Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEMARAHAN ADIT
"Bagaimana bisa benda tajam itu ada di kuah sup?"
Nada Adit kali ini terdengar tajam dan menusuk di telinga Asha. Matanya menyorot Asha lebih dari tatapan Ratna maupun Maya. Asha ingin bicara mengenai kejujurannya, namun meski ia berkata jujur pun, kali ini rasanya Adit tak dapat mempercayai pernyataannya.
"JAWAB, ASHA?!"
"Ma-Mas..." Lirih Asha bergetar, hampir tak terdengar. Tangannya otomatis bergerak menutupi perutnya, melindungi nyawa kecil di dalam sana. Kedua matanya berkaca, memohon agar Adit tidak semakin emosi.
Namun kali ini…
Bukan sekadar kesal seperti sebelumnya. Ada kekecewaan mendalam yang terpantul jelas di sorot mata Adit—tatapan yang belum pernah Asha lihat selama mereka bersama.
Adit melangkah maju, tapi berhenti tepat di depan Asha. Rahangnya mengeras. Tangan yang mengepal perlahan terbuka dan ditaruh di pinggang, mencoba menahan diri. "Kenapa bisa... benda itu ada di makanan?!"
Asha menggeleng. "Aku gak tahu, Mas!"
"Jadi, kamu belum mau jujur?" Tandas Adit. "Aku tahu... aku tahu, kamu sangat kesal dengan Ibu dan Kakakku, kamu merasa sakit hati dan kecewa dengan semua perkataan dan perbuatan mereka padamu, tapi bagaimanapun... mereka adalah keluargaku, Asha! Ibu dan Kakakku."
"Mas, cukup!" Nada Asha bergetar. "Jadi kali ini kamu gak percaya kalau aku bukan pelakunya? Aku memang sakit hati oleh semua perlakuan mereka sama aku, Mas..."
Asha melangkah lebih maju, air matanya merembas namun tak membuatnya terusik, justru rasa sakit itu tak bisa menahannya, lagi. "Tapi aku masih waras untuk tidak melakukan hal serendah itu!"
"Kamu jelas-jelas yang masak."
Kalimat itu menghantam Asha seperti pukulan keras di dada. Ia tersentak — bukan karena tuduhan itu baru, tapi karena Adit mengatakannya tanpa ragu seolah itu kebenaran mutlak. “Mas…” suaranya tercekat, bibirnya gemetar. "Kamu bilang... pondasi rumah tangga itu kejujuran, kan? Aku udah jujur, lho Mas. Dan kamu gak percaya?"
Adit diam.
Namun diam itu lebih menyakitkan ketimbang ia membenarkan atau menyangkal.
“Jawab, Mas?!" Teriakan Asha kali ini penuh luka, bukan ketakutan.
Adit memalingkan wajah sesaat, tapi kemudian menatapnya lagi, dingin dan tajam. “Aku cuma bilang… fakta yang ada.”
Asha terbelalak. Tangan yang tadi memegang perut kini turun, menggantung lemah di sisi tubuhnya. "Malam ini kamu kenapa, Mas? Bukan aku pelakunya, Mas!"
Asha melangkah, tubuhnya goyah. Ia mengangkat tangan gemetar dan memegang lengan kokoh Adit — seakan mencari tempat untuknya berpijak, meski ia tahu… Adit tidak menaruh sedikit pun niat untuk menjadi sandarannya kini.
Sentuhan itu membuat Adit refleks menarik napas. Bukan karena marah—tapi karena ia merasakan getar ketakutan dalam jemari Asha. Namun ia tetap diam. Tegang. Beku.
“Kita ini pasangan suami istri…” ucap Asha bergetar. “Kita satu tim, Mas. Kok Mas bisa lebih memilih prasangka daripada percaya sama aku?”
Adit tidak menjawab. Matanya mengawasi tangan Asha yang mencengkeram lengannya, seolah sentuhan itu menyakitinya lebih dari kata-kata yang tadi terucap. Ia menutup matanya sesaat, rahangnya mengeras menahan gelombang emosi yang sulit ia kendalikan.
Kemudian…
“Asha,” Katanya pelan tapi begitu tajam menusuk. “Lepasin tangan kamu.”
Asha terpaku. Jemarinya yang masih menggenggam lengan Adit langsung bergetar hebat. “Ma-Mas Adit…” Suaranya pecah, seolah setiap huruf keluar dengan rasa takut dan patah yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
“Sekarang.” Lanjut Adit. Satu kata, tegas. Tanpa emosi. Tanpa pilihan lain.
Pelan… sangat pelan… Asha melepaskan genggaman itu. Seolah yang ia lepaskan bukan sekadar lengan Adit, tapi seluruh rasa aman yang selama ini ia percaya ada di sana.
Begitu jarak tercipta di antara mereka, Adit menarik lengannya menjauh seolah sentuhan Asha adalah luka yang ingin ia hindari. Sementara, Asha menatap tangan kosongnya sendiri. Jemarinya menggigil. Ia menutup mulutnya, menahan isak yang memaksa keluar.
****