Namanya Wang Chen. Dia adalah seorang pemuda bodoh yang bahkan dianggap gila oleh para murid Perguruan Tangan Sakti.
Hanya Souw Liancu yang tidak melihat seperti itu. Souw Liancu merasa Wang Chen selalu melindunginya dan kekuatan Wang Chen tidak ada bandingannya.
Wang Chen bisa bertindak di luar nalar saat dibutuhkan, dan bisa muncul jadi sosok tangguh saat dibutuhkan. Souw Liancu tahu kalau Wang Chen memiliki latar belakang luar biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gregorious, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1 Penolong yang Aneh
Pagi itu langit masih berwarna kelabu ketika kereta kuda yang ditumpangi Souw Liancu memasuki jalan setapak yang sepi. Gadis sembilan belas tahun itu duduk dengan gelisah di dalam kereta, jemarinya meremas-remas ujung selendang sutra berwarna biru muda yang melingkar di lehernya. Di sampingnya, Tan Peklong, pemuda yang ditugaskan ayahnya untuk menemaninya, terus mengamati keadaan sekitar dengan waspada.
"Nona, sepertinya kita harus berhati-hati. Jalur ini terlalu sepi," ucap Tan Peklong dengan nada khawatir.
Souw Liancu mengangguk pelan. Ia tahu perjalanan menuju Perguruan Tangan Sakti tidak akan mudah. Sebagai putri dari Menteri Kebudayaan yang sangat dihormati dan dicintai rakyat, ayahnya memiliki banyak musuh politik yang iri dengan kedudukan dan pengaruhnya. Beberapa kali ancaman pembunuhan telah sampai ke kediaman mereka, dan itulah sebabnya ayahnya memutuskan mengirimnya ke Perguruan Tangan Sakti, tempat yang dianggap paling aman untuk belajar ilmu bela diri sekaligus berlindung dari ancaman musuh-musuh politik ayahnya.
Kereta itu terus melaju melewati pepohonan lebat yang mengapit jalan setapak. Suara derap kuda dan gesekan roda kereta dengan tanah berbatu menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar. Namun tiba-tiba, seekor burung gagak terbang dari semak-semak dengan suara keras yang mengagetkan. Kuda mereka meringkik dan berhenti mendadak.
"Ada apa?" tanya Souw Liancu sambil membuka tirai kereta.
Sebelum Tan Peklong sempat menjawab, beberapa sosok berpakaian hitam muncul dari balik pepohonan. Mereka bergerak cepat, mengepung kereta dari segala arah. Souw Liancu merasakan darahnya seolah berhenti mengalir. Ini adalah hal yang paling ditakutkannya.
"Turun dari kereta, Nona Souw!" teriak salah seorang dari mereka, suaranya kasar dan penuh ancaman. "Kami tidak akan menyakitimu jika kau mau ikut dengan tenang."
Tan Peklong langsung melompat turun dari kereta, menarik pedangnya. "Kalian harus melewati mayatku terlebih dahulu!"
Pertarungan pun pecah. Tan Peklong bergerak gesit, pedangnya menari-nari di udara menghadapi tiga orang penyerang sekaligus. Namun jumlah musuh terlalu banyak, sekitar sepuluh orang, dan mereka semua tampak terlatih dengan baik. Souw Liancu, meskipun telah belajar dasar-dasar ilmu bela diri, tahu kemampuannya masih jauh dari cukup untuk menghadapi para pembunuh bayaran profesional ini.
Seorang penyerang berhasil melewati pertahanan Tan Peklong dan melompat ke arah kereta. Souw Liancu berteriak, mencoba menghindar, tetapi tangannya ditangkap dengan kasar. Ia meronta-ronta, menendang dengan sekuat tenaga, namun cengkeraman pria itu terlalu kuat.
"Lepaskan aku!" jerit Souw Liancu dengan panik.
Di kejauhan, Tan Peklong berteriak frustasi. Ia sudah terluka di beberapa bagian tubuh, darah mengalir dari pelipisnya, tetapi ia tetap berusaha menerobos untuk menyelamatkan Souw Liancu. Sayangnya, lima orang penyerang menghadangnya dengan formasi yang rapat.
Pria yang menangkap Souw Liancu menyeringai kejam. Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, siap untuk menurunkannya ke leher gadis itu. Souw Liancu memejamkan mata, hatinya berdoa dengan putus asa.
Tetapi ayunan pedang itu tidak pernah sampai.
Tiba-tiba terdengar suara benturan keras. Mata Souw Liancu terbuka lebar dan ia melihat pria yang menangkapnya terlempar beberapa meter ke belakang, membentur pohon dengan keras hingga tidak bergerak lagi. Di depannya berdiri seorang lelaki berambut panjang yang tergerai hingga pertengahan punggung. Rambut hitamnya berkilau terkena sinar matahari pagi yang mulai menerobos celah-celah awan.
Namun yang membuat Souw Liancu tidak bisa melihat wajahnya adalah karena lelaki itu membelakanginya, berdiri sebagai penghalang antara dirinya dengan para penyerang yang tersisa.
"Siapa kau?" bentak salah seorang penyerang dengan suara gemetar. Bahkan dari nada bicaranya, jelas terlihat bahwa mereka merasakan aura kuat yang memancar dari lelaki berambut panjang itu.
Lelaki itu tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan tangannya dengan gerakan yang sangat halus, hampir seperti menari. Namun dari gerakan sederhana itu, angin kencang tiba-tiba bertiup, membuat daun-daun berguguran dan menciptakan pusaran di sekitar mereka.
Para penyerang saling berpandangan sebentar, kemudian serentak menyerang lelaki itu dari berbagai arah. Pedang mereka berkilauan, membentuk jaring serangan yang tampaknya mustahil untuk dihindari. Tetapi lelaki berambut panjang itu bergerak dengan kecepatan yang luar biasa.
Souw Liancu hampir tidak bisa mengikuti gerakannya. Yang ia lihat hanya bayangan-bayangan kabur, dan kemudian satu per satu penyerang terlempar ke segala arah. Ada yang menabrak pohon, ada yang jatuh ke tanah dengan keras, dan ada yang langsung tidak sadarkan diri. Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Tidak ada darah yang tertumpah, tidak ada suara teriakan kesakitan yang berlebihan, hanya bunyi benturan dan desahan napas terakhir sebelum para penyerang itu kehilangan kesadaran.
Dalam waktu kurang dari satu menit, semua penyerang sudah tergeletak di tanah, tidak ada yang tersisa berdiri kecuali lelaki berambut panjang itu. Bahkan Tan Peklong yang sudah siap menyerang berhenti di tempat, mulutnya ternganga melihat kejadian yang hampir tidak masuk akal itu.
Souw Liancu ingin berterima kasih. Ia melangkah maju, membuka mulutnya untuk berbicara. "Terima ka—"
Tetapi sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, lelaki itu tiba-tiba berbalik dan berlari. Bukan berlari yang biasa, tetapi berlari dengan kecepatan luar biasa, hampir seperti terbang. Yang lebih aneh lagi, sambil berlari ia berteriak-teriak dengan suara yang keras dan tidak jelas, seperti sedang mengejar sesuatu yang hanya bisa ia lihat sendiri.
"Tunggu! Jangan lari! Aku sudah hampir menangkapmu!" teriaknya sambil terus berlari menjauh, menghilang di antara pepohonan.
Souw Liancu berdiri terpaku, tangannya masih terangkat setengah jalan, kata-kata terima kasih yang belum terucap masih terngiang di bibirnya. Ia bingung, terkejut, sekaligus penasaran. Siapa lelaki aneh itu? Mengapa ia menolongnya? Dan yang paling penting, mengapa ia berteriak-teriak tidak jelas seperti itu?
"Nona, apakah Anda baik-baik saja?" Tan Peklong berlari menghampirinya, wajahnya pucat dan berlumuran darah dari luka-lukanya.
Souw Liancu mengangguk pelan, matanya masih menatap ke arah lelaki itu menghilang. "Aku baik-baik saja. Tetapi... siapa dia?"
Tan Peklong menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, Nona. Tetapi kita sangat beruntung dia muncul. Kalau tidak, aku tidak yakin bisa menyelamatkan Anda."
Mereka berdua terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja terjadi. Kemudian Tan Peklong teringat sesuatu. "Nona, kita harus segera pergi dari sini. Mungkin masih ada penyerang lain yang bersembunyi."
Souw Liancu setuju. Mereka kembali ke kereta, memeriksa keadaan kusir yang untungnya hanya pingsan. Setelah membawanya naik ke dalam kereta, mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih waspada.
Sepanjang jalan, Souw Liancu tidak bisa berhenti memikirkan lelaki berambut panjang itu. Sosoknya yang gagah, caranya mengalahkan sepuluh orang penyerang dengan mudah, dan terutama punggungnya yang tegap, semua itu terpatri jelas dalam ingatannya.