Gracia Natahania seorang gadis cantik berusia 17 tahun memiliki tinggi badan 160cm, berkulit putih, berambut hitam lurus sepinggang. Lahir dalam keluarga sederhana di sebuah desa yang asri jauh dari keramaian kota. Bertekad untuk bisa membahagiakan kedua orang tua dan kedua orang adiknya. Karena itu segala daya upaya ia lakukan untuk bisa mewujudkan mimpinya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rachel Imelda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Murah Banget
Ini adalah hari pertama dan ia sudah punya misi. Cia mengunci kamarnya. Begitu keluar dari gedung asrama, udara pagi Tokyo yang sejuk dan tajam menerpa wajahnya. Diluar masih sepi tetapi sudah ada tanda-tanda kehidupan- seorang pegawai toko yang membersihkan jendela dan beberapa pekerja kantoran yang terburu-buru menuju stasiun.
Cia memutuskan untuk berjalan ke arah stasiun Takada nobaba tempat yang familiar. Setidaknya sejak tadi malam.
Saat ia berjalan ia mulai menyadari tantangan sebenarnya, Semua papan nama memakai huruf kanji.
Ia berjalan melewati sebuah gang sempit yang penuh dengan kedai kecil. Salah satunya memiliki tirai noren warna biru tua dengan tulisan yang ia duga adalah 'Ramen'. Ia berhenti di depan pintu. Kedai itu tampak remang-remang di dalamnya, dan ia mendengar suara mangkuk beradu dan dentingan sendok.
Jantung Cia berdebar kencang, ini bukan sekedar memesan makanan. Ini adalah interaksi pertamanya sebagai orang dewasa mandiri di negara asing. Ia menarik napas panjang mengingat semua yang Rara ajarkan. Jangan panik. Bungkuk sedikit dan bilang "Sumimasen".
Cia menarik pintu geser kayu itu dengan hati-hati. Udara panas, berminyak dan beraroma kaldu babi yang kuat langsung menyergapnya.
"Sumimasen" ucapnya pelan. Seorang koki bertubuh besar denga. ikat kepala putih menoleh dari balik konten. "irrashaimase!" serunya ramah, namun cepat.
Cia terpaku di depannya tidak ada menu bergambar, melainkan mesin penjual tiket yang besar dan penuh dengan tombol-tombol bertuliskan kanji, hiragana dan katakana. Ia tidak mengerti satu pun tombol-tombol itu.
"Ya ampun. Ini artinya apa?" Keringat dingin mulai membasahi punggungnya. Koki itu menatapnya menunggu. Semua mata orang-orang yang ada di situ juga saat ini tertuju padanya.
"Ano...To-Toket-to. Do-Doko desuka?" Cia bertanya mencampurkan bahasa Jepang dengan bahasa Isyarat, menunjuk ke mesin. Ia ingin meminta bantuan untuk membeli tiket.
Koki itu tersenyum lebar. Dia lalu menggerakkan tangan untuk ke arah mesin itu lagi. Dia berbicara, suaranya seperti tawa yang menggelegar.
"Tsukareta ka? Kore wa ramen no hiketsuda".
Cia tidak mengerti apapun. Cia tersenyum kaku dan maju ke mesin. Ini tantangan yang sesungguhnya. Ia menatap tombol-tombol itu, mencoba memecahkan kode apapun. Ia melihat ikon kecil mangkuk di beberapa tombol. Ia harus memilih satu. Secara acak ia menekan tombol paling besar dan berwarna merah yang berada di tengah. Mesin itu bergemuruh sebentar, mengeluarkan tiket kertas kecil dan kembalian. Cia mengambil tiket itu, bingung tetapi kemudian ia menyerahkannya kepada Koki. Koki itu mengangguk mengambil tiket itu dan kembali ke pekerjaannya, berteriak sesuatu ke belakang yang terdengar seperti "Misso-ramen. ippai!"
Cia menemukan kursi kosong di konter. kemudian ia duduk sambil menyeka dahinya dan diam-diam merayakan kemenangan kecil. Ia baru saja memesan ramen pertamanya di Jepang, meski secara acak.
"Akhirnya aku bisa melewati tantangan ini" batin Cia. Hari pertamanya di Tokyo sungguh menegangkan.
Tiga menit kemudian sebuah mangkuk besar berisi Misso Ramen mengepul diletakkan di depannya dengan sentakan. Kuah kaldu berwarna keruh dan kaya rasa, disajikan dengan irisan daging babi chashu yang tebal, rebung, jagung dan sepotong mentega yang meleleh di permukaan. Aroma rempah dan kedelai fermentasi yang kuat langsung menyerbu indra penciuman Cia. Ini adalah makanan pertama yang pernah ia beli, dan makanan yang paling menggugah selera yang pernah ia lihat.
"Wow, ini keren banget" kata Cia.
Kemudian Cia mengambil sumpit meniru orang yang ada di sebelahnya, memisahkan kedua batang kayu itu dengan hai-hati. Sebelum ia mencicipinya ia berdoa sejenak. Kemudian Ia mencicipi kuahnya dengan sendok. Rasa gurih dan hangat menyebar, langsung menghapus sisa kelelahan dan jet lag semalam. Ia tidak tahu apakah ini ramen favoritnya, tapi saat ini yang dia rasakan bahwa ramen ini sangat nikmat. Ia mulai menyeruput mie itu. Dia ingat nasihat dari video-video yang dia tonton:
"Menyeruput itu sopan". Tapi menyeruput ramen yang panjang dan licin ternyata lebih sulit dari yang ia kira. Ia mencoba dan mie panjang itu terpeleset dari sumpitnya. Memercikkan kuah ke sweaternya. Seorang Pria di sampingnya yang sedang menikmati ramennya menoleh ke arah Cia. Cia langsung membungkuk sedikit sebagai permintaan maaf, wajahnya memerah. Pria itu hanya tersenyum ramah dan kembali menyeruput mie nya.
Cia menarik napas membersihkan percikan di sweaternya dan mencoba lagi. Kali ini ia menyeruput lebih lambat dan lebih keras.
"Sruuupl! Mie masuk, Kaldu hangat. Rasanya berhasil. Ia mengangkat kepala sedikit, membalas senyum pria itu, kini dengan senyum yang lebih tulus.
Di tengah kehangatan ramen dan seruput orang-orang, Cia mengambil kartu ijin tinggalnya dari saku dan memegangnya erat-erat.
Rara benar, aku disini. Sendirian, tapi tidak takut."
Setelah mangkuknya kosong (tidak tersisa setetes pun kuah, hehehe) Cia meletakkan sumpitnya, bangkit dan berbalik menghadap koki.
Ia membungkuk dalam "Gochisousama deshita! Oishi desu!" kata Cia.
"Arigatou gozaimasu!" jawab koki itu dengan tawa yang sama hangatnya.
Keluar dari kedai, Cia merasa kenyang, hangat dan bersemangat. Ia melihat ponselnya pukul 06.30 pagi. Masih ada waktu sebelum bertemu Kana di siang hari untuk orientasi kampus.
Ia membuka pesan dari Kana semalam "Besok jam 01.00 siang, aku akan menjemputmu di lobi. Sebelum itu kamu harus membeli selimut, sabun dan beberapa makanan ringan di combini atau drugstore dekat sini. Siapkan uang tunai."
Cia menarik napas dalam-dalam, mengencangkan tali ramselnya lagi dan menatap ke arah stasiun takadanobaba. Tantangan Ramen sudah selesai, sekarang tantangan berbelanja. Ia harus menemukan combini (minimarket) atau drugstore (toko obat atau apotek yang menjual obat-obatan dan berbagai produk lainnya seperti kosmetik, alat tulis, makanan ringan dan kebutuhan rumah tangga lainnya) tanpa tersesat. Dia harus fokus agar tidak membeli barang yang salah.
"Hahahaha seru juga ya kalo kayak gini" kata Cia sambil tertawa lucu mengingat kejadian di kedai ramen tadi. Karena masih banyak waktu akhirnya Cia memutuskan untuk jalan-jalan di sekitaran tempat itu. Ia tersenyum lalu melangkah mantap berbaur dengan arus orang-orang.
Cia berjalan kembali melewati jalan utama takadanobaba. Jalanan sudah lebih ramai dari pagi tadi. Saat ini bukan hanya pekerja kantoran saja yang ia lihat tetapi juga ada anak-anak sekolah yang berjalan dengan ceria dengan seragamnya dan ibu-ibu yang berjalan santai.
Cia mengandalkan ponselnya.sebagai penunjuk arah yang menunjukkan lokasinya dengan titik biru terang. Ia mencari Combini atau drugstore terdekat.
Di sudut jalan ia melihat sebuah papan naak besar berwarna merah putih dengan karakter yang familiar dari video: don quijote. Tapi Rara pernah berpesan agar ia mencari barang-barang kebutuhan pokok yang murah terlebih dahulu. Ia ingat sebuah nama lain; Daiso. Setelah berjalan sedikit menjauh dari. stasiun, ia melihat sebuah plang bertuliskan DAISO dengan warna merah muda cerah. Itu adalah toko 100 yen (setara dengan 100-an rupiah, jika dirupiahkan) yang sering disebut-sebut sebagai penyelamat mahasiswa.
Cia masuk ke dalam toko itu dan disambut oleh lautan barang-barang. Mulai dari sikat gigi hingga taplak meja. Dari makanan ringan hingga alat tulis, semuanya tertata rapi. Ia meraih keranjang plastik, memegang daftar belanjaannya yang ditulis di catatan kecil (selimut, sabun, makanan ringan dan air mineral).
Setelah dia berkeliling di dalam toko itu akhirnya terbeli lah sabun, makanan ringan dan air mineral. Sedangkan selimut tidak di jual di Daiso ini. Dia harus pergi ke toko lainnya yang di beritahukan oleh penjaga toko Daiso. Di kasir Cia mengeluarkan uang 10.000 yen yang ia tukarkan di bandara. Ia menyerahkan uang itu dengan kedua tangan dan membungkuk. Kasir seorang wanita paruh baya yang sangat cekatan, menerima uang itu dan mulai memindahkan badang.
"Total belanjaannya 770 yen" Cia terkesiap.
"Murah banget" batinnya. Wanita itu menyerahkan kembalian dan tas plastik transparan. Cia membungkuk dalam lagi
"Arigatou gozaimasu" kata Cia.
Keluar dari Daiso, Cia menghirup udara Tokyo yang semakin ramai. Ia sudah mendapat sabun, makanan ringan dan air mineral. Sedangkan selimut tebal belum. Cia melihat di ponselnya dimana toko yang menjual selimut tebal yang disebut karyawan Daiso tadi. Ternyata tokonya jauh. karena itu Cia memutuskan untuk membeli dua selimut tipis saja.
Bersambung....