 
                            Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAPTISAN API VIRTUAL
Kekacauan meledak dalam sepersekian detik. Pintu baja seberat setengah ton itu menghantam lantai koridor dengan bunyi GEDEBUK! yang memekakkan telinga, mengirimkan awan debu beton dan percikan api ke udara. Tepat pada saat itu, koridor di depan kami meletus dalam cahaya dan suara.
Tembakan senapan otomatis virtual merobek udara, peluru-peluru menghantam perisai darurat kami—pintu yang jatuh—menimbulkan penyok-penyok besar. Sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih panas, menghantam pintu itu dan membuatnya bersinar merah sejenak: api.
"Sari, status!" teriakku di tengah kebisingan, telingaku berdenging. Kami bertiga berjongkok di balik pintu, serpihan logam panas menghujani kami.
"Aku melihat mereka!" balas Sari, suaranya tegang di earpiece kami. Dia memejamkan mata, memproses badai data pertempuran. "Lima target! Dua di kanan, di balik pilar beton, keduanya enhancer fisik, sama seperti yang di tangga! Dua di kiri, bersembunyi di balik mesin penjual otomatis, satu penembak standar, satu lagi... pirokinetik! Dia yang menembak api! Target kelima... di ujung koridor, tepat di depan pintu ruang server. Dia... aku tidak bisa membacanya. Dia tenang. Terlalu tenang. Dia pasti pemimpinnya!"
Timer di sudut pandanganku terus berdetak tanpa ampun. 18:34... 18:33...
Kami terjebak. Ditembaki dari dua sisi, dengan seorang pemimpin yang tidak dikenal menunggu di ujung.
"Adhitama!" teriakku. "Aku butuh keributan besar! Kau ambil dua enhancer di sebelah kanan! Mereka adalah tandinganmu. Jangan beri mereka waktu untuk berpikir! Tarik perhatian mereka!"
Adhitama menyeringai, sebuah seringai buas yang sudah lama tidak kulihat. Dia memukul pintu baja di depan kami dengan tinjunya. "Dengan senang hati!"
"Sari!" lanjutku. "Kau dan aku ambil yang di kiri. Aku ingin kau fokus pada si pirokinetik. Prediksi gerakannya. Beri aku peringatan sebelum dia menembak! Aku akan urus si penembak!"
"Dimengerti!"
"Sekarang, Adhitama! Pergi!"
Adhitama tidak perlu diperintah dua kali. Dengan raungan yang lebih mirip suara binatang daripada manusia, dia mendorong pintu baja yang penyok itu dengan kakinya, mengirimkannya meluncur berputar di lantai koridor.
Itu adalah pengalih perhatian yang sempurna. Para penembak di kedua sisi secara refleks menembaki pintu yang meluncur itu, memberi Adhitama waktu sepersekian detik yang ia butuhkan.
Dia tidak berlari ke arah mereka. Dia berlari ke dinding.
Dengan satu lompatan kuat, dia menjejakkan kaki ke dinding dan meluncur di atas rentetan tembakan, mendarat tepat di antara dua enhancer di sebelah kanan. Pertarungan jarak dekat yang brutal meledak seketika. Aku mendengar suara KRAK! dan erangan. Adhitama sedang berada di elemennya. Satu masalah selesai.
"Kita bergerak!" desisku pada Sari.
Sementara perhatian teralih ke pertarungan Adhitama, aku dan Sari melesat dari tempat perlindungan kami, berlari rendah ke sisi kiri koridor.
"Api!" teriak Sari.
Tepat saat dia berkata, si pirokinetik melongok dari balik mesin penjual otomatis dan menembakkan semburan api ke tempat kami seharusnya berada. Tapi kami sudah tidak di sana. Kami berguling di balik deretan kursi ruang tunggu yang terbuat dari logam.
"Si penembak!" bisikku.
"Dia mengisi ulang!" balas Sari.
"Bagus." Aku memberi isyarat padanya untuk tetap di tempat. Aku melirik dari balik kursi. Si penembak sedang berjuang dengan senapan serbu virtualnya. Si pirokinetik sedang bersiap untuk tembakan berikutnya.
Aku tidak memberi mereka kesempatan.
Aku melompat dari balik kursi, berlari lurus ke arah mereka. Si penembak mengangkat senapannya. Terlambat. Aku sudah terlalu dekat. Aku menyentuh laras senapannya saat aku melewatinya.
FZZT.
Senapan itu larut menjadi debu logam di tangannya. Matanya melebar ngeri. Aku tidak berhenti. Aku menepuk lehernya. Dia pingsan.
"Bima, di belakangmu!" pekik Sari.
Aku berbalik. Si pirokinetik berdiri, kedua tangannya menyala seperti obor, matanya dipenuhi kebencian. Dia akan melepaskan gelombang api yang akan membakar seluruh koridor.
Dan tiba-tiba, dia tersentak.
Dia menatap dadanya dengan bingung. Sebuah pisau latihan standar—yang baru kusadari merupakan bagian dari perlengkapan kami—tertancap di sana.
Sari berdiri sekitar lima meter di belakangnya, terengah-engah, wajahnya pucat tetapi matanya tajam. Dia tidak membuang waktu untuk menganalisis. Dia melihat ancaman langsung pada rekan setimnya, dan dia bertindak. Dia telah melemparkan pisaunya dengan presisi seorang ahli bedah, tepat di saat si pirokinetik itu lengah.
Si pirokinetik itu berkedip, lalu jatuh ke depan. Lumpuh.
Timer: 15:02... 15:01...
Di seberang koridor, Adhitama berdiri di antara dua enhancer yang pingsan. Dia menyeka darah virtual dari bibirnya. "Itu tadi... pemanasan yang bagus," katanya, terengah-engah.
Empat musuh lumpuh. Kurang dari tiga menit.
Kami bertiga bertemu di tengah koridor, di antara puing-puing pertempuran. Kami saling memandang sejenak—sebuah tim yang baru saja melalui baptisan api mereka. Ada rasa hormat baru di mata Adhitama. Ada kepercayaan diri baru di postur Sari.
"Belum selesai," kataku, menunjuk ke ujung koridor.
Di sana, di depan pintu ruang server yang bercahaya, target kelima masih berdiri. Dia tidak bergerak sama sekali selama pertempuran. Dia hanya menonton.
Dia seorang pria kurus, mengenakan setelan jas, bukan seragam taktis. Dia bertepuk tangan pelan saat kami mendekat.
"Luar biasa," katanya, suaranya tenang dan sedikit geli. "Dua brute, satu perusak materi, dan satu analis yang ternyata punya bakat melempar. Tim yang sangat menarik."
"Siapa kau?" geram Adhitama, mengambil posisi bertarung.
"Aku?" kata pria itu. "Aku hanya manajer IT." Dia tersenyum, dan senyum itu membuat darahku terasa dingin. "Dan kalian terlambat."
Dia mengangkat sebuah perangkat kecil di tangannya dan menekan sebuah tombol. Di pintu ruang server di belakangnya, sebuah lampu berubah dari hijau menjadi merah berkedip.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Sari tajam.
"Prosedur darurat," kata pria itu riang. "Aku baru saja memulai penghapusan data total. Kalian punya... oh, katakanlah, enam puluh detik sebelum semua data server ini terhapus bersih secara permanen. Dan pintu ini," dia menepuk pintu baja di belakangnya, "terkunci. Dan aku satu-satunya yang punya kuncinya."
Sari langsung panik. "Dia benar! Aku bisa merasakannya! Data sedang dihapus! Cepat! Aku butuh akses fisik ke port server di dalam ruangan itu!"
"Adhitama! Hancurkan pintunya!" teriakku.
"Percuma," kata si manajer IT, senyumnya melebar. "Pintu ini diperkuat dari dalam. Kalian bisa menghabisinya sepanjang hari. Tapi kalian tidak punya waktu sepanjang hari, kan?"
Timer: 12:45... 12:44...
"Dia berbohong!" raung Adhitama. Dia meluncurkan pukulan 400 kilojoule-nya ke pintu. Pintu itu penyok, tetapi tidak bergeming. Dinding di sekitarnya retak.
"Lihat?" kata pria itu.
"Sari, berapa lama kau butuh waktu untuk meretas kunci itu?" tanyaku cepat.
"Terlalu lama! Enkripsinya... aku belum pernah melihat yang seperti ini! Aku butuh setidaknya dua menit!"
Timer: 12:20... 12:19...
Kami terjebak.
"Adhitama," kataku, mataku menatap si manajer IT. "Buat dia sibuk. Jangan biarkan dia fokus. Jangan sakiti dia, buat dia terus bergerak!"
"Apa?"
"Lakukan saja!"
Adhitama menggeram, tidak mengerti, tapi dia patuh. Dia menyerang pria itu. Pria itu, yang jelas bukan petarung, melompat menghindar dengan kaget.
"Bima, apa rencanamu?" tanya Sari, suaranya putus asa.
"Brankas Cakra," kataku, "terbuat dari paduan yang sama dengan kubus hitam itu."
Mata Sari melebar ngeri saat dia mengerti. "Bima, tidak! Pak Tirtayasa bilang—"
"Pak Tirtayasa bilang aku harus menguraikan kuncinya," balasku. "Aku tidak akan menghancurkan pintunya. Aku akan menghancurkan kuncinya."
Timer: 12:05... 12:04...
Aku berlari ke pintu, mengabaikan Adhitama yang berteriak dan manajer IT yang menghindarinya. Aku meletakkan tanganku di panel kunci biometrik di samping pintu. Aku tidak tahu cara kerjanya. Aku tidak perlu tahu.
Aku memejamkan mataku. Aku memanggil kekuatan itu, bukan sebagai gelombang, tetapi sebagai jarum tertajam di dunia. Aku tidak merasakan logam atau plastik. Aku merasakan sirkuit. Aku merasakan tumbler elektronik. Aku merasakan mekanisme penguncian.
Dan aku memerintahkan mereka untuk... berhenti ada.
Klik.
Suara itu nyaris tak terdengar. Lampu di panel berubah dari merah berkedip menjadi hijau solid.
Pintu ruang server mendesis terbuka.
Pria manajer IT itu berhenti menghindar. Dia menatapku, senyumnya hilang, digantikan oleh ekspresi ketakutan yang sama seperti yang kulihat pada penjaga di tangga.
"I-itu... tidak mungkin..."
"Sari! Masuk!" teriakku.
Sari tidak membuang waktu. Dia berlari melewatiku, masuk ke ruang server yang dingin dan berdengung. Aku menyusulnya, sementara Adhitama berdiri menjaga pria IT yang kini membeku ketakutan.
Ruang server itu dipenuhi rak-rak hitam yang berdengung. Di tengah, ada konsol utama.
"Penghapusan data di 78%!" teriak Sari, menarik kabel dari tabletnya dan menyambungkannya ke port utama. "Mencoba membatalkannya... Sial! Mereka punya firewall! Aku tidak bisa menembusnya!"
Timer: 11:40... 11:39...
"Apa yang kau butuhkan?" tanyaku.
"Aku butuh dia!" bentak Sari, menunjuk pria IT di koridor. "Enkripsinya terikat pada tanda biologisnya! Aku butuh dia untuk meletakkan tangannya di panel ini!"
"Adhitama! Bawa dia ke sini!"
Adhitama menyeringai dan menyeret pria itu masuk seperti karung kentang. "Dengar wanita itu. Letakkan tanganmu di sana."
"Tidak akan!" bentak pria itu, mencoba melawan.
"Dengar," kataku, suaraku rendah dan berbahaya. Aku meletakkan tanganku di rak server di sebelahku. Logam itu mulai larut menjadi debu di antara jari-jariku. "Kau bisa meletakkan tanganmu di panel itu, atau aku akan meletakkan tanganku di wajahmu. Pilih."
Pria itu menelan ludah, matanya terpaku pada tanganku yang menghancurkan materi. Dengan gemetar, dia meletakkan telapak tangannya di panel biometrik.
"Aku masuk!" teriak Sari. Jari-jarinya menari di atas keyboard virtual, begitu cepat hingga terlihat kabur. "Penghapusan di 95%... 96%... 97%... Berhenti! Penghapusan dibatalkan! Mengalihkan data... Mengunduh... Selesai! Data diamankan!"
Tepat saat dia mengatakan itu, simulasi membeku.
Manajer IT yang gemetaran menghilang. Ruang server yang berdengung lenyap. Hujan dan koridor yang hancur sirna.
Kami bertiga berdiri di tengah arena hitam yang sunyi, terengah-engah, berlumuran keringat virtual.
Keheningan berlangsung selama lima detik.
Lalu, suara Pak Tirtayasa menggema dari kegelapan. Dia tidak bertepuk tangan kali ini. Suaranya dingin.
"Misi... gagal."
Kami bertiga membeku.
"A-apa?" gagap Adhitama. "Kami berhasil! Kami mendapatkan datanya!"
"Ya, kalian mendapatkan datanya," kata Pak Tirtayasa, berjalan keluar dari bayang-bayang. Ekspresinya serius. "Dan kalian semua mati."
Dia menunjuk ke pintu ruang server yang sekarang sudah tidak ada. "Analisis awal Sari salah. Brankas data itu bukan di dalam ruang server. Pintu itu sendiri adalah brankasnya."
Dia menatapku, tatapannya begitu tajam hingga aku merasa tertusuk.
"Itu adalah jebakan, Bima. Sebuah honeypot yang dirancang khusus untuk Anomali perusak materi seperti kau. Saat kau menghancurkan mekanisme kuncinya, kau juga menghancurkan segel penahan plasma di dalamnya. Panel itu tidak berubah hijau karena kau berhasil membukanya. Panel itu berubah hijau karena akan meledak."
Dia berhenti, membiarkan kami mencerna kengerian itu.
"Tiga detik setelah kau membuka pintu itu," katanya pelan, "sebuah bom plasma akan meledak, melenyapkan kalian bertiga, seluruh lantai dua puluh, dan semua data yang kalian coba curi. Cakra akan tahu persis tipe Anomali apa yang mereka hadapi, dan kalian akan menjadi abu."
Aku menatap tanganku. Tangan yang sama yang kuhancurkan kubus hitam. Tangan yang sama yang kupikir telah menyelamatkan kami. Tangan itu baru saja membunuh kami semua.
"Kekuatan," kata Pak Tirtayasa, suaranya menggema di arena yang sunyi, "adalah tanggung jawab. Dan kekuatan absolut... adalah jebakan absolut."
"Level 2," katanya. "Gagal."