Kepercayaan Aleesya terhadap orang yang paling ia andalkan hancur begitu saja, membuatnya nyaris kehilangan arah.
Namun saat air matanya jatuh di tempat yang gelap, Victor datang diam-diam... menjadi pelindung, meskipun hal itu tak pernah ia rencanakan. Dalam pikiran Victor, ia tak tahu kapan hatinya mulai berpihak. Yang ia tahu, Aleesya tak seharusnya menangis sendirian.
Di saat masa lalu kelam mulai terbongkar, bersamaan dengan bahaya yang kembali mengintai, mampukah cinta mereka menjadi perisai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CutyprincesSs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Sesampainya di rumah, Aleesya menangis hebat. Ia keluar lebih dulu tanpa menunggu Victor lalu berhenti ketika melihat ayahnya berdiri tegap seolah menyambut kepulangannya. Ferdinan sudah tahu mengenai hal ini, ia lantas melangkah dan menarik putri semata wayangnya ke dalam pelukannya.
"Ayah..." isakannya makin terdengar jelas. Victor keluar dengan dua kancing jasnya sudah terlepas, pria itu diam menyusul Aleesya, membiarkan wanita itu mengadu pada ayahnya.
"Kita masuk dulu... ibumu ada di dalam."
Inggrid merasa hatinya teriris melihat tangis putrinya. Ia lalu memeluk Aleesya erat membiarkan emosi anaknya bisa keluar. "Ini sakit sekali ibu, aku sudah berusaha..." ucapnya di sela tangis. Inggrid hanya mengangguk, tangannya setia memeluk dan mengelus lembut punggung anaknya. "Ibu disini.. ibu tidak akan meninggalkan mu, Sayang."
Di ruang keluarga rumah Scott, Rossa sudah menyiapkan teh hangat dan ia sendiri tidak banyak bicara. Victor mengambil duduk di samping ibunya, matanya seolah berbicara bahwa di acara tadi, semua sangat kacau.
---
Ruang rapat lantai 49 Haverford Global Enterprise sore itu dipenuhi cahaya keemasan dari matahari yang mulai turun. Nathan Scott berdiri di depan dinding kaca, kedua tangannya terlipat di belakang, menatap grafik saham yang menurun drastis pada layar besar di depan para direksi.
Lenz Property, perusahaan yang dulu di gadang-gadang karena agresif serta keras kepala, kini tenggelam bak kapak mewah yang mengalami kebocoran lambung. "Limit down lagi, Sir." ucap asisten analisisnya penuh hati-hati. Nathan hanya mengangguk pelan, rautnya datar, namun matanya mengamati angka-angka jatuh itu tanpa terkejut.
HGE adalah investor terbesar Lenz Property. Saat Victor menarik investasinya secara senyap beberapa Minggu lalu, efeknya seperti bencana alam. "Apa pihak keluarga Lenz sudah meminta pertemuan lagi?" tanya Nathan. "Madam Sabrina mengirim Lima email dan tiga kali menelepon. Beliau... seperti masih menolak untuk membahas kebangkrutan, Sir."
Helaan napas terdengar lirik dari Nathan. Sabrina Lenz selalu hidup dalam dunia bergelimang harta, kemewahan dan ilusi stabilitas. Ia masih tak sadar efek video putranya akan mengantar perusahaannya di ambang kehancuran. Banyak investor menarik dana mereka dan hilangnya rasa percaya pada perusahaan yang sudah berdiri 20 tahun itu.
"Denial," gumam Nathan, suaranya rendah namun tegas. "Perusahaan sebesar itu bisa runtuh bukan karena masalah namun karena mereka berpura-pura tidak memahami masalahnya."
Direksi saling pandang, menunggu keputusan. Nathan berbalik, duduk perlahan. Tatapannya tajam namun tenang seperti seseorang yang sudah memprediksi hal ini jauh sebelum terjadi.
"Kita keluarkan pernyataan resmi. HGE menarik seluruh dukungan finansial. Jangan berikan alasan apapun... cukup kata 'evaluasi kinerja.' " Tidak emosional, tanpa dramatis." asistennya mengangguk patuh. Hawa dingin berasal dari AC menambah ketegangan dalam ruang rapat. "Baik, Sir."
Nathan mengetik meja pelan. Satu, dua kali. Irama yang menunjukkan ketegasan seorang pendiri raksasa bisnis. "Dan satu hal lagi," terusnya. "Pastikan nama Victor tidak muncul dalam laporan apapun. Ia bertindak sebagai putra saya. Tanggung jawabnya, biar saya tangani." nada suaranya berubah sedikit. Ada kebanggaan tipis dan juga perlindungan.
Ia tahu betul bahwa Victor tidak menjatuhkan Lenz Property untuk keuntungan bisnis. Putranya bergerak karena Aleesya disakiti. Dan untuk kali ini... Nathan membiarkannya.
"Persiapkan rapat dengan regulator," ucapnya tegas. "Lenz harus menghadapi konsekuensinya. Kita? Kita hanya menarik diri."
Para direksi mengangguk serempak.
Di ujung ruangan, grafik saham Lenz Property kembali menurun curam. Garis merahnya memanjang seperti luka terbuka. Di lain kota, Sabrina mungkin masih kebingungan menyangkal kenyataan saat ini. Namun bagi Nathan Scott, kejatuhan ini hanyalah satu dari puluhan halaman dalam buku panjang industri.
Bab terakhir... yang baru saja ditutup.
Lenz Property... gulung tikar.
---
Ruangan ballroom itu sudah terlihat sepi oleh tamu setelah insiden kedatangan Aleesya yang melabrak mereka berdua. Setelahnya, tidak ada yang datang untuk memberi selamat membuat tim wo menanyakan apakah acara tetap dilanjutkan atau di tutup. Vira masih merasa kesal, ia memutuskan untuk membersihkan diri setelah badannya berlumuran slime oleh Aleesya tadi.
Sedangkan Maxime... pria itu masih mengenakan tuxedo yang sama sedang mengurusi administrasi hotel setelah kejadian tadi. Malam sudah hadir beberapa jam yang lalu, ia bergegas pulang karena permintaan ayahnya.
---
Ruang kerja pribadi milik maxwell malam itu terasa lebih pengap meskipun AC menyala. Lampu LED yang tak begitu terang memantul diatas tumpukan kertas dengan laporan keuangan yang berserakan di meja. Meskipun acara pernikahan selesai di gelar, grafik saham terus meluncur turun.
Maxwell duduk di kursi kulitnya. Rautnya pucat, matanya merah karena kurang tidur. Di tangannya, laporan saham yang ambruk hari itu bergetar halus.
Beberapa menit kemudian, pintu di ketuk. Maxime masuk pelan membawa sisa kekacauan pernikahan di wajahnya. Ia menarik napas pelan, "Ayah.. ibu bilang ayah ingin bicara?"
Maxwell menatap putranya lama, terlalu lama... seolah mencari sisa-sisa akal sehat dalam diri anak itu. "Duduk." suaranya berat, rendah, dan penuh tekanan. Maxime menurut, namun suasana hening menggantung beberapa detik membuatnya tampak gelisah, seolah tahu apa yang akan dibicarakan ayahnya. Tangannya bahkan bergetar dan terasa dingin.
"Saham kita anjlok," ucap Maxwell. "Investor terbesar sudah menarik diri... kau tahu apa artinya?" tangannya yang berada di atas pegangan kursi terkepal. Maxime menelan ludah dengan susah payah. "Ayah... aku sedang mencoba menghubungi beberapa-"
Maxwell menyahut cepat tanpa bantah. "Tidak... kau tidak sedang mencoba apapun." nadanya meninggi. "Ini semua terjadi karena perbuatanmu."
Maxime terdiam, rahangnya menegang. Bibirnya seolah terkunci rapat. "Video itu viral di mana-mana. Citra kita hancur. Dan ayah tidak percaya..." Maxwell menepuk meja. "...kau masih mempunyai nyali berdiri di depan ayah dengan wajah seperti itu, seolah masalah ini hanya sepele!"
"Ayah!" Maxime ikut meninggikan suaranya, "aku juga korban! Aku-" tapi Maxwell tak mau mengalah. "Kau korban dari kebodohanmu sendiri! Kau pikir publik akan percaya 'kau tidak sengaja'? Kau pikir para investor tidak memperhatikan gaya hidupmu?! Skandal! Perselingkuhan! Kecerobohan!"
Maxime mengepalkan tangan, ia naik pitam. "Ayah tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi!" tatapannya menusuk, namun Maxwell jauh lebih murka. "Ayah tidak perlu tahu!" teriaknya. "Ayah hanya melihat hasilnya: perusahaan yang nenekmu bangun hampir bangkrut! Dan orang yang seharusnya melanjutkan warisan ini justru sibuk mengejar wanita dan memilih menghancurkan hidupnya sendiri!"
"Ayah selalu menyalahkan aku! Selalu aku! Mengapa ayah tidak pernah melihat dari sudut pandang lain? Mengapa ayah tidak pernah mendengar apa yang sebenarnya-" Maxwell langsung berdiri dengan susah payah, atmosfer menjadi tegang dan suasana memanas. Percakapan panas antara ayah dan anak ini bahkan terdengar hingga luar ruangan, namun pra bodyguard yang berjaga di pintu hanya diam seolah tidak mendengar apapun. "SISI LAIN APA?!" tangannya menumpu tubuhnya di atas meja. "Sisi lain bahwa kau membiarkan orang ketiga masuk dalam hubunganmu? Sisi lain bahwa kau menghancurkan wanita yang selama ini mendukungmu?!"
"Jangan bawa Aleesya dalam masalah ini!" teriak Maxime, dadanya naik turun. Mendengar nama Aleesya disebut membuat emosinya meledak. Maxwell menepuk meja lebih keras, membuat tumpukan kertas disana sedikit bergerak. "Justru karena Aleesya, Maxime! Lihat apa yang terjadi setelah kau meninggalkan dia! Kamu pikir Victor akan diam saja?! Kau pikir keluarga Scott akan membiarkan putri keluarga Ferdinan disakiti begitu saja?!"
Maxime kehabisan kata-kata. Ia menyadari sesuatu, bahkan tindakannya bukanlah skandal biasa. Tapi memicu perang bisnis. "Ayah sudah menasehatimu dari dulu.." suara Maxwell menurun tapi semakin emosional. "Aleesya itu calon istri yang baik. Keputusanmu meninggalkan dia... itu awal dari kehancuranmu, Max!" Maxime memejamkan mata, tangannya mengepal mendengar ocehan ayahnya yang membandingkan Vira dengan Aleesya.
"Ayah... berhentilah bicara seolah ayah paling tahu segalanya!" ia membuka mata perlahan, sorot matanya tajam. "Ayah tidak pernah ada waktu untuk berbicara denganku secara pribadi. Yang ayah pikirkan hanya perusahaan, saham, investor! Aku mematuhi semua perintah ayah, dan sekarang saat perusahaan jatuh, ayah menyalahkan ku lagi?! AYAH-"
Maxime menjeda ucapannya, ia melihat ayahnya bernapas tersendat dengan tangannya yang menekan dada kuat-kuat. Wajahnya berubah pucat pasi. "Ah-!" pria paruh baya itu memegangi meja, tubuhnya bergetar.
"Ayah?" Maxime maju, suaranya berubah panik. "Ayah kenapa? Ayah!"
Maxwell tersungkur ke lantai, napasnya pendek, wajahnya sedikit membiru. "AYAH!!!" Maxime mengguncangkan tubuh ayahnya, matanya membesar, sorotnya penuh ketakutan. "Pak! Panggil ambulans!! Cepat!!" teriaknya ke arah luar ruangan.
Pintu dibuka tergesa-gesa oleh asisten, kepanikan memenuhi ruangan. Maxime memegangi ayahnya erat-erat, suaranya pecah. "Ayah... jangan sekarang... Ayah.. bertahanlah!"
Napas Maxwell tersengal, ia berusaha mengucap sesuatu. Suaranya yang lirih nyaris tak terdengar.
"Semuanya... sudah... terlambat..." tubuhnya melemah dalam pelukan Maxime. Tak lama alarm ambulans mendekat... namun entah itu masih sempat... atau sudah benar-benar terlambat.
***