Rama dan Ayana dulunya adalah sahabat sejak kecil. Namun karena insiden kecelakaan yang menewaskan Kakaknya-Arsayd, membuat Rama pada saat itu memutuskan untuk membenci keluarga Ayana, karena kesalahpahaman.
Dalih membenci, rupanya Rama malah di jodohkan sang Ayah dengan Ayana sendiri.
Sering mendapat perlakuan buruk, bahkan tidak di akui, membuat Ayana harus menerima getirnya hidup, ketika sang buah hati lahir kedunia.
"Ibu... Dimana Ayah Zeva? Kenapa Zeva tidak pelnah beltemu Ayah?"
Zeva Arfana-bocah kecil berusia 3 tahun itu tidak pernah tahu siapa Ayah kandungnya sendiri. Bahkan, Rama selalu menunjukan sikap dinginya pada sang buah hati.
Ayana yang sudah lelah karena tahu suaminya secara terbuka menjalin hubungan dengan Mawar, justru memutuskan menerima tawaran Devan-untuk menjadi pacar sewaan Dokter tampan itu.
"Kamu berkhianat-aku juga bisa berkhianat, Mas! Jadi kita impas!"
Mampukah Ayana melewati prahara rumah tangganya? Atau dia dihadapkan pada pilihan sulit nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 21
Rama terdiam menahan emosinya. Kalimat Ayana cukup kuat menampar pikirannya saat ini.
"Udahlah, Mas! Lagian... Mas Rama sendiri tadi juga habis keluar sama Mbak Mawar 'kan. Happy-happyan... Turutin semua kemauan Mbak Mawar. Saya juga bisa kok, nge bahagiain diri saya sendiri." Timpal Ayana lagi.
Setelah mengatakan itu, Ayana langsung melengos pergi begitu saja.
"Ayana... Saya belum selesai bicara!" Rama berlari mengejar Istrinya.
Srettt!
Lengan Ayana berhasil ditarik oleh suaminya lagi.
"Mas, sakit tangan saya!" pekik Ayana menajamkan matanya.
Rama tak menjawab. Ia menarik lengan kecil itu, lalu diajaknya menuju mobil, dan mendorong pelan Ayana agar mau masuk dalam mobilnya.
Brak!
Rama membanting kembali pintu mobilnya, dan langsung melajukan mobil itu dengan cepat.
Bahkan, aroma parfum mahal milik Mawar masih tertinggal dalam mobil itu. Ayana membuka sedikit jendela kaca, lalu membuang muka merasa muak.
"Ayana bekerja apa? Butik yang di datangi itu adalah butik milik Anisa, desainer terkenal itu. Atau... Ayana bekerja menjadi....??? Nggak, nggak! Dia nggak mungkin bekerja serendah itu. Aku tahu siapa dia. Tapi... Ah," batin Rama merasa frustasi.
Bug!
Sampai-sampai ia memukul setir mobil itu, demi melampiaskan rasa geram dalam dadanya.
Mobil Rama sudah memasuki gerbang mewah rumahnya. Mobil sudah berhenti di halaman, tepatnya depan rumah.
Dan kebetulan Bu Anita keluar, sedikit berhenti di ambang pintu saking kagetnya melihat Ayana turun dari mobil Rama sambil menenteng beberapa belanjaan.
Dengan mata melotot, Bu Anita berjalan mendekat.
Namun belum sampai mencerca, Ayana terlebih dulu berbicara. "Bu Anita jangan salah paham, ya! Belanjaan ini, saya yang belanjaa sendiri, bukan putra itu yang membelikan semua ini! Sebelum Ibu marah-marah, saya mau klarifikasi dulu!"
Bu Anita menganga tak percaya. Kepalanya sampai menoleh, saat Ayana sudah berhasil melenggang sambil mengibaskan rambutnya.
"Rama... Katakan sama Mamah, kalau yang di ucapkan Babu itu benar?! Kenapa kalian bisa satu mobil?"
Rama berjalan malas menginjakan kakinya di teras marmer itu, "Udahlah, Mah! Aku capek, aku mau istirahat!"
Bu Anita semakin di buat frustasi. "Rama...." teriaknya. "Gimana sih? Tadi bilangnya sama Mawar mau meting? Ini... Pulang malah bareng sama si Babu itu?! Gimana sih, si Rama ini....."
Di Paviliun
Ayana baru saja masuk dan menutup pintunya. Bik Sumi berjalan menghampiri Nona mudanya itu.
"Non sudah pulang? Itu... Aden sama Bu Ratih sudah pada tidur. Ya udah, Bibi kembali dulu, mau istirahat juga," kekeh Bik Sumi.
"Sebentar, Bik!" Ayana tampak mengambil makanan yang ia beli tadi. "Ini, Aya belikan Bibi gado-gado! Tadi Aya beli 3, Bibi satu ya!"
"Wah, makasih banyak Non! Ya sudah, Non juga istirahat aja, pasti capek. Bibi kembali dulu."
Ayana mengangguk, "Makasih ya, Bik!"
Setelah itu, Ayana mendudukan terlebih dulu tubuhnya diatas sofa ruang tamu. Ia merogoh gawainya, dan ternyata ada notif uang masuk dari Dokter Devan sebagai bayaran atas kontrak kerja 2 jam itu.
Dan tak hanya itu, transferan bonus dari Bu Mira juga baru saja masuk sebesar 10 juta.
Ayana tak henti-hentinya mengucapkan syukur, atas kesabaran yang ia jalani saat ini.
Drttt?!
"Tuan Ibrahim?"
Ayana bangkit, tampak gugup mendapat panggilan dari mertuanya kini.
Huh!
Setelah menetralkan nafasnya, Aya menggeser tombol hijau itu.
"Hallo, ada apa Tuan Ibrahim?"
"Ayana, maaf saya tidak sempat menjawab panggilan telfonmu tadi malam. Ada apa, ya? Apa terjadi sesuatu dengan cucu saya?" tanya Tuan Ibrahim dengan antusias.
Ayana berjalan keluar sambil duduk dikursi teras bagian samping. Ada keraguan dari hati kecilnya. Namun, Aya harus kuat melawan itu. Demi kesehatan mental Zeva, Ayana harus mengatakan apa yang mengganjal dalam hatinya akhir-akhir ini.
"Maaf sebelumnya, Taun Ibrahim. Saya hanya ingin berbicara mengenai rumah tangga saya dengan Mas Rama. Saya rasa, saya tidak dapat melanjutkan pernikahan ini untuk waktu yang lebih lama lagi. Saya tidak ingin melihat putra saya semakin berharap dan terluka. Saya ingin bercerai dari Mas Rama secepatnya!" suara Ayana begitu parau, pecah menahan tangis.
Deg!
Tuan Ibrahim merasa frustasi. Ia tahu, pasti sulit sekali hari-hari yang menantunya lewati.
Pria tua itu sampai bangkit dari kursi kebesarannya, berjalan kesembarang arah sambil meraup lemah wajahnya.
"Ayana... Saya tahu sesulit apa yang kamu lewati. Tunggu saya pulang ke Indonesia dulu. Saya sendiri yang akan mengurus perceraian kalian berdua." Pinta Tuan Ibrahim.
Ayana menghapus air matanya. Terdengar isakan lirih yang tertahan dan tak mampu ia ekspresikan lebih dalam.
"Saya tidak akan kuat melihat Mas Rama menikahi Mbak Mawar, Tuan! Saya lebih baik menjadi janda, dan keluar saja dari rumah ini. Saya tidak ingin mengorbankan kesehatan mental putra saya." Kata Ayana disela isakan tangisnya.
"Ayana... Tolong jangan kegabah dulu! Jikapun kamu ingin keluar dari rumah itu, saya sudah menyiapkan rumah untuk kamu dan cucu saya!" Ucap kembali Tuan Ibrahim.
Tangisan Ayana semakin dalam. Ia sampai mengurut dadanya, membiarkan rasa sesag itu pergi dengan sendirinya.
"Tuan, tolong jangan perberat langkah saya untuk keluar," suara Ayana terbata-bata. "Saya hanya ingin hidup tenang dengan keluarga saya, tanpa di benci siapapun lagi."
Tangisan itu pecah, hingga Ayana sampai membekap kuat mulutnya.
"Saya tidak akan pernah menyetujui perceraianmu, sebelum saya pulang. Ayana... Ada sesuatu yang belum kamu tahu."
Ayana agak mengernyit, "Maksud, Tuan?"
"Saya tidak dapat menjelaskan melalui telefon, Ayana. Yang jelas, semua yang terjadi menyudut pada kelangsungan rumah tanggamu dengan Rama. Dan memang jika sampai Rama menikahi Mawar, maka akan saya pastikan sendiri, dia akan menyesal karena telah mencampakan keluarga kecilnya sendiri." Papar Tuan Ibrahim.
Ayana membeku. Tubuhnya masih menegang, tanpa mulutnya dapat mengurai kata lebih lama.
Panggilan itu berakhir dengan semestinya. Ia menangis sendiri, memukul dadanya berkali-kali, ingin kuat lebih lama, namun hati kecilnya menolak.
Wanita mana yang akan rela melihat suaminya menikahi wanita lain.
*
*
~London~
Ceklek!
"Apa terjadi sesuatu?" Pria dewasa itu masuk, menatap Tuan Ibrahim dengan serius.
Tuan Ibrahim menghela nafas dalam, "Hah... Duduklah, ada yang ingin Papah bicarakan, Arsyad!"
Dan rupanya, pria dewasa itu adalah Arsyad.
Ternyata, selama ini Arsyad masih hidup. Pria itu mengasingkan dirinya di luar negeri bersama sang Ayah-Ibrahim.
"Ayana ingin meminta cerai dari Rama, Arsyad!" Ucap Tuan Ibrahim dengan sorot sendunya.
Arsyad terdiam. Apa yang di ucapkan Ayahnya, seoalah sudah terbaca dalam pikiranya sebelum itu. Dan Arsyad tau, siapa penyebab pertikaian itu.
"Kita harus pulang, Pah! Aku tidak ingin Rama menyesal karena kesalah pahaman ini. Dan aku sudah tidak sabar, ingin melihat istri Papah mendekam dalam penjara!" Arsyad sangat berambisi.
Tuan Ibrahim menggelengkan kepala lemah. "Belum saatnya kamu pulang, Arsyad! Papah ingin memberi pelajaran pada Adikmu terlebih dulu. Jika memang dia ingin menikahi Mawar, maka biarlah pernikahan itu terjadi."
Arsyad manggut-manggut. Ia tahu apa rencana Ayahnya saat ini. Dan memang benar, sifat Rama sangatlah kaku. Biarkan ia merasakan sakit, perih, kecewa, sebab kehilangan seseorang yang paling bermakna dalam hidupnya.
"Tapi aku rasa... Ayana pantas mendapatkan pria yang lebih baik dari Rama! Rama tidak hanya menyakiti satu wanita, tapi dua termasuk Mawar!" balas Arsyad sembari mendesah dalam. "Tapi, jika memang ada pernikahan, lebih baik Ayana bercerai terlebih dulu."
"Papah akan pulang sebelum pernikahan Rama terjadi. Dan... Papah sendiri yang akan memproses perceraian itu."
Arsyad terdiam. Ia kembali mengingat, bagaimana sakitnya menjadi dirinya, yang harus tumbuh dalam keluarga Ayahnya sendiri. Apalagi, Arsyad besar dengan beberapa toxic dari Ibu tirinya-Anita.
"Papah akan telfon Rama terlebih dulu. Papah ingin meyakinkan dia, sudah siapkah jika berpisah dengan Ayana." Tuan Ibrahim langsung bangkit.
Pria itu berjalan menuju dinding kaca, mengangkat gawainya, dan menunggu panggilan dari sang Putra terjawab.
*
*
Di rumah utama, tepatnya pukul 12.10 wib.
Rama baru saja merebahkan tubuhnya diatas ranjang. Ia tatap langit-langit kamaranya, namun semua pertanyaanya itu tidak ada satupun yang terjawab.
Lamaran pernikahan kurang menghitung hari. Persiapan mental saja ia belum sanggup berikan. Akankah ia akan hidup bahagia, meskipun yang di nikahi Mawar.
Drttt?!
Gawai di samping tubuhnya bergetar. Lamunannya tersadar, hingga memaksakan ia untuk bangkit.
"Hallo, ada apa, Pah?"
"Rama... Papah hanya ingin tanya sama kamu. Sudah siapkan kamu kehilangan keluarga kecilmu dari Ayana?"
Wajah Rama seketika menjadi serius. Pertanyaan Ayahnya bak petir yang menyambar hatinya.
Ia kemudian bangkit.
"Maksud Papah apa?"
"Sesuai perjanjian yang Papah berikan waktu itu, jika kamu memang tetap menikahi Mawar, maka sebelum itu kamu harus menceraikan Ayana!" Ucap Tuan Ibrahim sunguh-sungguh.
Rama sudah di kalang kabut sendiri. Ia begitu kesusahan saat menelan ludahnya.
"Aku tidak akan menceraikan Ayana, Pah!" Pekik Rama.
Tuan Ibrahim terdengar tersenyum getir, "Heh! Mau jadi pria bajingan kamu, Rama? Apa kamu pikir, Ayana akan mau jika kamu madu? Meskipun kamu tidak mecintai dia, tapi nggak seharusnya kamu mengikat hatinya lebih sakit lagi. Dulu kamu setuju 'kan dengan usulan Papah ini?!"
Rama membeku di tempat.
"Tapi Rama juga sudah berhasil mendapatkan tanda tangan Ayana, Pah-"
"Ingat, Rama... Papah akan segera pulang! Dan kamu harus siapkan semua data-data dirimu, agar Papah lebih mudah mengurusnya."
Tut!
Panggilan terputus sepihak dari sang Ayah.
Rama meraup wajahnya frustasi. Ia tertunduk, menjatuhkan tubuhnya diatas sofa.
Pikiran serta hatinya sudah tak karuan. Rama segera bangkit, ia berjalan menuju balkon, dan turun dengan cepat melalui tangga darurat itu.
Tujuannya ke Paviliun ingin bertemu sang Istri.