, jadi Sia bisa terhindar dari pertanyaan teman-temannya yang sedari tadi Sia hindari untuk menjawabnya.
Ternyata pekerjaannya saat ini memang lebih banyak dari biasanya, dan Sia cukup kewalahan dengan ini. Untung saja Tio dengan cekatan mengajari beberapa hal yang belum Sia mengerti. Hingga akhirnya pekerjaan mereka selesai setelah jam menunjukkan pukul 6 sore. Lebih terlambat satu jam dari jam kerja biasanya, tapi tidak apa-apa, karena ini sudah menjadi tanggung jawab mereka sebagai karyawan.
"Uuuhhh... Badan aku rasanya mau rontok semua." Ucap Sia merebahkan kepalanya ke meja.
" Sama, ini leher gue juga kaya mau copot dari tadi nunduk terus." Terdengar suara kretek-kretek dari tulang Leo saat menggerakkan lehernya. Sedangkan Tio masih santai dengan membereskan mejanya. Berbeda lagi deng Dian yang sudah merebahkan dirinya ke sofa tempat Kendra tadi tidur.
Saat melihat langit yang sudah menggelap, Sia teringat jika motornya tadi dia tinggalkan dijalan karena pagi ini hujan dan dia ikut mobil Pak Radit.
" Lah terus aku pulang naik apa coba? Tadi kunci motor aku kasih ke Mas Andre kan ya. Ya udahlah, pesen gr*b aja kali ya." Ujar Sia berfikir.
" Kunci kan dibawa Mas Andre, berarti motor aku dibawa ke kantor kan." Ucap Sia dalam hati.
" Eehh, aku ke kamar mandi dulu ya. Kalian kalau udah mau pulang duluan aja nggak papa." Ujar Sia berlari keluar pintu.
" Ini aja udah hampir jam setengah 7, Mas Andre masih di kantor nggak ya, semoga saja masih. Lagian kalau motor aku tidak dibawa kesini, mau dibawa kemana lagi, sedangkan aku saja tidak memberitahu alamat kos.anku tinggal." Ujar Sia didalam hati.
Sia langsung masuk kedalam lift untuk menuju lantai 15 dengan harapan Andre masih disana.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, tanda sebuah pesan masuk.
+628**********
Nanti kamu pulang bersama saya. Motor kamu sudah dibawa Andre ke kosan kamu. Saya tunggu kamu diruangan saya.
selalu ngalamin itu, karena nama asli saya juga panjang banget 😂
kali ini Lo salah sya, gimana kalau keadaannya di balik?
mengingat sifatnya diawal bagaikan freezer 😂