1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.
Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.
Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.
Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.
Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.
Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Hierarki Sosial
Di sisi lain kota, Pariyem duduk di dalam dokar tua yang melaju pelan menuju stasiun kereta api.
Tas kulit besar ada di sampingnya. Kantong-kantong uang tersimpan aman di balik kendit. Pisau kecil masih ada di tempatnya, siap dipakai kalau dibutuhkan.
Dia menatap ke belakang, ke arah Dalem Prawiratama yang perlahan menjauh.
Gerbang kayu berukir yang dulu membuatnya terpesona kini tampak seperti mulut harimau yang siap menelan siapa saja. Rumah joglo megah yang dulu dia banggakan kini tampak seperti kuburan.
Dan di tengah mulut gerbang, berdiri Juniah dengan kedua tangan di pinggang. Senyum puas terpasang di wajahnya, senyum kemenangan.
Pariyem merasakan nyeri di dada. Bukan karena kehilangan rumah itu. Tapi karena kenangan.
Rumah di mana sejak kecil dia membantu ibunya, mencuci piring, menyapu halaman, memasak di dapur yang panas sampai keringat bercucuran.
Rumah di mana dia pertama kali melihat Soedarsono, pria tampan dengan senyum menawan yang membuat jantungnya berdebar.
Rumah di mana dia mencoba mengubah nasib, dari abdi dalem rendahan menjadi selir bangsawan.
Dan sekarang ... dia diusir dari rumah itu. Seperti barang yang tidak berguna lagi.
Kereta berbelok, rumah itu menghilang dari pandangan. Pariyem berbalik menghadap ke depan, menatap jalan yang berkelok menuju stasiun.
Dokar terus melaju. Melewati kampung-kampung kecil. Melewati sawah yang menguning. Melewati orang-orang yang pulang dari bekerja dengan tubuh lelah dan wajah pasrah.
Akhirnya bangunan stasiun kereta api terlihat di kejauhan, bangunan besar dengan atap lengkung, dinding bata merah, jam besar di atasnya yang menunjuk pukul lima sore.
Dokar berhenti di depan stasiun. Wiro turun, membantu menurunkan tas besar Pariyem.
"Hati-hati, Yu," ucapnya dengan suara serak. "Jaga diri baik-baik. Awas banyak copet."
Pariyem mengangguk. Mengambil tasnya. Lalu berjalan masuk ke stasiun dengan langkah yang dibuat yakin meski hatinya bingung.
Stasiun ramai. Bau khas asap kereta api mendominasi, berbaur dengan wangi parfum mewah para penumpang kaya dan apak keringat para kuli.
Banyak orang berlalu-lalang; pedagang kecil dengan bakul di kepala, penumpang Eropa dengan koper besar, kuli panggul yang mengangkut barang dagangan, tentara Belanda yang sedang berpatroli.
Pariyem berjalan menuju loket tiket. Mengantri di belakang beberapa orang. Sesekali menoleh ke belakang, memastikan Wiro masih ada di luar, masih mengawasinya dari dokar.
Giliran Pariyem tiba. Dia mendekat ke loket. Seorang pria Indo setengah baya dengan kumis tebal duduk di baliknya.
"Ke mana?" tanyanya dalam bahasa Melayu.
"Ke ... ke Semarang," jawab Pariyem, jawaban pertama yang terlintas di kepala.
"Satu tiket kelas tiga, tiga gulden."
Pariyem mengeluarkan kantong uang, mengambil tiga koin gulden.
Pria itu mengambil uang, memberikan tiket. "Kereta berangkat jam tujuh malam. Masih dua jam lagi."
"Terima kasih."
Pariyem mengambil tiket itu, berbalik, berjalan menuju ruang tunggu dengan langkah pelan. Sesekali menoleh ke luar—Wiro masih di sana, masih mengawasi.
Dia duduk di bangku kayu panjang, menaruh tas kulit di sampingnya. Menatap tiket di tangannya dengan tatapan kosong.
Tak mengerti sama sekali apa yang tertulis, tapi satu yang dipahaminya, dia harus masuk gerbong kelas tiga, tak boleh gerbong yang lain, sesuai kelasnya sebagai rakyat jelata.
Dari tempat duduknya, dia bisa melihat dengan jelas ke peron, tempat kereta api berhenti. Dan yang dilihatnya membuat dadanya sesak dengan cara yang berbeda.
Kereta uap besar berdiri megah di rel, lokomotif hitam mengkilap dengan cerobong tinggi yang mengeluarkan asap putih tebal mengepul ke langit sore.
Bunyi desisan uap keluar dari samping mesin dengan tekanan tinggi. Bunyi logam beradu—KLANG! KLANG!—saat petugas memeriksa roda dan sambungan.
Di belakang lokomotif, berjejer gerbong-gerbong panjang. Tapi yang membuat Pariyem tidak bisa mengalihkan pandangan adalah perbedaannya. Perbedaan yang begitu mencolok. Begitu menyakitkan.
Gerbong Kelas Satu paling depan. Dicat krem mulus dengan garis emas di tepiannya. Jendela-jendela besar dengan kaca bening mengkilap, ditutup tirai beludru merah yang terlihat sangat mewah bahkan dari kejauhan.
Pintu gerbong terbuat dari kayu jati berukir dengan pegangan kuningan yang berkilau. Gerbong yang hanya diperuntukkan bagi orang Eropa dan Ningrat atas.
Seorang pria Belanda berjas hitam dengan topi tinggi sedang naik, dibantu oleh porter dengan seragam rapi.
Istrinya, perempuan Belanda dengan gaun sutera biru dan topi lebar berenda, mengikuti di belakang dengan langkah anggun. Seorang jongos membawa koper-koper mewah mereka dengan susah payah.
Di belakang mereka, seorang ningrat Jawa, mungkin seorang bupati atau pangeran, mengenakan beskap hitam bersulaman emas dan blangkon mewah.
Istrinya dengan kebaya sutera dan perhiasan emas berkilauan. Mereka naik dengan dagu terangkat, seolah Hindia Belanda ini milik mereka.
Pariyem bisa melihat sekilas ke dalam gerbong saat pintu terbuka—kursi-kursi berlapis kulit cokelat yang empuk, meja kecil dengan taplak putih bersih, lampu kristal kecil di langit-langit, bahkan ada pelayan yang berdiri siaga dengan nampan berisi minuman. Seperti ruang tamu rumah mewah yang bisa berjalan.
Sementara Gerbong Kelas Dua di tengah, dicat hijau tua, tidak semewah yang pertama tapi masih terlihat luar biasa bagi Pariyem. Jendela lebih kecil dengan tirai katun biasa. Pintu kayu polos tanpa ukiran.
Pedagang-pedagang Tionghoa dengan pakaian rapi, celana panjang hitam, kemeja putih, topi bulat khas mereka, naik dengan membawa tas-tas berisi uang hasil jualan.
Ada juga beberapa ningrat rendahan; mantri, juru tulis pemerintah, dengan pakaian yang bagus tapi tidak semewah bupati.
Dari celah pintu yang terbuka, Pariyem melihat kursi-kursi kayu dengan bantalan tipis. Tidak ada meja. Tidak ada pelayan. Tapi setidaknya masih ada tempat duduk yang layak.
Lalu ... Gerbong Kelas Tiga di paling belakang.
Hati Pariyem mencelos melihatnya.
Gerbong-gerbong itu dicat cokelat tua; cat yang sudah mengelupas di banyak tempat, memperlihatkan kayu lapuk di bawahnya. Jendela kecil-kecil dengan jeruji besi seperti penjara. Tidak ada kaca. Tidak ada tirai.
Hanya lubang terbuka yang akan membiarkan debu, asap, dan angin masuk sepanjang perjalanan.
Pintunya ... bukan pintu biasa. Pintu geser besar seperti pintu kandang ternak. Dengan tulisan putih yang sudah pudar: Kelas Tiga.
Ratusan orang berdesak-desakan mencoba masuk, buruh pabrik dengan pakaian lusuh penuh keringat, petani dengan caping bambu dan sarung kotor, pedagang kecil dengan bakul di kepala, ibu-ibu dengan bayi digendong dan anak-anak yang menangis.
Tidak ada yang membantu mereka naik. Tidak ada porter. Tidak ada pelayan. Mereka harus memanjat sendiri ke gerbong yang tinggi, mendorong satu sama lain, berteriak-teriak agar bisa masuk.
Dari dalam terdengar bunyi ribut; teriakan, tangisan anak-anak, suara ayam yang dibawa dalam wadah anyaman bambu—ayam yang mungkin akan dijual di pasar kota.
Pariyem bisa melihat ke dalam saat pintu masih terbuka, tidak ada kursi sama sekali. Hanya lantai kayu kotor. Ada yang bahkan harus berdiri sepanjang perjalanan karena tidak ada tempat.
Seperti ternak yang diangkut ke pasar.
Dan yang paling menyakitkan, jarak antara gerbong kelas satu dan kelas tiga hanya beberapa meter. Beberapa meter yang memisahkan surga dan neraka.
Beberapa meter yang menentukan siapa yang berhak diperlakukan seperti manusia dan siapa yang diperlakukan seperti hewan.
suwun kak . .