Sebuah jebakan kotor dari mantan kekasih memaksa Jenara, wanita karier yang mandiri dan gila kerja, untuk melepas keperawanannya dalam pelukan Gilbert, seorang pria yang baru dikenalnya. Insiden semalam itu mengguncang hidup keduanya.
Dilema besar muncul ketika Jenara mendapati dirinya hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Gilbert, namun ia menyimpan rahasia kelam. Sejak remaja, ia didiagnosis mengidap Oligosperma setelah berjuang melawan demam tinggi. Diagnosis itu membuatnya yakin bahwa ia tidak mungkin bisa memiliki keturunan.
Meskipun Gilbert meragukan kehamilan itu, ia merasa bertanggung jawab dan menikahi Jenara demi nama baik. Apalagi Gilbert lah yang mengambil keperawanan Jenara di malam itu. Dalam pernikahan tanpa cinta yang dilandasi keraguan dan paksaan, Gilbert harus menghadapi kebenaran pahit, apakah ini benar-benar darah dagingnya atau Jenara menumbalkan dirinya demi menutupi kehamilan diluar nikah. Apalagi Gilbert menjalani pernikahan yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tilu Belas
Jenara menarik napas dalam. Tenang, fokus Jenara. Tak usah perdulikan mereka. Fokus saja pada dirimu. Urus perutmu yang sudah mulai rewel. Dia bukan urusanmu.
Ia mengusap perutnya yang masih rata, menyadari ada kehidupan di rahimnya. Sentuhan pada perut itu terasa seperti jangkar, mengingatkannya bahwa fokusnya telah berubah.
Gilbert yang sedang tertawa mendengar cerita Soraya tentang drama di kantor cabang mereka, tiba-tiba merasa diperhatikan. Ia mengangkat pandangannya, dan matanya langsung bertemu dengan Jenara yang berdiri di pintu masuk, kaku dan arogan seperti patung.
Jenara tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, tetapi Gilbert bisa merasakan aura dingin yang memancar dari wanita itu. Ia tahu, Jenara pasti tidak suka melihatnya bersama wanita lain, meskipun Jenara tidak akan pernah mengakuinya.
“Soraya, I’m afraid I have to cut this short. Something urgent just came up. It was really great seeing you here. Give my regards to Alena’s team, and I’ll see you back in Jakarta,” ("Soraya, aku khawatir aku harus memotong obrolan ini. Ada sesuatu yang mendesak baru saja muncul. Senang sekali melihatmu di sini. Sampaikan salamku pada tim Alena, dan sampai jumpa kembali di Jakarta,") kata Gilbert, bangkit berdiri.
Soraya ikut berdiri. “Of course, Gilbert. It was a pleasure. Do call me if you need anything in London!” ("Tentu saja, Gilbert. Senang sekali. Telepon saja aku jika kamu butuh sesuatu di London!")
Mereka berjabat tangan. Gilbert lalu berjalan cepat melintasi restoran menuju Jenara, meninggalkan Soraya yang masih bingung dengan "urusan mendadak" yang tiba-tiba muncul itu.
Gilbert tiba di hadapan Jenara.
“Kenapa berdiri di situ? Mau pesan makanan?” tanya Gilbert, nadanya datar dan profesional, mengantisipasi sikap dingin Jenara.
Jenara bahkan tidak repot-repot melepaskan kacamata hitamnya. Ia menatap ke arah meja yang baru saja ditinggalkan Gilbert.
“Bukan urusanmu. Saya bisa pesan makanan sendiri tanpa perlu izin darimu,” jawab Jenara, suaranya kaku dan cuek. Ia tidak memperlihatkan sedikit pun rasa cemburu, hanya ketidak-sukaan yang murni dan arogan.
“Saya tahu kamu bisa. Tapi saya hanya ingin memastikan kamu mendapatkan apa yang kamu butuhkan,” balas Gilbert. “Apa perutmu rewel lagi? Mau soto ayam atau yang lain?”
“Soto ayam adalah makanan murahan yang tidak akan pernah saya sentuh lagi. Itu hanya insiden kemarin di luar nalar saya,” bantah Jenara, angkuh. Ia mencoba membunuh rasa bersalah atas kelaparannya tadi malam.
Gilbert hanya menghela napas pelan. “Insiden yang sangat nikmat, Nona Sanjaya. Tapi terserah kamu.”
Gilbert menunjuk ke arah bar. “Wanita yang tadi bersamaku adalah rekan kerja. Konsultan branding yang bekerja dengan perusahaan cabang Alena. Kami hanya membahas pekerjaan. Saya beritahu ini, bukan karena saya merasa perlu menjelaskan, tapi agar kamu tidak salah paham dan menuduhku dengan tuduhan murahan lainnya.”
Jenara memutar bola matanya di balik kacamata hitamnya. “Salah paham? Saya? Saya tidak peduli kamu berbicara dengan seratus wanita di seluruh London. Saya tidak punya waktu untuk mengurus urusan pribadimu. Fokus saya saat ini adalah anak di perut saya dan bagaimana menyelesaikan masalah ini secepatnya. Jadi, berhentilah mengatur-atur saya.”
Jenara melangkah melewati Gilbert, menuju meja pelayan. Ia memesan dengan nada yang sangat tegas, memerintahkan pelayan untuk membawa pesanan ke kamarnya, seolah hotel itu miliknya sendiri.
Gilbert hanya bisa menggelengkan kepala. Wanita ini adalah tantangan yang sesungguhnya. Ia menolak semua bentuk perhatian, bahkan informasi yang bersifat netral. Jenara terlalu bangga dan kaku untuk mengakui bahwa keberadaan wanita lain di sisi Gilbert telah mengusik ketenangannya.
Dia tidak cemburu, pikir Gilbert. Dia hanya tidak suka melihat kepemilikannya (yaitu, calon ayah dari anaknya) membagi waktu dengan orang lain.
Gilbert tahu, ia tidak bisa memaksanya. Ia harus meluluhkan Jenara, perlahan, selangkah demi selangkah. Wanita seperti Jenara tidak suka dipaksa apalagi terburu-buru, Gilbert harus menarik hati Jenara secara profesional, seperti langkah seorang pebisnis segala sesuatunya harus jelas dan terikat dengan peraturan. Meski Jenara tak pernah membicarakan hal itu, tapi tahu wanita itu selalu berpikiran realistis, mengutamakan kepentingan dan kepuasan sendiri.
Ia menyusul Jenara, bukan untuk memarahinya, melainkan untuk memastikan rencananya berjalan lancar.
“Saya sudah meminta Alexa memesankan makanan dari luar. Menu Indonesia. Semua sudah saya bayar, dan sudah saya siapkan di kamar suite kamu,” ujar Gilbert, berjalan di samping Jenara. “Jadi, daripada kamu membuat pelayan di sini pusing dengan permintaan aneh-aneh, lebih baik kamu segera naik.”
Jenara berhenti berjalan. Ia menoleh ke arah Gilbert, akhirnya melepas kacamata hitamnya. Matanya yang tajam menatap Gilbert dengan kemarahan dingin.
“Kamar suite saya, Tuan Rahadiansyah. Dan kamu tidak berhak mengatur-atur apa yang saya makan. Saya bisa mengirim makanan itu kembali.”
“Tentu saja kamu bisa,” balas Gilbert tenang. “Tapi kamu tidak akan melakukannya. Karena makanan itu adalah rendang Padang dengan bumbu rempah khas Indonesia. Dan saya tidak ingin calon anak saya kelaparan hanya karena ibunya terlalu keras kepala.”
Jenara terdiam. Mendengar kata "rendang Padang" membuat perutnya kembali bergejolak. Rasa laparnya mengalahkan keangkuhannya. Jenara sangat membenci kenyataan bahwa tubuhnya telah mengkhianati pikirannya.
Jenara mendengus keras, mengeluarkan suara frustrasi. Ia kembali memasang kacamata hitamnya, mengabaikan Gilbert, dan berjalan menuju lift.
“Terserah,” kata Jenara dengan nada sinis yang penuh kekalahan.
Drama kembali dimulai
Jenara kembali ke lobi, mood-nya hancur berkeping-keping. Perutnya kenyang oleh nasi rendang yang dikirim Gilbert ke kamarnya, tetapi harga dirinya terasa kosong dan terinjak-injak. Ia marah pada Gilbert yang mendominasinya dengan perhatian receh, marah pada dirinya sendiri karena kalah oleh makanan, dan marah pada dunia karena membiarkan ia hamil di saat ia sedang di puncak karier.
Apapun yang dilihatnya di lobi selalu salah, pelayan yang berjalan terlalu lambat, musik hotel yang terlalu lembut, bahkan aroma bunga yang terlalu menyengat. Jenara ingin melampiaskan amarahnya.
Ia melihat Gilbert masih berdiri di dekat meja informasi, tersenyum kecil, mungkin sedang memikirkan wanita itu. Pemandangan itu bagai api yang menyulut sumbu amarah Jenara.
Jenara berbalik tajam, siap meninggalkan lobi. Namun, saat ia hendak melangkah, pergelangan tangannya dicekal kuat.
Gilbert, yang memang mengawasi gerak-gerik Jenara, berdiri tepat di belakangnya.
“Ada apa?” tanya Gilbert, nadanya datar dan tak terpengaruh. Ia paham benar, ledakan ini adalah sisa amarah dari kekalahan Jenara atas martabak manis.
“Lepaskan!” Jenara tidak berteriak, tetapi suaranya bergetar dengan kemarahan yang terkontrol. Aura Jenara berubah kelam, seperti awan badai yang siap menumpahkan hujan es. Kulit Gilbert bahkan merasakan hawa dingin yang memancar di sekitarnya.
“Kau marah? Kamu tidak suka aku berbincang dengan rekan kerja?” tantang Gilbert, matanya menyipit, mencari konfirmasi.
“Saya bilang lepaskan, lepaskan!” Jenara menarik tangannya dengan paksa.
Gilbert melepaskan tangan Jenara begitu saja, tanpa perlawanan, membuat wanita itu semakin kesal. Jenara berharap Gilbert akan menahannya lebih kuat, berdebat, menunjukkan bahwa ia peduli. Namun, pelepasan yang mudah itu justru membuatnya merasa tidak penting. Apalagi teringat saat Gilbert begitu lepas tertawa pada wanita asing tadi.
Jenara menarik napas dalam, tatapannya menyapu seluruh lobi hingga menemukan Alexa yang sedang menunggu di samping pilar.
“Alexa! Siapkan kepulanganku siang ini ke Jakarta!” Jenara memberikan perintahnya, suaranya lantang dan tegas, bertujuan agar Gilbert mendengarnya.
Alexa, yang menyaksikan ketegangan itu, menjadi sedikit bingung. Mengapa bosnya tiba-tiba ingin kembali ke Indonesia setelah melakukan perjalanan yang baru semalam?
“Ta-tapi Bu Jen—bukankah jadwal kita di Paris—”
“Urusan di London serahkan pada sekretaris Ben. Jangan banyak tanya jika masih ingin bekerja. Segera urus kepulangan ke Jakarta. Sekarang!” perintah Jenara, final.
“Ba-baik, Bu.” Alexa hanya bisa patuh dan bergegas menghubungi kantor pusat.
Jenara berbalik, langkahnya cepat menuju lift eksklusif yang hanya bisa diakses oleh tamu suite. Ia ingin segera pergi, kembali ke kendali penuh atas hidupnya.
Jenara menekan tombol lift dengan ujung kukunya yang rapi. Pintu lift terbuka, dan ia segera masuk, tidak menoleh ke belakang.
“Jenara, tunggu!”
Suara Gilbert Rahadiansyah memanggil. Jenara mengabaikannya, menekan tombol tutup pintu berulang kali. Tapi sudah terlambat. Tangan Gilbert menahan pintu lift tepat sebelum tertutup sepenuhnya.
Gilbert masuk, wajahnya masih datar, tetapi tatapannya intens. Ia menekan tombol paling atas, menuju suite Jenara.
Jenara mundur selangkah, menjaga jarak. Ruang lift yang sempit itu terasa menyesakkan bagi Jenara.
“Apa yang kau—”
kesian anaknya kalo kenapa2 😭
btw jen, dia suamimu loo, bapak dari si bayi 😌