Pewaris Kembar

Malam itu, di kamar besar keluarga Nugroho, udara terasa berat.

Leony duduk di depan meja riasnya, matanya tajam menatap bayangan sendiri di cermin. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja perlahan, seperti sedang menghitung sesuatu di dalam kepala. Sejak kedatangan Zidan, pikirannya tak pernah tenang.

Zayan masuk tanpa mengetuk, wajahnya kusut dan napasnya berat. “Mama... aku nggak bisa percaya. Aku lihat sendiri, tangan Zidan sekarang udah kayak normal. Gerak, angkat gelas, bahkan makan dengan tenang. Gimana bisa?!” serunya setengah panik.

Leony menatap putranya lewat pantulan cermin. “Ya, aku juga melihatnya. Dan itu berarti satu hal, Zayan, papahmu benar-benar serius membawa anak itu kembali ke hidupnya.”

Zayan berjalan mondar-mandir di kamar. “Ini gila. Papa bahkan nggak nanya pendapat kita! Dia langsung bawa Zidan masuk rumah, makan bareng, seolah semua masa lalu nggak pernah terjadi.”

Leony berdiri perlahan, suaranya dingin dan terkontrol. “Zidan datang bukan untuk tinggal, tapi untuk mengambil. Dan kalau kita tidak hati-hati, dia akan mengambil segalanya, nama keluarga, kepercayaan ayahmu, bahkan masa depanmu.”

Zayan mengerutkan kening. “Terus Mama mau aku ngapain? Papa jelas udah berpihak ke dia.”

Leony berbalik menatap Zayan dengan sorot tajam. “Tidak. Kita belum kalah. Masih ada satu cara untuk membuat Jefri yakin bahwa kaulah pewaris yang pantas.”

Zayan menatap ibunya dengan bingung. “Apa maksud Mama?”

“Menikahlah dengan Zoya,” jawab Leony tanpa ragu. “Secepatnya.”

Zayan terdiam. “Mama serius? Semua orang tahu Zoya hamil sekarang. Bahkan Papa juga tahu.”

“Justru itu alasan utamanya,” balas Leony cepat. “Jefri mungkin kecewa dengan kejadian itu, tapi dia tidak akan membiarkan cucunya lahir tanpa status. Kalau kau menikahi Zoya sekarang, Jefri akan melihatmu sebagai lelaki yang bertanggung jawab. Sebagai ayah yang berani menanggung akibatnya. Dan sebagai pewaris yang pantas mempertahankan kehormatan keluarga.”

Zayan mendesah, mengusap wajahnya frustasi. “Tapi Mama tahu sendiri hubungan kami sekarang nggak baik. Zoya... dia masih dingin sama aku.”

Leony berjalan mendekat, menepuk bahu anaknya dengan lembut tapi tegas. “Zayan, dengarkan aku. Kau tidak perlu menunggu dia mencintaimu. Kau hanya perlu membuatnya setuju menikah. Setelah itu, semuanya akan mengalir sesuai keinginan kita.”

“Tapi kalau Papa malah melihat pernikahan ini sebagai bentuk tanggung jawab Zoya, bukan aku?”

“Tidak akan,” sahut Leony cepat, suaranya tajam seperti belati. “Papa akan memandangmu sebagai pria yang berani memperbaiki kesalahan. Itu citra yang dia mau. Dan citra itu, Zayan, lebih kuat dari seribu pembelaan.”

Zayan terdiam. Pandangannya kosong menatap lantai. “Aku... aku nggak tahu, Ma. Aku masih shock lihat Zidan tadi. Rasanya... seperti lihat bayangan sendiri yang datang untuk menghancurkan hidupku.”

Leony mendengus pelan, nada sinis menyelinap dalam suaranya. “Bayangan? Tidak, sayang. Zidan itu cuma masa lalu yang diseret kembali ke meja makan. Ia bukan ancaman, kecuali kalau kau membiarkannya jadi satu.”

Ia berbalik, berjalan ke jendela, memandang cahaya kota yang berkelip di luar. “Tapi aku tahu papahmu. Dia mudah luluh pada hal-hal sentimental. Jadi kita harus menekan titik itu. Keluarga kecil bahagia, kau, Zoya, dan bayi kalian. Itu gambaran sempurna yang ingin Jefri lihat.”

Zayan mendekat, suaranya mulai berat. “Jadi Mama mau aku melamar Zoya dalam waktu dekat?”

“Dalam waktu sangat dekat,” jawab Leony mantap. “Kita adakan makan malam keluarga di rumah. Jefri akan ada di sana. Kau ajak Zoya, dan di depan semua orang, kau melamarnya. Dengan begitu, Jefri tidak akan punya alasan lagi untuk menolakmu.”

Zayan menatap ibunya lama, masih ragu. “Dan kalau setelah itu Papa tetap lebih memilih Zidan?”

Leony menoleh, tersenyum tipis, senyum yang lebih menyeramkan dari kemarahan mana pun. “Kalau itu terjadi… maka kita akan pastikan Zidan tidak akan bertahan lama di posisi itu.”

Keheningan jatuh.

Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, mengisi ruang di antara mereka.

Zayan memejamkan mata, lalu mengangguk perlahan. “Baiklah, Ma. Aku akan lakukan. Aku akan menikahi Zoya.”

Leony tersenyum puas, lalu membelai pipi anaknya lembut. “Bagus. Itulah anak Mama.”

Tapi di balik senyumnya yang manis, ada bayangan kelam di matanya.

Zidan mungkin sudah kembali dengan tangan yang utuh, tapi bagi Leony, itu hanya berarti satu hal, sekarang perang benar-benar dimulai.