"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Setegar Itu
Tama adalah bintang hari ini, hanya perlu 3 jam untuk meyakinkan para investor dalam proyek Aksa, Selepasnya tugasnya sudah selesai di kota ini. Tama melihat jadwal penerbangan kembali ko perantauan masih nanti sore, masih ada waktu untuk mengunjungi Ibunya yang beberapa waktu lalu menghubunginya.
Mobil warna putih itu berhenti di sebuah rumah yang berukuran besar, ya rumah Tama yang masih bertahan di gempuran bangkrutnya perusahaan keluarganya. Tama turun dari mobil, melihat rumah tersebut sepi, seolah tidak berpenghuni. Semenjak ayahnya tiada dan keuangan tidak baik-baik saja, berpengaruh dengan jumlah manusia yang tinggal di sini. Banyak asisten rumah tangga yang terpaksa harus berhenti kerja.
"Tama?" suara itu meyakinkan apa yang dilihatnya.
"Ma..." Tama melihat wanita itu sedang berkebun di samping rumah.
"Inilah kegiatan mama sekarang, menanam sayur dan bunga untuk membunuh kejenuhan mama," Ratih melepas sarung tangannya, memutar kran air dan mencuci tangannya, membersihkan dari tanah merah yang menempel.
"Kamu sudah makan siang?"
Tama menggeleng.
"Firasat Mama memang tidak pernah salah, ayo makan bersama, sudah lama sekali kita tidak makan bersama di rumah ini, lihat mama masak sayur kesukaan kamu. Sop ikan patin" hidangan yang menggugah seleranya. Tama menarik kursi dan menatap hidangan tersebut, hidangan yang sama yang sering dibuatkan Binar untuknya. Tapi dia sudah lupa kapan terakhir memakannya walau Binar memasaknya. Dia tak lagi berselera dengan apa yang dilakukan Binar.
"Ma..." Tama melihat Ibunya lekat.
"Makanlah dulu, baru nanti kita akan ngobrol,"
Masih sama, rasanya masih nikmat dan segar. Piringnya sudah kosong, sudah sangat lama dia tidak merasakan masakan ini dan tentunya di rumah ini pula.
Mereka duduk di kursi teras samping yang terasa adem dengan berbagai pohon yang ada di dekatnya.
"Ma...apa Binar begitu menyebalkan?" Tama membuka obrolan, menatap wanita itu dengan ekspresi berbeda, tak lagi hangat seperti tadi.
"Mama merasa salah merestui kalian," jawaban itu keluar dengan tatapan wajah sedih. "Perusahaan tiba-tiba bangkrut, Papa kamu meninggal, dan banyak hal yang mama rasa mama salah menerima keberadaannya."
Ibunya adalah salah satu orang yang sangat baik dengan keberadaan Binar kala itu, masih sangat lekat di ingatannya. Bagaimana wanita itu memperlakukan Binar seperti anaknya sendiri.
Bagai membalikkan tangan, semua berubah seketika. Benih-benih ketidaksukaan kini memenuhi wanita yang melahirkannya itu.
"Mama serius, Binar itu ternyata bukan wanita yang baik. Nyatanya dia tengah berduaan dengan laki-laki lain, pantaskah seorang istri seperti itu?" Ratih mencelos, wajahnya masam saat mengingat sambil mengatakan demikian pada Tama.
"Itu temannya ma,"
"Kamu jangan asal membela dia, bisa-bisanya dia datang ke kota ini, bukannya kesini nengokin Mama, malah berduaan dengan laki-laki asing, dan tidak ada kamu. Jangan-jangan kamu uga tidak tahu kalau Binar ada di sini"
Tama menyalakan rokoknya, sudah lama dia tidak merokok sebenarnya.
"Sejak kapan kamu kembali merokok? nah kan benar, ternyata Binar sudah membawwa kamu sejauh ini" Ratih terus saja membuat asumsi liar terhadap Binar.
"Dia sekarang kerja, Ma"
"Bagus lah, biar tidak selalu menghabiskan uang kamu"
"Mama mengatakan dia selingkuh? berita ini tidak sampai ke telinga keluarganya kan?" Tama mematikan rokoknya dan meletakkan di asbak, lama tidak menyesap rokok, dadanya terasa agak sesak.
"Harusnya, biar mereka tahu kelakuan anaknya. Dulu mereka yang tidka merestui hubungan kalian berdua, malah yang terlihat buruk sekarang adalah dia"
***
Aroma tanah dan hujan menusuk indra penciuman dengan bau khasnya. Binar tengah duduk di bangku depan rumah sakit. Nyatanya dia adalah manusia pada umumnya, meskipun terlihat tenang menghadapi semua masalah hidupnya. Mentalnya sedikit goyang, dimulai dari perceraiannya dengan Tama. Diakui atau tidak hidupnya terganggu, tidur pun tak nyenyak.
Pertama kali datang ke psikiater untuk menceritakan apa yang menyesakkan dadanya. Binar melihat rintik hujan di bawah sinar lampu depan rumah sakit, nampak cantik seperti kembang api yang terus saja menetes. Sedikit lega setelah mengeluarkan segala beban di dadanya. Beberapa kali Binar menangis di dalam.
Binar sengaja menikmati hujan malam ini sebelum pulang ke rumah, menjadi terapi tersendiri buatnya. Psikiater menyarankan Binar untuk rehat sejenak, bisa dengan liburan dan sejenak menjauhkan diri dari kota ini. Nyatanya Binar belum bisa melakukannya, karena pekerjaannya belum bisa ditinggalkan.
"Kenapa aku selalu bertemu dengan kamu ya?" Aksa menghela nafas saat melihat Binar duduk sendirian, Binar menoleh.
"Pak?" Binar mengangguk.
"Kamu sakit? atau ada yang sakit?" Aksa duduk di samping Binar.
"Bapak lagi apa di sini?" Binar celingukan, melihat tidak ada siapapun.
"Ada yang sakit"
"Oh, siapa pak?"
"Keponakan. Kamu belum menjawab pertanyaanku,"
"Oh, iya...enggak kok, saya tidak sakit dan tidak ada yang sakit. Cuma ada janji saja dengan seseorang,"
"Hari ini banyak sekali ketidaksengajaan, tadi ketemu sama Pak Tama dan calon istrinya, ternyata tidak asing juga,"
Binar menoleh, terdiam beberapa saat. Jantungnya kembali berdebar, ada rasa yang tidak bisa dia jabarkan, entah sakit atau kecewa, yang jelas bukan cemburu.
"Pak Tama dan calon istrinya sedang menjalani screening kesehatan untuk persiapan mereka menikah," imbuh Aksa.
Tangan Binar menggenggam tanpa sepengetahuan siapapun, menahan rasa marah dan dendamnya. Dia berjuang memulihkan mentalnya, tapi Tama dengan mudahnya akan segera menikah dengan selingkuhannya.
"Jadi, siapa calon Pak Tama?" Binar memberanikan diri bertanya, meskipun dia yakin pasti jawabannya memang Helena.
"Helena"
Binar memalingkan wajah, kembali melihat hujan, rasanya dia ingin berlari di derasnya hujan, bermain di sana sepuasnya. Tebakannya tidak akan salah, benar wanita itu.
"Iya, mereka serasi ya pak?" Binar tersenyum.
"Aku tidak tahu definisi serasi, mungkin saja mereka jodoh dengan segala kecocokannya,"
Binar kembali melemparkan senyumnya, kecocokannya. Ya benar, mereka sama-sama cocok, karena sama-sama brengsek menurutnya.
"Oh ya, tadi yang sakit keponakan Bapak?" Binar mengalihkan pembicaraannya, agar tidka kembali membahas Tama.
"Iya, keponakan. Tio namanya, dia adalah anak adikku,"
"Cowok? umur berapa Pak?"
"6 tahun. Kamu pulang sendirian? tidak dijemput?" Aksa melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 10 malam.
"Tidak Pak, saya naik taksi saja"
Aksa mengangkat kedua alisnya, sejak bertemu dengan Binar, tidak sekalipun Aksa melihat suami Binar. Tidak enak rasanya jika mengajak Binar pulang dalam keadaan seperti ini, apalagi sejak mertuanya melabraknya tempo hari.
"Saya balik dulu,"
"Silahkan, Pak"
Dari kejauhan, Aksa melihat Binar beranjak dari bangkunya. Membuka payung warna biru muda dan bergegas mendekat ke arah taksi yang akan membawanya pulang. Aksa menunggu hingga Binar meninggalkan tempat ini. Dia penasaran dengan Binar, hanya saja tidak mau turut campur.