Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyelamatan Penjaga Sejati
Darah Bian membasahi Cincin Perunggu. Ritual keabadian Ratih telah dimulai.
Ratih tersenyum puas, membiarkan darah Bian yang kaya energi Pawang meresap ke dalam cincin kuno itu. Ia mulai mengucapkan mantra, suaranya kini dipenuhi getaran Entitas Yang Tua.
"Jiwa Tumbal! Sekaranglah saatnya! Bergabunglah! Menjadi Abadi! Jadilah milikku!"
Tiara melihat darah Bian mengalir, dan ia mengerti. Pesan mental Bian... Isi Cincin itu! Dengan... Liontin Suci! berputar di benaknya. Ratih membutuhkan Cincin itu untuk mengunci jiwa-jiwa tumbal. Menghancurkannya mungkin mustahil, tetapi memurnikannya saat ia dipenuhi energi Pawang Bian adalah satu-satunya kesempatan.
"Tidak akan kubiarkan, Ratih!" teriak Tiara.
Ia mencengkeram Liontin Suci yang tergantung di lehernya. Ia tahu Liontin ini adalah hasil pemurnian dan Pengimbangan dari energi kacau Bian sebelumnya; itu adalah murni energi pemurnian.
Saat Tiara bersiap, Makhluk Hitam Besar itu meraung, menyadari ancaman Tiara. Makhluk itu melayang dengan cepat, bertujuan untuk menghancurkan Tiara sebelum ia bisa menyelesaikan aksinya.
Groooaarrr!
"Dwi! Lindungi Bian!" teriak Tiara.
Dwi, meskipun masih gemetar, merangkak menuju Bian, menggunakan tubuhnya yang terikat sebagai perisai.
Tiara menutup mata, memusatkan dirinya. Ia mengabaikan gemuruh Makhluk Hitam yang mendekat. Ia memusatkan semua cinta, ketenangan, dan tekadnya ke dalam Liontin Suci.
Tiara adalah Pengimbang. Tugasnya bukan menghancurkan, tetapi menyeimbangkan kekacauan.
Makhluk Hitam itu menyerang. Syuuutt! Cakar kabutnya menyabet udara, merobek altar batu di sebelah Tiara.
Kraak!
Tiara terhuyung. Ia menggunakan Liontin Suci sebagai perisai. Liontin itu memancarkan cahaya keemasan yang murni, bentrok dengan kegelapan Makhluk Hitam.
Makhluk Hitam itu menjerit, suaranya seperti ssshhh... ssshhhh... air yang bertemu api.
"Kau merusak rencanaku, Pengimbang bodoh!" Ratih, yang terganggu, berteriak, wajahnya merah padam.
Tiara membuka ikatan tangannya yang longgar sejak Makhluk Hitam menyerang Dwi dan dengan satu gerakan cepat, ia merangkak ke altar. Ia meletakkan Liontin Suci itu tepat di atas Cincin Perunggu yang kini berlumuran darah Bian.
Detik Liontin Suci menyentuh Cincin Perunggu, bentrokan energi kosmis terjadi.
Gedebum!
Cincin Perunggu mulai bergetar liar. Energi kacau yang sudah diserap dari jiwa-jiwa tumbal , Wina, Joni, Rendra mulai mendidih, bercampur dengan energi pemurnian Liontin Suci Tiara dan darah Pawang Bian.
Ratih menjerit frustrasi.
"Tidak! Jangan campurkan! Kau akan menghancurkan keabadianku!"
Ratih mencoba menghentikan Tiara, tetapi Makhluk Hitam itu terpaksa mundur oleh cahaya yang dikeluarkan Liontin Suci, yang kini bersinar terlalu terang hingga menyakitkan mata. Makhluk Hitam itu berputar, mencoba menyerang Tiara dari samping.
Bian, meskipun terikat dan lemas karena darah, menggunakan sisa kepekaannya. Ia melihat Benang Duka yang mengikat jiwa-jiwa tumbal kini memutih dengan cepat, karena pengaruh Liontin Suci.
Namun, energi itu terlalu besar. Bian melihat retakan muncul di Liontin Suci. Tiara terlalu memaksakan diri.
"Tiara! Cukup! Itu akan menghancurkanmu!" Bian mencoba memperingatkan.
Makhluk Hitam itu menemukan celah. Ia melompat ke atas Tiara, siap menghancurkan Liontin Suci dan Tiara secara bersamaan.
Ratih tertawa histeris. "Kau sudah terlambat, Pengimbang! Mati!"
Tepat ketika Makhluk Hitam itu melayang di udara, dan Ratih mengarahkan Tongkat Jaga untuk melepaskan tembakan energi terakhir ke arah Bian...
BOOM!
Terdengar dentuman keras dari hutan. Bukan gempa bumi, melainkan suara Gerbang yang terbuka paksa.
Situs Kuno diselimuti oleh cahaya keemasan dan hijau yang bercampur, bukan cahaya kotor, melainkan cahaya energi bumi yang mentah.
Makhluk Hitam itu menjerit kesakitan, terpaksa mundur. Ratih terhuyung, Tongkat Jaga-nya berkedip-kedip liar.
Dari kabut yang menyelimuti Situs Kuno, muncul sosok yang mereka kenal: Jaga.
Namun, Jaga berbeda. Tubuhnya diselimuti aura hijau yang menyerupai lumut dan akar pohon. Matanya tidak lagi membawa kesedihan, tetapi kebijaksanaan dan kekuatan bumi yang tak terhingga. Ia tidak mengenakan pakaian Pawang, tetapi seperti terintegrasi dengan Gerbang itu sendiri.
"Jaga..." bisik Bian, tak percaya.
"Kau pikir aku menghilang, Ratih?" Suara Jaga tidak lagi manusiawi, tetapi beresonansi seperti suara batu yang berderu. "Aku tidak mati. Aku hanya mengikat diriku pada Gerbang untuk menahan Entitas Yang Tua. Aku membiarkanmu mengambil Tongkat ini, karena aku tahu kau akan datang ke sini."
Ratih panik. Ia mengarahkan Tongkat Jaga-nya ke arah Jaga. "Kau pengkhianat! Kau adalah tumbal yang gagal!"
"Tongkat itu kosong, Ratih," kata Jaga tenang. "Kau menggunakannya untuk tumbal-tumbal kecil. Tetapi Energi Pawang sejati ada di sini!" Jaga menunjuk ke Situs Kuno, yang kini bergetar dengan kekuatannya.
Jaga mengulurkan tangan. Akar-akar tebal yang diselimuti energi hijau Pawang keluar dari tanah, mencekik tubuh Makhluk Hitam itu.
Kraaakkk!
Makhluk Hitam itu menjerit saat tubuhnya yang kabur ditarik paksa dan terurai menjadi asap hitam yang menjijikkan.
Jaga kemudian mengincar Ratih. Ratih melepaskan energi terakhir dari Tongkat Jaga, sebuah bola api hitam pekat, ke arah Jaga.
Jaga tidak menghindar. Ia menerima bola api itu, dan aura hijau di tubuhnya menyerapnya.
"Tongkat itu adalah alat Pawiro. Ia adalah alat Dendam," kata Jaga. "Dan ia harus dihancurkan."
Dengan kekuatan yang luar biasa, Jaga memukul Tongkat Jaga di tangan Ratih.
Clang! Krekkkk!
Tongkat itu hancur berkeping-keping. Energi hitamnya lenyap seketika. Ratih ambruk, kekuatannya terenggut. Ia kembali menjadi seorang wanita tua yang haus kekuasaan, wajahnya keriput dan penuh penyesalan.
Jaga berjalan ke altar, tempat Tiara yang kelelahan masih memegang Liontin Suci di atas Cincin Perunggu.
Jaga melihat retakan di Liontin Suci. Ia tersenyum lembut, senyum yang sama yang ia berikan pada Bian tiga tahun lalu.
"Kau adalah Pengimbang yang hebat, Tiara," bisik Jaga. "Kau telah memurnikan cincin itu. Jiwa-jiwa tumbal kini bebas dari ikatan Ratih."
Jaga meletakkan tangannya di atas Cincin Perunggu dan Liontin Suci. Energi Pawang yang ia serap dari Gerbang mengalir ke Cincin itu.
Wina. Joni. Rendra. Bian melihat cahaya-cahaya tipis yang mewakili sukma mereka, terlepas dari Cincin Perunggu. Mereka tidak menghilang, tetapi kembali ke tempat asal mereka damai dan terbebaskan.
Jaga kemudian mengambil Liontin Suci yang retak itu, menciumnya, dan menyerahkannya kembali kepada Tiara.
"Jaga, kau... kau menyelamatkan kami," kata Bian, terbatuk.
"Aku hanyalah Penjaga Sejati, Bian," jawab Jaga. "Kalian adalah Pawang Ilmu. Dan sekarang, aku akan menutup Gerbang selamanya. Bukan dengan pengorbanan, tetapi dengan pemahaman."
Jaga memegang Cincin Perunggu dan meletakkannya di atas Situs Kuno. Dengan kekuatan yang luar biasa, ia mengucapkan mantra penutup Gerbang, menggunakan energinya sendiri yang terintegrasi dengan Bumi.
Gedebum!
Seluruh Situs Kuno bersinar, dan energi kacau lenyap. Jaga tersenyum. Tugasnya selesai. Ia tidak menghilang, tetapi menyatu dengan Situs Kuno, menjadi bagian dari Penjaga abadi.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"