Zona Khusus Dewasa
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 ACICD - Ruby Kepo
Ada sekitar 30 menit Ruby berkutat dengan monitor di hadapannya, tapi dia tidak menemukan informasi mengenai Drasha selain wanita itu merupakan nona muda dari keluarga Alveroz dan istri Adriel William Yoseviano. Foto wanita itu pun tidak bisa ditemukan di mana-mana.
"Datanya dilindungi."
Ruby mencoba cara lain untuk membuka informasi tersebut, tapi tidak bisa. Seseorang yang memiliki kemampuan hacking handal seperti dirinya ternyata sangat susah menembus perlindungan informasi mengenai Drasha Ravery Alveroz itu.
Dilihat dari latar belakang keluarga dan suaminya yang punya perusahaan berbasis teknologi, tidak heran mengapa informasi mengenai Drasha begitu rahasia.
Ah. Sudahlah. Kenapa pula dia kepo mengenai wanita bernama Drasha itu.
Oh iya, lebih baik dia menyelidiki mengenai kejadian di festival selebcing tadi pagi. Jelas ada sabotase di panggung utama itu. Bisa jadi hal tersebut akan ada kaitan dengan misinya ke depan.
Ibarat, sedia payung sebelum hujan.
Ruby mulai fokus kembali. Cahaya biru dari tiga monitor ultra-wide memantul di mata wanita cantik itu. Di depannya, jendela-jendela CCTV terbuka satu per satu, seperti puzzle raksasa yang menunggu untuk dirangkai.
Dia mengetik cepat, menimbulkan suara klik klik klik berulang untuk membuka akses tersembunyi yang hanya bisa dijebol oleh seseorang dengan skill tingkat tinggi.
Beberapa saat kemudian, database CCTV festival selebcing, panggung, tenda backstage, parkiran, hingga jalan-jalan kecil di radius beberapa ratus meter, semuanya terpampang jelas dalam bentuk video feed.
Di layar kiri ada rekaman dari drone pengawas.
Di layar tengah, CCTV panggung utama.
Di layar kanan, jalur listrik dan area teknisi di belakang panggung.
Wanita cantik berkulit putih bening itu mengernyit. "Oke…sejauh ini nggak ada yang mencurigakan…"
Ruby mempercepat playback, menandai waktu, menahan bagian penting, memperbesar gerakan mencurigakan. Setiap detik rekaman dianalisis. Pantulan lampu, bayangan orang, teknisi yang lalu-lalang, bahkan titik kecil seperti kabel yang bergeser beberapa sentimeter.
Tangan kanannya menggeser mouse dengan hati-hati, lalu tangan kiri mengetik perintah untuk menstabilkan dan mempertajam kualitas video. Begitu Ruby menemukan momen aneh, matanya menyipit. Dia mendapatkan seorang teknisi yang berhenti terlalu lama di belakang panel listrik.
"Ketemu…" gumamnya, bibir melengkung tipis.
Ruby memperdalam zoom, menangkap sekilas bentuk benda di tangan teknisi itu, lalu meneliti setiap inci tubuhnya. Dia mendapati setengah tato yang tertutup kerah pakaian teknisi itu.
"Dia orang lain yang menyamar," gumam Ruby. Wanita itu mengerti, pasalnya Ruby sering melakukan hal yang sama.
Ruby kemudian memeriksa CCTV area luar festival. Gerbang servis, tempat sampah belakang, lorong distribusi, hingga parkiran kendaraan. Setiap sudut dia buka, memastikan tidak ada celah yang lolos dari radarnya.
"Aku pernah liat di mana yah tato yang ujungnya berliku kayak gitu?"
"…"
"Simpen aja dulu, entar patternnya juga bakalan ketemu."
Pupil mata Ruby berkilat penuh determinasi. Dengan satu tekan tombol, dia mengekspor klip bukti.
"Ada yang diincar di festival selebcing itu, tapi siapa?"
Ruby ingin mencari lebih jauh, tetapi sebuah pop up email baru muncul di sudut kanan monitor utama. Isinya berupa kombinasi kode, angka dan huruf secara acak.
Sebuah misi.
Ruby bergegas keluar dari ruangan tersembunyi itu dan meraih hapenya yang ada di nakas samping tempat tidur.
Dia menelepon seseorang yang bertugas sebagai pemberi informasi mengenai misi di Crimson Lilies.
"Detailkan misinya, handler 1008," ujar Ruby datar, dengan kilatan mata pemburu yang tajam.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Adriel baru saja tiba di mansion megah, kediaman keluarga Yoseviano. Dia menggendong Narell yang sudah mengantuk berat. Bocah itu mengucek-ngucek matanya dengan punggung jemarinya.
Lantas, Adriel melangkahkan kakinya tegas memasuki foyer yang luas. Sementara itu, Narell semakin terkulai di pelukan Adriel. Kepala kecilnya bersandar di bahu sang paman, rambutnya yang halus menempel karena kantuk yang berat.
"Selamat datang, Tuan Muda," sapa seorang pria paruh baya bernama Alan. Dia kepala pelayan di mansion tersebut, sebelumnya dia adalah asisten pribadi Adriel.
Barisan para pelayan ikut menunduk sopan, menyambut tuan muda mereka yang sudah lama tidak muncul di kediaman Yoseviano.
"Kakek di mana?" tanya Adriel.
"Tuan Besar sudah beristirahat di kamarnya, Tuan Muda," jawab Pak Alan.
"Baiklah, biarkan kakek istirahat, tidak perlu mengabarkan kalau saya datang. Saya cuma mau menidurkan Narell lalu pergi lagi."
"Anda tidak menginap, Tuan Muda?"
"Tidak, saya punya urusan."
"Baik, Tuan Muda."
Adriel kemudian menoleh pada nanny Narell. "Pakaian ganti Narell sudah siap?"
"Sudah saya siapkan di kamar tuan kecil, Tuan Muda," jawab nanny bernama Fairish.
"Oke." Adriel segera melanjutkan langkah sambil mengatur posisi Narell di pelukannya.
Dia membawa bocah itu ke lantai dua. Begitu mencapai kamar Narell, ruangan bernuansa biru pastel menyambut mereka. Ada lampu tidur berbentuk planet, selimut bermotif bintang dan rak mainan yang rapi.
Walau Narell sudah hampir tertidur, Adriel tetap memegang prinsip kalau anak harus bersih sebelum tidur. Lantas Adriel langsung ke kamar mandi yang terhubung dengan kamar itu.
Dia menyalakan keran kecil, memastikan air hangat, lalu mendudukkan si kecil di bangku mungil.
"Inyii di mana, Dad-dyyy?" tanya Narell menguap. Dia menggosok-gosok matanya.
"Sudah di kamar Narell, coba angkat kakinya," ujar Adriel lembut. Bocah itu mengangkat kaki dengan mata setengah terpejam.
Pria itu mencuci kedua kaki mungil itu perlahan, mengusap tumit dan jari-jarinya sebelum mengeringkannya dengan handuk kecil.
Selanjutnya, Adriel membawa Narell ke depan wastafel. Dia meraih sikat gigi kecil bergambar dinosaurus, mengoleskan sedikit pasta.
"Buka mulutnya, Narell," titah Adriel. Bocah lima tahun itu menurut tapi matanya benar-benar sudah berat.
"Bagus," Adriel membantu keponakannya yang sudah terlalu mengantuk itu untuk menggerakkan tangannya sendiri.
Setelah selesai, Adriel membilas mulut Narell dengan pelan dan mengusap sudut bibirnya yang masih ada busa kecil.
Kembali ke kamar, Adriel memposisikan Narell di pangkuannya, lalu menanggalkan pakaian harian keponakannya itu dengan gerakan hati-hati, memastikan Narell tidak kaget.
Pria itu kemudian memakaikan piyama tidur bermotif roket. Kancing kecilnya ditutup satu per satu sambil Adriel merapikan rambut si bocah dengan ujung jarinya.
Setelah itu, dia membaringkan sang keponakan, menarik selimut hingga dada, lalu menepuk punggungnya perlahan.
Lanjut, Adriel mengambil boneka astronaut favorit Narell dari rak dan meletakkannya di samping, membuat tangan kecil itu otomatis meraihnya.
Tak sampai satu menit, Narell sudah kembali terlelap dengan napas halus dan damai. Adriel memandanginya sebentar, wajah dingin pria itu melunak secara alami.
Ya, sebelum kehadiran Narell, hidup Adriel benar-benar suram setelah kehilangan Drasha. Dia tidak pernah tersenyum dan sikapnya sangat dingin ke semua orang.
Tapi, begitu Narell lahir, perlahan-lahan hidupnya kembali berwarna meski tak secerah dulu. Setidaknya dia bisa kembali tersenyum. Makanya Kayrell kakak sepupunya mengajari Narell sejak awal untuk memanggil Adriel dengan sebutan daddy.
Setelah itu, Adriel mengusap kepala keponakannya, dia mematikan lampu utama, meninggalkan hanya lampu tidur berbentuk planet yang memendar lembut.
Pintu kamar ditutup perlahan, tanpa suara. Begitu Adriel melangkah menyusuri koridor yang panjang, ekspresinya kembali dingin dan tegas, tapi jejak kehangatan barusan masih menempel di matanya.
Dia meraih ponsel di saku dan melakukan panggilan pada Hougan.
"Bagaimana?"
"Sudah beres, Pak."
"Oke, saya ke sana."