Winter Alzona, CEO termuda dan tercantik Asia Tenggara, berdiri di puncak kejayaannya.
Namun di balik glamor itu, dia menyimpan satu tujuan: menghancurkan pria yang dulu membuatnya hampir kehilangan segalanya—Darren Reigar, pengusaha muda ambisius yang dulu menginjak harga dirinya.
Saat perusahaan Darren terancam bangkrut akibat skandal internal, Winter menawarkan “bantuan”…
Dengan satu syarat: Darren harus menikah dengannya.
Pernikahan dingin itu seharusnya hanya alat balas dendam Winter. Dia ingin menunjukkan bahwa dialah yang sekarang memegang kuasa—bahwa Darren pernah meremehkan orang yang salah.
Tapi ada satu hal yang tidak dia prediksi:
Darren tidak lagi sama.
Pria itu misterius, lebih gelap, lebih menggoda… dan tampak menyimpan rahasia yang membuat Winter justru terjebak dalam permainan berbeda—permainan ketertarikan, obsesi, dan keintiman yang makin hari makin membakar batas mereka.
Apakah ini perang balas dendam…
Atau cinta yang dipaksakan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 — “Kontrak vs Perasaan”
Uap air panas masih memenuhi kamar mandi saat Winter keluar dengan jubah mandi putih tebal. Wajahnya sedikit kemerahan, bukan hanya karena suhu air, tapi juga karena gejolak yang tak kunjung padam di dadanya. Ia menemukan Darren sedang berdiri di balkon kamar suite mereka, menatap cakrawala Tokyo yang diterangi jutaan lampu. Pria itu tampak tenang, seolah momen intens di lift tadi hanyalah riak kecil di permukaan danau yang dalam.
Winter menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa otoritasnya sebagai seorang CEO Alzona. Ia tidak boleh terlihat lemah. Ia harus menegaskan kembali bahwa hubungan ini memiliki garis finish yang jelas.
"Darren," panggil Winter, suaranya kini lebih stabil.
Darren berbalik perlahan, menyandarkan sikunya di pagar balkon. Angin malam Tokyo memainkan rambutnya yang sedikit berantakan. "Ya, Winter?"
"Mengenai apa yang terjadi di lift tadi... dan di Omotesando," Winter melangkah maju, namun tetap menjaga jarak aman. "Aku ingin kita melupakannya. Itu hanya reaksi fisik karena situasi darurat dan suasana kota ini yang memicu nostalgia tidak perlu."
Darren menaikkan satu alisnya, sebuah senyum tipis yang meremehkan muncul di bibirnya. "Nostalgia tidak perlu? Benarkah?"
"Ya," tegas Winter. "Kita harus kembali ke realita. Kontrak itu adalah realita kita. Enam bulan dari sekarang, kita akan berpisah. Kau akan mendapatkan kembali namamu, dan aku akan mendapatkan kembali kendali penuh atas Alzona tanpa gangguan siapa pun. Apa yang terjadi di antara kita secara... emosional, tidak akan mengubah klausul hukum itu."
Darren melangkah masuk dari balkon, menutup pintu kaca di belakangnya. Kehadirannya mendadak memenuhi ruangan, membuat Winter merasa sesak lagi. "Kau sangat gigih mempertahankan kontrak itu sebagai pelindungmu, Winter. Kau menggunakannya seolah-olah itu adalah hukum alam yang tidak bisa dilanggar."
"Karena itu memang hukum yang kita sepakati!"
"Hukum bisa diubah. Kontrak bisa dibatalkan," sahut Darren dengan nada rendah yang menusuk. Ia berjalan perlahan mengitari Winter, seperti seorang hakim yang sedang memeriksa bukti. "Kau bilang ini semua hanya tentang kontrak. Tapi katakan padaku, Winter... apakah kontrak itu yang membuatmu gemetar saat aku menyentuhmu tadi? Apakah kontrak itu yang membuat matamu mencari kejujuran di mataku saat kita berbicara tentang Tokyo sembilan tahun lalu?"
"Itu hanya..."
"Itu bukan kontrak, Winter. Itu perasaan," potong Darren. Ia berhenti tepat di hadapan Winter, menatapnya dengan intensitas yang membuat Winter ingin berpaling. "Kau mencoba membuktikan padaku bahwa kau sudah menang dengan mengontrol masa depan kita lewat kertas. Tapi sebenarnya, kau sedang ketakutan. Kau takut jika kau membiarkan dirimu merasakannya sedikit saja, kau akan menyadari bahwa balas dendammu selama ini adalah sia-sia."
Winter mengepalkan tangannya di balik saku jubah mandinya. "Dendamku tidak sia-sia! Kau meninggalkanku! Kau membiarkanku hancur!"
"Dan aku sudah menjelaskan alasannya. Aku sudah memberikan segalanya untuk menebusnya," Darren menantangnya secara verbal, tenang namun kata-katanya terasa seperti belati. "Sekarang pertanyaannya bukan lagi tentang apa yang aku lakukan dulu. Pertanyaannya adalah: apa yang akan kau lakukan sekarang? Apakah kau akan terus memeluk kebencian yang sudah basi itu hanya karena kau terlalu gengsi untuk mengakui bahwa kau masih mencintaiku?"
"Jangan berani-berani menyebut kata itu," desis Winter.
"Kenapa? Karena itu benar?" Darren tertawa pelan, sebuah tawa yang penuh dengan dominasi psikologis. "Lihatlah dirimu, Winter Alzona. CEO hebat yang bisa menjatuhkan lawan bisnis dalam sekejap, tapi gemetar menghadapi satu kata sederhana. Kau tidak sedang kehilangan posisi unggul karena aku. Kau kehilangan posisi unggul karena kau tidak bisa lagi membohongi dirimu sendiri."
Winter merasa terpojok. Argumen Darren terlalu tajam, terlalu akurat. Ia merasa seperti sedang ditelanjangi secara psikologis. "Jika kau pikir dengan mengatakan ini aku akan membatalkan perceraian itu, kau salah besar. Kontrak itu tetap berlaku. Kita pulang ke Jakarta besok, dan semuanya kembali seperti semula."
"Jakarta tidak akan pernah sama lagi setelah Tokyo, Winter," ujar Darren, suaranya melembut namun tetap tegas. "Kau bisa mencoba membangun kembali tembokmu setinggi mungkin. Tapi aku sudah tahu di mana letak pintunya. Dan pintu itu terbuka lebar saat kita berada di lift tadi."
Darren berjalan menuju sisi tempat tidurnya, mulai mematikan lampu satu per satu hingga ruangan kembali temaram. "Tidurlah. Besok perjalanan panjang. Dan jangan khawatir, aku tidak akan melanggar 'kontrakmu' malam ini. Aku hanya ingin kau memikirkan satu hal: saat enam bulan itu berakhir nanti, apakah kau benar-benar akan merasa menang saat melihatku pergi dari hidupmu untuk kedua kalinya? Karena kali ini, jika aku pergi, aku tidak akan pernah kembali lagi."
Kalimat terakhir Darren menghantam Winter lebih keras daripada makian mana pun. Ia terdiam, membeku di tempatnya berdiri. Pikiran tentang Darren yang menghilang sepenuhnya—kali ini selamanya—membuat dadanya terasa kosong dan dingin secara instan.
Winter naik ke tempat tidur dengan gerakan kaku. Ia berbaring memunggungi Darren, namun matanya tetap terbuka lebar dalam kegelapan. Ia menyadari dengan pedih bahwa Darren benar. Kontrak itu adalah senjatanya, tapi juga penjara baginya. Ia memegang kendali atas kertas itu, tapi ia telah kehilangan kendali atas hatinya sendiri.
Di sisi lain tempat tidur, Darren juga terdiam, menatap langit-langit. Ia tahu serangannya berhasil. Ia telah menanamkan keraguan yang sangat dalam di benak Winter. Sekarang, ia hanya perlu menunggu waktu untuk melihat apakah cinta yang tersisa di bawah lapisan dendam itu akan cukup kuat untuk meruntuhkan dinding ego yang telah dibangun Winter selama hampir satu dekade.
Tokyo telah mengubah segalanya, dan kembalinya mereka ke Jakarta bukan lagi tentang siapa yang akan menghancurkan siapa, melainkan tentang siapa yang akan menyerah lebih dulu pada perasaan yang tak bisa lagi diingkari.