Bukan menantu pilihan, bukan pula istri kesayangan. Tapi apa adil untuk ku yang dinikahi bukan untuk di cintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahlina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Kring kring kring.
Alarm dari benda pipih Wati berbunyi nyaring, membuatnya langsung mengerjap dengan menggeliat di atas tempat tidur. Baru pukul 2 dini hari, Wati bisa memejamkan kedua matanya.
“Astagaaa udah pagi aja, cepat banget sih!” Wati memijat keningnya, membuatnya pusing karena kurang tidur.
Wati langsung menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar, mengambil wudhu dan menjalankan kewajibannya sebagai muslim, meski air yang menyentuh kulitnya seakan memberikan hawa dingin di tubuhnya yang sedikit demam.
Menyadari Nisa yang gak pandai memasak. Membuat Wati langsung berkutat di dapur, dengan rambut di cepol. Wati langsung membuat sarapan untuk dirinya dan juga Nisa.
“Heeem wanginya enak nih, pasti rasanya juga gak kalah enak. Beruntung banget sih aku ini punya sahabat yang bisa masak.” Nisa melangkah memasuki dapur, dengan masih mengenakan piyama yang membalut tubuhnya.
“Udah pasti enak dong, secara aku gitu yang masak.” timpal Wati dengan bangga.
Nisa menelan salivanya sulit, melihat nasi goreng 2 porsi yang sudah tersaji diatas meja.
“Bujuk nasi goreng ama telor ceplok, kenapa gak gunain bahan yang ada di lemari pendingin aja buat bikin masakan Wat?”
Tak.
Wati menyentil punggung tangan kanan Nisa, wanita berpiyama itu hendak mencicipi nasi goreng dengan tangannya langsung.
“Mandi dulu, baru boleh sarapan!” omel Wati.
“Bujuk dah, galak amat… terasa ada mama di rumah. Tapi mama versi muda ahahaha.”
Nisa kembali beranjak dari duduknya. Melihat Wati yang sudah melotot tajam, ia langsung berlari meninggalkan meja makan.
Usai sarapan, keduanya langsung berangkat ke kantor dengan taksi online.
“Kamu yakin gak apa apa buat maksain kerja, Ti?” tanya Nisa, melihat wajah Wati yang tampak kurang bersemangat.
“Gak apa, aku harus tetap kerja. Diam di rumah malah buat aku kepikiran dengan masalah ku.” seru Wati, berusaha meyakinkan Nisa.
“Apa mama mertua dan suami mu sudah mengabari mu, Ti? Mereka pasti lagi kebakaran jenggot buat nyari kamu, Ti! Tapi itu pun kalo mereka udah sadar kalo kamu ninggalin rumah.” gumam Nisa.
“Menurut ku mereka belum menyadari aku pergi. Terakhir mama dan mas Hasan berusaha mengabari ku kemarin. Tapi setelah itu aku memblokir kontak mereka berdua.”
‘Aku salah besar jika berharap suatu saat mama Juleha bisa menerima aku sebagai menantunya. Dengan segala pengorbanan dan pengabdian ku pada keluarganya selama ini. Nyatanya sama sekali gak membuat penilaian mama pada ku berubah.’ pikir Wati.
“Sabar sabar, akan ada hikmah di balik ini semua! Tapi aku heran, pria sebrengsek mas Hasan masih aja di kasih umur panjang, jelas bangat mobil yang di tumpanginnya itu terjun ke parit, cuma kaki kanan yang patah. Kenapa gak langsung mati aja di tempat!”
“Orang jahat itu biasanya dikasih umur panjang sama sang pencipta, biar itu orang mikir buat berubah. Tapi kalo gak berubah, kelakuan masih brengsek. Yah siap aja lah api neraka yang menanti mereka di akhirat, mbak!” timpal sang supir, seakan ikut nimbrung dalam obrolan 2 penumpang mobil yang ia kemudian.
“Bener bangat tuh, pak! Saya sependapat dengan bapak! Tapi anehnya, itu si pelakor, si jalang nya suami teman saya ini malah kondisinya kritis, pak! Apa gak terbalik tuh?” protes Nisa dengan semangat menggebu.
“Yah namanya juga takdir, mbak! Mau dikata apa, sang pencipta juga yang menentukan takdir seseorang. Kapan baik itu jodoh, maut dan rezeki Tuhan yang ngatur.” cerocos pak supir lagi.
Mobil yang di tumpangi Wati dan Nisa berhenti tepat di depan gerbang kantor.
‘Semangat! Aku harus tetap semangat jalani hidup! Hidup ku gak boleh berakhir dengan segala penderitaan yang mas Hasan berikan pada ku! Selangkah lagi untuk ku bisa bebas dengan pernikahan yang gak membuat ku bahagia!’ pikir Wati menatap gedung tinggi yang ada di hadapannya.
“Semangat besti ku!” timpal Nisa dengan menepuk bahu Wati, seakan tau apa yang ada dalam pikiran Wati.
“Ayo masuk!” seru Wati dengan senyum mengembang di bibirnya.
‘Beruntungnya aku masih bisa mempertahan kan pekerjaan ku. Meski mama Juleha dan mas Hasan sempat meminta ku meninggalkan pekerjaan ini.’ pikir Wati.
.
Di luar gedung langit begitu cerah, secerah pria bersetelan rapi yang sudah beberapa jam lalu sudah stay duduk di salah satu meja yang sudah di pesan Andre satu hari sebelumnya.
Alex sudah menunggu dengan gak sabar di restoran, depan gedung di mana Wati bekerja. Hanya Wati yang berani membuat seorang Alex Sadiki, CEO dari beberapa perusahaan yang tengah berkembang pesat menunggu.
Tuk tuk tuk.
Ujung sepatu kulit yang dikenakan Alex mengetuk ngetuk lantai di mana ia berpijak, sembari tatapannya sesekali melirik jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Astaga sudah lewat 5 menit, kemana wanita itu? Gak mungkin kan jika Wati lupa? Aku bahkan sudah memesan tempat yang paling bagus pemandangannya, sudah datang 5 menit dari jam yang ku tentukan. Kenapa masih belum juga terlihat batang hidungnya!” gerutu Alex dengan wajah gelisah.
Alex menghubungi Joni yang menunggunya di dalam mobil.
[ “Iya Tuan, apa ada perintah yang bisa saya kerjakan?” ] tanya Joni siap siaga.
< “Kamu lihat ke gedung yang ada di depan, apa Wati masih di ruangannya. Jika ia, seret dia kesini! Ingat, jangan sampai kamu berani melukainya apa lagi sampai berani menyentuh wanita ku, Jon!” > titah Alex.
[ “Kalo Nona Wati tidak ada di ruangannya, bagaimana, Tuan Muda?” ]
“Cari lah! Kamu cari dia sampai ketemu. Begitu aja masih tanya, dasar bodoh! Kabari aku jika kau sudah menemukannya!” Alex dengan nada gak santai.
Jangan ditanya rupa Alex saat marah, sudah pasti sangat menyeramkan, bahkan pengunjung di restoran pun takut untuk menatap wajah murkanya.
Alex menyimpan benda pipihnya di atas meja.
Pluk.
Bersambung ...