NovelToon NovelToon
Voice From The Future

Voice From The Future

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Romansa Fantasi / Teen School/College / Time Travel / Romansa / Enemy to Lovers
Popularitas:50
Nilai: 5
Nama Author: Amamimi

Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gangguan Bernama Takae

Seminggu setelah festival budaya, kehidupan di SMA mereka berangsur normal—atau setidaknya, senormal mungkin bagi Renjiro Sato.

Statusnya di sekolah sedikit berubah. Dia bukan lagi "Sato si hantu pojok kelas". Berkat perannya yang mencolok saat mengatur panggung dan memimpin pasukan Kendo saat festival, dia sekarang dikenal sebagai "Sato si Aset OSIS". Julukan yang diberikan oleh Marika, tentu saja, tapi entah kenapa menyebar ke seluruh angkatan.

Siang itu, ruang OSIS terasa damai.

Ren sedang duduk di kursinya, mengetik rekapitulasi anggaran di laptop. Di seberangnya, Marika tidak sedang memeriksa dokumen. Dia sedang menggambar.

Di balik buku Sejarah yang dia tegakkan sebagai benteng, tangan Marika menari di atas buku sketsa biru tua—buku yang sama yang ditemukan Ren di gudang. Ren tahu dia menggambar, tapi dia pura-pura tidak tahu. Itu adalah kesepakatan tak tertulis mereka.

"Sato-kun," gumam Marika tanpa mendongak.

"Ya?"

"Pensil 2B-ku tumpul. Rautan di laci kedua. Ambilkan."

Ren tersenyum tipis tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Siap, Bos. Tapi ngomong-ngomong, rautan itu jaraknya cuma 10 senti dari tangan kananmu."

"Efisiensi energi," balas Marika datar. "Aku sedang fokus pada... visi strategis."

Ren terkekeh. Visi strategis alias menggambar desain gaun gothic lolita. Dia baru saja akan berdiri untuk mengambilkan rautan itu ketika...

BRAK!

Pintu ruang OSIS dibanting terbuka dengan kekuatan yang membuat papan tulis bergetar.

Ren dan Marika tersentak kaget. Buku sketsa Marika hampir terlempar. Dia dengan cepat menutupnya dan menyembunyikannya di bawah tumpukan kertas.

Di ambang pintu, berdiri sesosok badai.

Seorang gadis jangkung dengan kulit putih eksotis dan rambut pendek model bob yang berantakan. Dia mengenakan seragam sekolah, tapi roknya dipendekkan secara ilegal, dan dia memakai jersey basket bernomor 7 di balik blazernya yang tidak dikancing.

Matanya yang tajam menyapu ruangan seperti radar pencari musuh, dan berhenti tepat pada Ren.

"MANA YANG NAMANYA SATO RENJIRO?!" teriaknya. Suaranya lantang, penuh energi, dan terdengar sangat marah.

Ren menunjuk dirinya sendiri dengan ragu. "Eh... saya?"

Gadis itu melangkah masuk dengan langkah lebar-lebar, mengabaikan Marika yang sudah berdiri dengan wajah tidak senang. Dia berhenti tepat di depan meja Ren, lalu menggebrak meja itu dengan kedua tangan.

BAM!

"Jadi lo biang keroknya?!" bentaknya. Jarak wajah mereka cuma sepuluh senti. Ren bisa mencium bau keringat segar dan deodorant citrus yang kuat.

"Tunggu, tunggu," kata Ren, mengangkat tangan tanda menyerah. "Biang kerok apa? Dan... kamu siapa?"

"Hah?! Lo nggak kenal gue?!" Gadis itu menunjuk dadanya sendiri dengan jempol. "Gue Takae Yumi! Ace tim basket putri! Dan gara-gara 'logistik cerdas' lo pas festival kemarin, gue dan tim gue sekarang nggak bisa latihan!"

Ren bingung. "Logistik? Maksudmu panggung itu? Sudah dibongkar kemarin, kan?"

"Iya, udah dibongkar!" seru Takae, matanya menyala-nyala. "Tapi lakban yang lo pake buat nandain posisi panggung itu lakban industri, kan?! Sisa lemnya nempel di lantai lapangan basket! Lengket banget! Tadi pagi gue lagi lay-up, sepatu gue nyangkut, dan gue hampir ciuman sama lantai!"

Dia mencengkeram kerah gakuran Ren.

"Lo harus tanggung jawab! Bersihin sekarang atau gue jadiin lo bola basket!"

"Lepaskan dia, Takae-san."

Suara Marika memotong ketegangan itu, dingin dan tajam seperti silet.

Marika sudah berdiri di samping meja, tangannya bersedekap. Aura "Ketua OSIS"-nya menguar kuat.

"Masuk tanpa mengetuk. Menggebrak meja inventaris sekolah. Mengancam staf OSIS. Itu tiga pelanggaran dalam satu menit," kata Marika tenang. "Keluar sekarang sebelum saya laporkan ke pelatihmu."

Takae melepaskan kerah Ren, tapi dia tidak mundur. Dia berbalik menghadapi Marika. Dua kekuatan besar—Api dan Es—bertemu.

"Oh, Bu Ketua yang terhormat," cibir Takae. "Gue nggak takut sama laporan lo. Tim basket mau tanding minggu depan. Kalau lapangan nggak beres hari ini gara-gara anak buah lo yang sok ide ini, kitalah yang bakal lapor ke Kepala Sekolah soal inkompetensi OSIS!"

Marika menyipitkan matanya. "Itu bukan inkompetensi. Itu residu yang tidak terduga. Seksi kebersihan akan menanganinya besok."

"BESOK KELAMAAN!" Takae kembali menatap Ren. "Heh, Kutu Buku. Lo laki bukan? Kalo lo laki, lo beresin kekacauan lo sendiri. Sekarang. Ikut gue ke GOR."

Ren menatap Takae, lalu menatap Marika. Marika terlihat siap memanggil satpam.

Tapi Ren menghela napas. Dia berdiri.

"Oke," kata Ren tenang.

"Sato-kun?" Marika menatapnya tak percaya. "Kamu tidak perlu menuruti preman ini."

"Dia benar, Tsukishima-san," kata Ren sambil merapikan kerahnya. "Aku yang pilih jenis lakban itu karena murah dan kuat. Aku nggak mikirin sisa lemnya. Jadi ini tanggung jawabku."

Ren menatap Takae. "Ayo ke GOR. Aku beresin."

Takae menyeringai lebar, menampilkan deretan gigi putih yang kontras dengan kulitnya. Dia menepuk punggung Ren—sangat keras—sampai Ren terbatuk.

"Nah! Gitu dong! Jantan dikit! Ayo buruan!"

Takae menyeret Ren keluar ruangan.

Marika ditinggalkan sendirian di ruang OSIS yang sunyi. Tangannya mengepal di samping tubuhnya. Buku sketsanya terlupakan.

"Aset bodoh," desisnya, lalu bergegas menyusul mereka.

Gedung Olahraga (GOR) terasa panas dan berisik. Anggota tim basket putri lainnya sedang duduk-duduk di pinggir lapangan dengan wajah kesal, memandangi area tengah lapangan yang penuh bercak hitam lengket sisa lakban.

"Nih, pelakunya!" seru Takae, mendorong Ren ke tengah lapangan. "Beresin. Gue kasih waktu 30 menit."

Ren berjongkok, menyentuh noda hitam itu. Lengket sekali. Pantas saja sepatu Takae nyangkut. Kalau dipaksa dikerok, lapisan pernis lantai kayunya bisa rusak.

"Kalian nyoba bersihin pake apa tadi?" tanya Ren.

"Pake air lah! Sama kain pel!" jawab salah satu anggota tim.

Ren menggeleng. "Air sama lem itu musuhan. Nggak bakal mempan."

Ren berdiri, lalu membuka jaket seragamnya dan menggulung lengan kemejanya. "Takae-san, bisa minta tolong ambilkan minyak tanah atau thinner dari gudang seni? Sama kain perca kering."

Takae mengangkat alis. "Lo nyuruh gue?"

"Lo mau lapangan beres atau mau debat?" balas Ren santai.

Takae terdiam sejenak, kaget ada cowok (selain pelatih) yang berani menjawabnya dengan nada sedatar itu. Biasanya cowok-cowok kutu buku akan gemetaran kalau dia bentak.

"Cih. Oke. Awas kalo gagal," gerutu Takae, lalu berlari ke gudang.

Lima menit kemudian, Ren mulai bekerja. Dia menuangkan sedikit cairan thinner ke kain, lalu menggosok noda itu dengan gerakan memutar yang stabil. Bau tajam kimia memenuhi udara.

Takae berdiri di sampingnya, berkacak pinggang, mengawasi seperti mandor.

"Pelan-pelan," komentar Takae. "Jangan sampe kayunya ngelupas."

"Bawel," gumam Ren.

"Apa lo bilang?!"

"Gue bilang, tenang aja," kata Ren tanpa menoleh. "Gue udah biasa bersihin ginian di bengkel paman gue."

Satu per satu noda hitam itu hilang, menyisakan lantai kayu yang bersih mengilap. Ren bekerja dengan efisien, tanpa banyak bicara, keringat mulai menetes di pelipisnya.

Takae memperhatikan Ren. Awalnya dia kesal. Tapi melihat cowok kurus itu bekerja serius, tidak jijik kotor, dan tidak mengeluh sedikitpun meski baru saja dimaki-maki... pandangannya sedikit berubah.

Dia melihat cara Ren menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan. Dia melihat urat-urat halus di lengan Ren saat dia menekan kain pel.

Lumayan juga, batin Takae.

Setengah jam kemudian, lapangan bersih total.

Ren berdiri, meregangkan punggungnya yang pegal. "Selesai. Coba tes."

Takae mengambil bola basket. Dia menatap Ren, seringai jahil muncul di wajahnya.

"Oke. Tapi biar seru..." Takae mendribble bola dengan cepat, suaranya bergema dum-dum-dum. "Kita taruhan. Lo coba rebut bola ini dari gue. Kalau lo bisa nyentuh bola sekali aja dalam 10 detik, gue traktir lo minum sebulan. Kalau gagal, lo jadi manajer tim basket kita buat ngangkatin galon."

"Hah? Nggak mau," tolak Ren langsung. "Gue sibuk di OSIS."

"Takut?" ledek Takae, memutar bola di jari telunjuknya. Wajahnya mendekat ke wajah Ren, menantang. Matanya yang cokelat terang menatap tajam. "Katanya aset OSIS. Masa lawan cewek aja takut?"

Ren menghela napas. Dia tahu tipe ini. Kalau ditolak, dia bakal makin nekat.

"Sekali sentuh doang, kan?" tanya Ren.

"Sekali sentuh."

"Mulai."

Takae langsung bergerak. Dia mendribble bola dengan kecepatan tinggi, badannya yang atletis meliuk-liuk menghindari Ren. Ren mencoba menjangkau, tapi Takae terlalu cepat.

"Lambat! Payah!" ledek Takae sambil tertawa, menikmati permainan ini. Dia merasa di atas angin.

Ren diam saja. Dia tidak lari mengejar. Dia hanya berdiri diam, memperhatikan pola gerakan Takae.

Detik ke-8.

Takae melakukan crossover di depan Ren, berniat mempermalukannya dengan melewatinya.

Tapi saat bola itu memantul rendah di dekat kaki Ren... Ren tidak menggunakan tangannya.

Dia menjatuhkan dirinya.

Bukan jatuh terpeleset. Dia sengaja menjatuhkan badan ke depan, meluncur di lantai yang baru saja dia bersihkan (yang sekarang sangat licin karena thinner).

Tangan Ren menyapu lantai, dan ujung jarinya menyentil bola itu tepat saat memantul naik.

Plak.

Bola terlepas dari kendali Takae dan menggelinding keluar lapangan.

Takae terpaku. Ren tergeletak di lantai, tengkurap, napasnya terengah-engah.

"Sentuh," kata Ren dari lantai, mengangkat satu jarinya. "Gue menang."

Hening sejenak di GOR.

Lalu Takae meledak tertawa. Tawa yang keras dan lepas.

"HAHAHAHA! Gila lo! Ngapain lo sampe diving gitu?!"

Takae mengulurkan tangannya ke Ren. Ren menyambutnya, dan Takae menariknya berdiri dengan satu sentakan kuat—terlalu kuat sampai Ren hampir menabrak dada Takae.

Jarak mereka sangat dekat. Takae masih tertawa, matanya berbinar. Dia menatap Ren dengan tatapan baru. Bukan lagi sebagai musuh, tapi sebagai sesuatu yang... menarik.

"Lo boleh juga, Sato," kata Takae, tidak melepaskan tangan Ren. "Gue kira lo cuma kutu buku lembek. Ternyata lo punya nyali."

Jantung Takae berdesir aneh. Dia suka cowok yang punya nyali.

"Ehem."

Suara dehem yang keras dan dingin memotong momen itu.

Di pintu GOR, Tsukishima Marika berdiri. Dia tidak terlihat seperti Ketua OSIS yang tenang. Dia terlihat seperti gunung berapi yang menahan letusan.

Matanya tertuju pada tangan Takae yang masih menggenggam tangan Ren.

"Pekerjaan selesai, kan, Sato-kun?" tanya Marika, suaranya sedingin nol mutlak. "Kita ada rapat evaluasi. Sekarang."

Takae menoleh ke Marika, lalu kembali ke Ren. Dia menyeringai, menyadari sesuatu. Dia melepaskan tangan Ren perlahan-lahan, sengaja memperlamanya.

"Oke, oke, Bu Ketua. Jangan galak-galak," kata Takae. Dia mengedipkan sebelah matanya ke Ren.

"Inget ya, Sato. Traktir minum sebulan. Besok gue tagih di kantin. Jangan kabur lo."

Takae menepuk (memukul) bahu Ren lagi, lalu berlari kembali ke timnya sambil berteriak, "LATIHAN DIMULAI! AYO!"

Ren berjalan menghampiri Marika sambil memegangi bahunya yang sakit.

"Dia... tenaganya kayak monster," keluh Ren.

Marika tidak menjawab. Dia berbalik badan dan berjalan cepat keluar GOR. Ren harus berlari kecil untuk menyamakan langkah.

"Tsukishima-san? Tunggu..."

"Bau," kata Marika tiba-tiba tanpa berhenti.

"Hah?"

"Kamu bau thinner. Dan keringat perempuan lain," desis Marika tajam.

Ren mengendus bajunya. "Memangnya keringat Takae baunya beda?"

Marika berhenti mendadak. Dia menatap Ren dengan tatapan yang bisa membekukan neraka.

"Sangat. Tidak. Efisien," ucapnya penuh penekanan pada setiap kata.

Lalu dia menginjak kaki Ren—cukup keras—dan meninggalkannya melompat-lompat kesakitan di koridor.

Ren meringis, tapi otaknya yang logis gagal memproses satu hal:

Kenapa Marika semarah itu padahal masalahnya sudah selesai?

Dan dia sama sekali tidak menyadari bahwa di dalam GOR, Takae Yumi sedang menatap punggungnya yang menjauh sambil tersenyum-senyum sendiri, memutar-mutar bola basket dengan jarinya.

1
Celeste Banegas
Bikin nagih bacanya 😍
Starling04
Gemes banget sama karakternya, ketawa-ketiwi sendiri.
Murniyati Mommy
Asyik banget bacanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!