NovelToon NovelToon
Garis Batas Keyakinan

Garis Batas Keyakinan

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Percintaan Konglomerat / Cintapertama / Idola sekolah
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: blcak areng

Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.

​Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.

​"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

​Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Audit Porsi Nasi dan Janji Sang CEO

​Aku keluar dari musholla setelah selesai Sholat Isya (yang kembali diimami oleh Gus Ammar Fikri), bergegas membantu Bunda Fatma membawa hidangan ke meja makan. Suasana ruang makan terasa formal, meskipun Ayah sudah berusaha keras membuatnya santai.

​Pak Sopir Ammar dengan sopan menolak ajakan Ayah untuk bergabung. "Terima kasih banyak, pak. Saya lebih nyaman di depan, sudah ditemani Pak Satpam. Silakan dinikmati bersama keluarga," ujar Pak Sopir sambil tersenyum ramah.

​Maka, di meja makan hanya ada empat orang: Ayah, Bunda, aku, dan Gus Ammar.

​Gus Ammar sudah kembali ke pakaian CEO-nya, setelah berganti dari koko. Ia duduk dengan punggung tegak, memancarkan aura profesionalisme yang kontras dengan kehangatan masakan Bunda. Sesuai dengan etika taaruf, interaksi kami sangat terbatas. Kami menjaga pandangan (menundukkan pandangan) dan berbicara hanya jika perlu.

​Ayah Bimo dan Ammar sibuk membicarakan perkembangan fintech syariah. Bunda sesekali menyela, memastikan Ammar nyaman. Aku hanya sesekali mengangguk, fokus pada piringku.

​Ketika aku mulai menyendok nasi, aku berusaha mengambil porsi paling kecil yang pernah kubuat, ditemani sedikit rendang dan gulai ayam. Aku memang tidak lapar; hatiku masih terasa penuh oleh konflik, dan aku tahu Ammar pasti sedang mengawasiku.

​Gus Ammar tidak berbicara tentang bisnis saat makan. Ia makan dengan tenang, tertib, dan fokus. Namun, saat ia melirik sekilas piringku (sebuah tindakan yang terkesan tak sengaja), ia langsung menghentikan gerakan sendoknya.

​"Saudari Indira," panggil Ammar, suaranya datar, tanpa emosi.

​Aku mengangkat pandanganku, lalu segera menundukkannya lagi. "Ya, Gus?"

​"Porsi nasi Anda," katanya, jeda sejenak. "Itu bukan porsi makan malam yang ideal untuk orang seusia Anda. Itu bahkan kurang dari porsi untuk anak kecil."

​Aku terkejut karena dia begitu berani mengomentari porsi makanku di depan orang tuaku.

​"Saya... saya sedang tidak terlalu lapar, Gus," jawabku pelan.

​Bunda Fatma langsung membela. "Iya, Gus Ammar. Maafkan Indira. Dia memang dari dulu susah kalau makan malam. Apalagi belakangan ini dia sakit dan banyak pikiran. Sulit sekali membujuknya." Nada Bunda terdengar khawatir.

​Ayah Bimo mengangguk membenarkan. "Indira memang kurang perhatian soal kesehatan, Ammar. Dia lebih suka membaca dan mengurus tanaman daripada makan."

​Ammar menggeser sedikit kursinya, kini fokus menatap Ayah dan Bunda (bukan aku). Ekspresinya tidak marah, tetapi menunjukkan kekecewaan fungsional, seolah ia baru saja menemukan bug di sistem.

​"Om, Tente," kata Ammar, suaranya berubah menjadi sangat tegas dan penuh komitmen.

​Janji CEO untuk Masa Depan.

​"Saya sudah menganalisis data Saudari Indira dari laporan Bude Luna. Defisit nutrisi karena keengganan makan adalah masalah yang bisa mengganggu produktivitas jangka panjang," kata Ammar, kembali ke terminologi bisnisnya.

​Ia kemudian menatap lurus ke arah Ayah Bimo dan Bunda Fatma, matanya memancarkan keteguhan yang luar biasa.

​"Jika Allah mengizinkan Indira dan saya bersatu dalam ikatan pernikahan," Ammar memulai, membuat kami semua terdiam. "Saya berjanji, saya tidak akan membiarkan kebiasaan ini berlanjut. Saya akan mengelola jadwal makan Indira. Saya akan memastikannya selalu makan dengan porsi yang ideal."

​Ia melanjutkan, "Jika nanti kami menikah, saya akan menjadikan kesehatan istri saya sebagai salah satu Key Performance Indicators (KPI) utama dalam rumah tangga kami. Saya tidak ingin memiliki pasangan yang mudah sakit, yang energinya terbuang karena nutrisi buruk. Ini bukan hanya masalah kesehatan, Om, ini masalah tanggung jawab."

​Ayah Bimo dan Bunda Fatma terkejut, tetapi mata mereka berbinar-binar penuh harapan dan kelegaan. Mereka melihat ini sebagai bukti bahwa Ammar benar-benar peduli dan bertanggung jawab, bukan hanya soal spiritual, tetapi juga praktikal.

​"Ya Allah, Gus Ammar," Bunda tersenyum terharu. "Terima kasih, Nak. Kami sangat lega mendengarnya."

​"Dia memang calon suami yang bertanggung jawab, Bun," kata Ayah Bimo, sangat puas.

"Indira, dengar itu? Kamu harus berterima kasih pada Gus Ammar."

​Aku menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Ammar sudah membuat janji yang mengikat di depan orang tuaku, seolah aku adalah unit usaha yang memerlukan restrukturisasi.

​Dia tidak berjanji akan mencintaiku, tapi dia berjanji akan mengaudit porsi makanku.

​Aku mengangkat pandanganku sedikit ke arah Ammar, yang kini sudah melanjutkan makannya dengan tenang. Aku melihatnya mengambil porsi nasi yang normal dan sehat. Dia memang menerapkan apa yang ia ajarkan.

​Aku mengambil sendokku lagi, dan meskipun enggan, aku menyendokkan sedikit nasi lagi ke piringku. Itu adalah pertama kalinya aku menuruti perintah Gus Ammar Fikri, bukan karena aku menyukainya, tapi karena aku takut ia akan membatalkan kontrak taaruf ini jika aku menunjukkan variable yang tidak stabil.

​Makan malam pun berlanjut dalam keheningan yang tegang, di mana setiap sendokan makanan adalah penanda seberapa besar komitmenku pada Garis Batas Keyakinan dan pada CEO dingin yang kini menjadi imam dan auditor nutrisiku.

1
Suyati
cakep bunda nasehatnya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!